Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

CSL, Kala Ambisi Terbentur Regulasi

27 Januari 2017   08:39 Diperbarui: 27 Januari 2017   09:14 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak tahun 2012, Liga Super Tiongkok (CSL) rajin mencuri perhatan dunia, lewat transfer-transfer pemain atau pelatih kelas dunia. Dimulai dari datangnya Didier Drogba, dan Nicolas Anelka (eks pemain Chelsea), plus Marcelo Lippi (kini pelatih timnas Tiongkok) pada tahun 2012, sampai Carlos Tevez (dari Boca Juniors), Axel Witsel (dari Zenit Saint Petersburg), dan Oscar (dari Chelsea), plus Manuel Pellegrini (eks pelatih Manchester City) jelang dimulainya CSL musim tahun 2017 ini.

Strategi "memancing bintang" CSL ini, adalah bagian dari rencana "percepatan pembangunan" sepakbola Tiongkok, yang dicanangkan pemerintah setempat, dengan merangkul konglomerat atau perusahaan besar di Tiongkok, agar mau menjadi pemilik klub-klub disana. Supaya, Tiongkok dapat segera menjadi negara raksasa sepakbola dunia, dan liganya menjadi liga top, tujuan utama pemain kelas dunia. 

Meski saat ini, kualitas kompetisi mereka belum sebaik liga-liga top Eropa, dukungan dana finansial kuat, dari pemilik klub-klub CSL, membuat mereka berani menawarkan gaji besar, kepada pemain-pemain, dan pelatih kelas dunia. Besaran gaji, yang jauh lebih besar, dari yang ditawarkan klub-klub top Eropa, mampu membuat para pemain tersebut berpaling ke Timur Jauh. Longgarnya kuota jumlah pemain asing CSL, membuat gelombang perpindahan itu tak terelakkan.

Kepindahan mereka ke CSL, kebanyakan diiringi cibiran negatif; "karir mereka sudah habis", atau "mata duitan".
Tapi, apa yang dialami para pemain, dan pelatih ini, sebetulnya sangat manusiawi. Karena, bagi kebanyakan orang, tingginya jenjang karir diukur, dari seberapa besar gajinya. Biasanya, makin tinggi gaji, makin berat pekerjaannya. Tapi, jika gaji besar itu didapat, dari pekerjaan yang lebih ringan, tentu akan sulit ditolak.

Tapi, CFA (PSSI-nya Tiongkok) lalu menemukan, besarnya gaji, dan longgarnya kuota jumlah pemain asing CSL, justru membahayakan. Pertama, besaran pengeluaran klub, untuk berbelanja, dan menggaji pemain, tak seimbang dengan pemasukan mereka. Jika ini terus dibiarkan dalam jangka panjang, klub akan terancam bangkrut. Kedua, banyaknya pemain bintang yang masuk, justru akan membatasi peluang bermain pemain muda lokal. Akibatnya, persepakbolaan Tiongkok justru tidak berkembang.

Berdasarkan temuan itu, CFA lalu menerapkan regulasi baru. Pertama, tiap tim di CSL, maksimal hanya boleh memiliki 5 orang pemain asing. Dari kelimanya, maksimal hanya tiga orang, yang boleh bermain dalam 1 laga. Kedua, dihapusnya slot khusus pemain Asia-Australia (AFC). Di sini, pemain Asia-Australia, dan benua lainnya berposisi setara. "Pemain asing", adalah mereka, yang berasal, dari luar Tiongkok.

Ketiga, tiap klub diwajibkan mengalokasikan minimal 15%, dari anggaran tahunan mereka, untuk pembinaan pemain muda. Keempat, tiap klub diwajibkan mengontrak, dan rutin memainkan, setidaknya 2 pemain U-23 di tiap laga.

Regulasi baru ini, mulai berlaku musim kompetisi 2017. Imbasnya, klub-klub CSL kini berhati-hati, dalam merekrut pemain asing. Karena, klub-klub CSL ini, sudah mempunyai 4-5 pemain asing. Soal regulasi pemain asing, terdapat perbedaan mencolok, antara CSL, dan liga-liga top Eropa; di CSL, pemain asing didefinisikan sebagai "pemain dari luar Tiongkok", sedangkan, di Eropa, pemain asing didefinisikan sebagai "pemain yang tidak memiliki paspor negara-negara anggota Uni Eropa". Selain itu, negara-negara Eropa, umumnya mempunyai sistem pembinaan pemain muda yang baik. Kelebihan inilah, yang belum ada di Tiongkok.

Perbedaan mendasar inilah, yang membuat CSL sulit bersaing, dengan liga top Eropa, kecuali dalam hal besaran gaji. Ambisi mereka, dengan menjadikan CSL, sebagai liga tujuan utama pemain top dunia, justru terbentur regulasi pembatasan jumlah pemain asing, yang mereka buat sendiri. Mau, tak mau, mereka kini harus fokus, pada pembinaan pemain muda. Jika tidak, sepakbola mereka tidak akan bisa maju.

Bagi kompetisi (liga), dan klub, kedatangan pemain top, akan meningkatkan popularitas, dan nilai jual mereka. Tapi, pada saat bersamaan, kedatangan pemain top, juga berarti, tanggung jawab besar. Karena klub harus siap menanggung gaji besar si pemain.

Bagi pesepakbola, gaji tinggi yang didapat, dari klub di kompetisi level dunia, adalah bukti kemajuan karir, dan pengakuan atas kualitas mereka. Sedangkan, jika gaji tinggi itu didapat, dari klub di kompetisi yang levelnya berada dibawah level kualitas permainan mereka, itu adalah suatu pertanda kemunduran.

Regulasi yang dijalankan CSL ini mencerminkan, menggaet pemain bintang, adalah solusi jangka pendek yang bagus. Tapi, dalam jangka panjang akan mendatangkan kebangkrutan. Bagi sebuah tim nasional, kompetisi bertabur bintang asing, justru tak berguna. Di sinilah, pembinaan pemain muda diperlukan. Karena, tim nasional yang berkualitas, hanya dapat dihasilkan, dari sistem pembinaan pemain muda yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun