Dari, oleh, dan untuk rakyat. Itulah asas demokrasi dalam dunia politik. Dalam sepak bola, asas demokrasi itu  berprinsip dasar sama; dari, oleh, dan untuk suporter.
Seiring berkembangnya industrialisasi sepakbola, akhir-akhir ini, kita banyak menemukan, sepakbola ternyata mempunyai cara pandang yang mirip dengan politik; ada liga yang sangat terbuka dengan investor/ modal dari luar (liberal), ada liga yang cenderung tertutup (sosialis), ada juga liga yang berpandangan tengah-tengah.
Untuk contoh liga berpandangan liberal, kita menemuinya di Liga Primer Inggris. Sejak musim 1990/1991, Liga yang semula bernama Division One ini banyak berbenah, mulai dari memberantas hooligan, menata regulasi hak siar kompetisi, sampai menghapus tribun berdiri, sebagai tindak lanjut tragedi Hillsbrough, yang menewaskan 96 orang suporter.
Dalam perkembangannya, Liga Primer Inggris menerapkan kebijakan yang sangat terbuka, mulai dari menghilangkan batasan jumlah pemain asing, sampai memberi kesempatan seluas mungkin bagi para investor, dari bidang dan negara manapun, untuk terlibat dalam klub-klub Liga Inggris. Hasilnya, kita melihat Liga Primer Inggris yang sungguh glamor saat ini.
Keterbukaan ini juga membuat banyak taipan asing menjadi pemilik klub. Tercatat, sejumlah klub Liga Inggris mempunyai pemilik/ pemegang saham terbesar dari luar Inggris, seperti; Manchester United (Keluarga Glazer, AS), Manchester City (Sheikh Mansour, Abu Dhabi), Liverpool (Fenway Sports Group, AS), Chelsea (Roman Abramovich, Rusia).
Para taipan ini, awalnya membeli klub untuk menyelamatkannya dari ancaman kebangkrutan akibat hutang, kecuali pada kasus Keluarga Glazer di United. Dalam pejalanannya, klub-klub ini rutin menjadi pemain utama kompetisi Liga Primer Inggris. Belakangan, gaya liberal ini juga mulai coba diterapkan di Italia, meski masih secara terbatas.Â
Untuk contoh liga berpandangan cenderung tertutup, kita menemuinya di La Liga Spanyol, yang masih menjadikan para socios (anggota sekaligus pemegang saham klub), sebagai pemilik utama klub. Di liga ini, modal asing/ perusahaan tetap bisa masuk. Tetapi, para socios tetap menjadi penentu utama arah kebijakan klub.
Masuknya modal asing kebanyakan dinikmati oleh duo Barca-Madrid. Di luar keduanya, muncul Valencia, yang mayoritas sahamnya dipegang Peter Lim (pebisnis asal Singapura), dan Malaga (sempat dimiliki keluarga Kerajaan Qatar). Tetapi, kedua klub ini tak mampu konsisten di papan atas. Valencia masih dalam tahap membangun ulang tim, sedangkan Malaga kembali menjadi klub papan tengah milik socios, setelah sang pemodal pergi. Kepemilikan pribadi atas klub di Liga Spanyol sebenarnya tidak dilarang, tetapi tidak (atau mungkin belum) sesukses di Liga Inggris.
Secara politik, contoh pandangan ‘tengah-tengah’ dari demokrasi liberal, dan tertutup adalah demokrasi Pancasila, yang menerapkan asas gotong royong, dan kebebasan yang bertanggung jawab. Dalam sepakbola, prinsip ini dianut oleh Bundesliga Jerman. Meski dicibir membosankan, karena terlalu didominasi Bayern Munich, klub-klub Bundesliga sama-sama menerapkan prinsip; saham mayoritas klub, minimal 50% plus 1 saham, adalah milik suporter. Modal asing/perusahaan boleh masuk, tapi tidak boleh lebih besar jumlahnya, daripada hak milik suporter.
Klub adalah dari, oleh, dan untuk suporter. Pandangan ini mengakar kuat sejak lama di Bundesliga, Â karena klub dianggap sebagai sebuah institusi olahraga, sekaligus institusi sosial. Memang, ada juga klub Bundesliga yang mayoritas sahamnya tidak dimiliki suporter, antara lain VFL Wolfsburg (dimiliki oleh perusahaan otomotif Volkswagen/ VW), Bayer Leverkusen (dimiliki oleh Perusahaan Farmasi Bayer), dan Rasen Ballsport (RB) Leipzig (dimiliki oleh Produsen Minuman Berenergi Red Bull). Tapi, model kepemilikan semacam ini kurang disukai para suporter di Jerman. Karena olahraga dan bisnis dipandang sebagai hal yang berbeda, tidak bisa disatukan, meskipun dapat seiring sejalan.
Bagaimanapun, industri dan sepakbola masa kini, adalah hal tak terpisahkan. Keduanya sama-sama saling membutuhkan, tetapi harus tetap seimbang, tanpa melupakan akar masing-masing. Industri bisa hidup karena sepakbola. Sepakbola bisa hidup karena industri. Tetapi, sepakbola tidak bisa hidup tanpa suporter.
Karena, sepakbola tanpa suporter adalah mati, seprti tubuh tanpa jiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H