"Hasil tes Ibu ini bagus, malah masuk pada formatur lulus. Hanya saja karena saat ini persaingan semakin ketat, jadi harus dijaga. Cukup sediakan dua puluh juta untuk menjaga agar jangan tergeser. Nanti saja diberikannya setelah pengumuman. Bila sanggup, saya akan sampaikan kepada panitia," katanya.
Tentu saja saya susah percaya bila tidak mengalami. Tapi sialnya, begitulah yang saya alami. Saudara-saudara saya, termasuk orang tua, tentu saja mendukung. Dua puluh juta rupiah untuk pegawai negeri sipil sangatlah "murah". Karena saat itu tarif belakang seperti itu yang saya dengan sudah di atas seratus jutaan. Tapi sebagai kepala keluarga saya harus memutuskan menolaknya.
"Boleh menjadi pegawai negeri sipil, boleh menjadi apapun, asal tidak dengan cara-cara seperti itu," kata saya. Sekali lagi banyak yang mencibir dengan keputusan saya. Apalagi mereka tahu, keluarga saya belum mapan secara ekonomi.
Bertahun-tahun kemudian, saya dan istri memutuskan untuk menjadi penulis. Anak saya malah kemudian mengikuti juga. Sudah puluhan buku kami yang terbit. Rasanya hampir seluruh media massa yang ada di Indonesia ini pernah memuat tulisan kami. Saat mengantar anak saya masuk ke SMP, seorang guru tiba-tiba saja bercerita tentang anaknya yang mau masuk kepolisian. "Ada jalan belakang juga, tapi harganya satu miliar untuk tiga orang," katanya.
Saya yang gilirin mencibir. Sebagaimanapun parahnya budaya korupsi di Indonesia, saya bangga menjadi bagian yang menolaknya. Merdeka! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H