Josep 'Pep' Guardiola i Sala, atau yang biasa kita kenal sebagai Pep Guardiola, adalah seorang yang boleh jadi sangat beruntung. Ia mempunyai 'guru' sekaliber Johan Cruyff, yang menanamkan filosofi sepakbola indah pada dirinya. Berkat Cruyff, ia bisa menjadi pemain pilar Barcelona dekade 1990-an, atau yang lebih dikenal sebagai The Dream Team.
Lewat rekomendasi Cruyff pula, Pep bisa menjadi pelatih di Barcelona tahun 2008. Di Barcelona inilah, Pep mampu meraih 14 trofi, hanya dalam 4 tahun (2008-2012), dengan taktik dasar tiki-taka dan menjadikan Lionel Messi, sebagai "nomor 9 palsu". Sejak saat itulah, Pep mulai dipandang, sebagai salah satu pelatih terbaik dunia saat ini.Â
Dari segi taktik, Pep Guardiola benar-benar mampu menerapkan ajaran Cruyff dengan baik. Dominasi dalam segala aspek permainan, termasuk penguasaan bola, dalam wujud sepakbola menyerang nan cantik, menjadi ciri khasnya. Seperti halnya Cruyff, Pep lebih mengutamakan aspek teknik, daripada fisik. Ia lebih menyukai gaya bermain umpan pendek dari kaki ke kaki, dari kiper sampai ke penyerang, daripada umpan-umpan langsung.
Pendekatan ini, juga diterapkan, saat ia menangani Bayern Munich. Hasilnya, Bayern mampu merajai Bundesliga, antara 2014-2016, dan selalu lolos ke semifinal, di ajang Liga Champions, pada periode yang sama. Rekam jejak hebat inilah, yang membuat Manchester City merekrutnya musim panas 2016, menggantikan Manuel Pellegrini.
Awalnya, semua terlihat lancar, keputusannya merekrut Nolito, Claudio Bravo, Gundogan, Gabriel Jesus, dan John Stones, disambung dengan meminjamkan Joe Hart ke Torino, mampu menghasilkan catatan sepuluh kemenangan beruntun, di segala ajang, pada awal musim, termasuk kemenangan 2-1 dalam Derby Manchester.
Tapi, awal yang indah itu, justru berubah menjadi suram, saat mereka ditahan imbang Celtic 3-3 di Glasgow, pada ajang Liga Champions. Di laga itu, The Citizens tampak kerepotan, menghadapi permainan umpan panjang, pressing ketat, plus serangan balik maut, yang disajikan Celtic. Pola main Celtic ini, berhasil membuka titik lemah taktik Pep. Hasilnya, klub-klub lawan di Liga Inggris (EPL), mampu mengalahkan City.
Tercatat, dari total 5 kekalahan, yang dialami City, di Liga Inggris sejauh ini, 4 diantaranya (0-2 dari Spurs, 1-3 dari Chelsea, 0-1 dari Liverpool, dan 0-4 dari Everton), datang dari lawan, yang menerapkan taktik pressing ketat, dan serangan balik maut. Sementara 1 kekalahan lainnya (2-4 dari Leicester) datang dari lawan, yang menerapkan taktik umpan panjang, dan serangan balik maut.
Diantara kelima kekalahan itu, kekalahan 0-4 melawan tuan rumah Everton, di Goodison Park, Minggu (15/1), menjadi kekalahan paling telak Pep, selama menangani City. Everton, yang dilatih Ronald Koeman (eks rekan setim Pep di The Dream Team Barca), seolah sedang memberi tutorial "cara mengalahkan City yang baik dan benar", kepada lawan-lawan City berikutnya, dan "cara bermain bola di EPL yang baik dan benar", kepada Pep.
Dalam laga itu, City memang mampu mendominasi penguasaan bola, tapi tak mampu mengancam gawang Everton, dan sering membuat kesalahan sendiri, yang membuat mereka kebobolan. Sedangkan Everton, mampu bermain efektif, dan mencetak 4 gol, lewat Lukaku, Mirallas, Davies, dan Lookman. Alhasil, City kini tertahan di posisi 5 klasemen sementara Liga Inggris.
Merosotnya performa City belakangan ini, seharusnya menjadi "alarm bangun tidur" untuk Pep. Ia kini harus menyadari, EPL bukan La Liga, atau Bundesliga, yang hanya mempunyai 1 atau 2 tim kandidat juara. Selain itu, taktik andalannya yang ampuh, saat menangani Barca, dan Bayern, justru menjadi titik lemah di City. Mau tak mau, Pep harus memodifikasi taktiknya, yang sudah mulai 'usang' ini, jika tak ingin makin tertinggal. Mendominasi pertandingan, lewat gaya sepakbola indah, memang enak dilihat, tapi itu akan sia-sia, jika tak mampu mencetak gol. Karena, sepakbola bukan kontes kecantikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H