Secara etimologi, agama berasal dari gabungan dua kata bahasa Sansekerta; ‘a', yang berarti tidak, dan ‘gama', yang berarti kacau. Sehingga, menurut asal katanya, agama berarti tidak kacau, atau adanya keteraturan. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agama didefinisikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Sehingga, dapat  disimpulkan, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan, dan hubungan, antara manusia, dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan (termasuk sesama makhluk hidup), supaya terwujud keteraturan dalam hidup. Menurut Shouler (2010), diperkirakan terdapat 4200 agama, di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, ada 6 agama, yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu), dan aliran kepercayaan lainnya.
Meski berbeda-beda, semuanya mengajarkan; melakukan kebaikan sebanyak mungkin, dan tidak melakukan kejahatan, sebisa mungkin, dengan kebenaran sebagai sumber utamanya. Supaya dapat terjalin hubungan yang sama baik, baik dengan sesama (hubungan horizontal), maupun dengan Tuhan (hubungan vertikal). Hanya saja, dalam penerapannya, terdapat tiga macam pola pikir mengenai kehidupan beragama, di masyarakat kita. Pertama, pola pikir inklusif, kedua, pola  pikir eksklusif, dan ketiga, pola pikir apatis.
Pola pikir inklusif, adalah pola pikir yang memegang teguh keyakinan pribadi, tanpa lupa menghormati keyakinan berbeda milik orang lain, dan menyadari, semua agama setara. Karena sama-sama mengajarkan kebaikan, kebenaran, dan keteraturan, secara universal. Inilah pola  pikir, yang dicetuskan para pendiri bangsa, dan menjadi dasar kehidupan berbangsa kita. Pola pikir inilah, jiwa semboyan negara; Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda, tapi tetap satu juga), dan mendasari Sila Pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkat pola pikir ini, kita mampu menjalani hidup bersama, sebagai sebuah bangsa, dalam segala keberagaman yang ada.
Pola pikir eksklusif, adalah pola pikir, yang memegang teguh keyakinan pribadi, atau kelompok tertentu, tapi kadang lupa menghormati keyakinan berbeda milik orang lain, dan menyadari, semua agama setara. Kadang, penganut pola pikir ini menganggap, apa yang diyakininya, sebagai yang paling benar, paling tinggi derajatnya, dibanding keyakinan lainnya. Karenanya, mereka cenderung menutup diri, dan memusuhi pihak yang berbeda dengannya. Jika sudah sangat parah, pola pikir ini berubah menjadi intoleransi, ekstremisme, terorisme, dan radikalisme, yang justru bersifat merusak. Di titik ini, agama bukan lagi sumber kebenaran, tapi sumber pembenaran.
Agama, meski berbeda-beda, mereka sama-sama mengajarkan kebaikan, dengan sumber kebenaran. Supaya dapat mendekatkan diri manusia kepada Sang Pencipta, menciptakan keteraturan, dan kedamaian dalam hidup. Semua agama berposisi setara, tidak ada yang paling tinggi, paling rendah, paling salah, atau paling benar Jika agama hanya menjadi sumber pembenaran, maka ia akan menjadi sebuah kesesatan, yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H