Mohon tunggu...
Yoseph Tedi
Yoseph Tedi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik UI

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Australian Labor Party: Faksi Kiri dan Friksi

25 Oktober 2024   09:09 Diperbarui: 25 Oktober 2024   09:15 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Berbicara mengenai Australian Labor Party (ALB), pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari latar belakangnya sebagai partai politik tertua di Australia, mengingat eksistensinya bisa ditelusuri sejak 1890-an. Sejarah ALB sendiri, merupakan perpaduan tradisi buruh radikal dan sosialis diantara kelompok-kelompok pekerja dan reformis kelas menengah di kota-kota besar Australia, juga kelompok-kelompok pekerja pedesaan serta petani (Smith, 1993). Latar belakang sejarah demikian, membuat ALP memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan serikat pekerja, di mana partai ini selalu berupaya untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan pekerja di tingkat politik, dengan bersumber pada tiga aspek (Smith, 1993), yakni: Pertama, organisasi yang berakar pada ide-ide chartist, yang menekankan pada reformasi politik guna meningkatkan kontrol rakyat atas politik. Kedua, merupakan hal fundamental dan yang paling penting, yakni gerakan serikat buruh, di mana pengakomodasian kepentingan-kepentingan di tingkat politik diyakini dapat mewujudkan kondisi upah, jam kerja, dan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja. Ketiga, value sosialis revolusioner yang menekankan perlunya aksi-aksi politik terorganisir dari kelompok pekerja maupun kelompok lain yang mewakilinya, agar kepentingan-kepentingan mereka akan kondisi kerja dan industri yang lebih baik dapat tercapai.

              Rasanya cukup untuk membahas mengenai core value dan tujuan dari ALP. Mengingat, tulisan ini pada dasarnya berupaya untuk mengupas hal yang lebih mendalam dan rasa-rasanya selalu ada dalam setiap partai politik, yakni perihal faksi dan friksi. Faksi sendiri dapat dipahami sebagai kelompok-kelompok dalam partai politik, yang menonjolkan diri dengan cara-cara oportunistis atau mendorong perpecahan dalam partai politik. Sementara itu, friksi dapat dipahami sebagai pergeseran yang menimbulkan perbedaan pendapat dan perpecahan. Dalam konteks ALP sendiri, hal yang cukup menarik untuk dibahas berkaitan dengan topik di atas adalah, perkembangan faksi kiri  New South Wales (NSW) dan friksi-friksi di dalamnya.

              Jika ditarik kebelakang, perkembangan faksi kiri di NSW dapat ditelusuri sejak era 1950-an. Periode awal yang dimulai pada akhir 1950-an sampai 1971, merupakan awal terbentuknya faksi kiri di NSW melalui Combined Branches and Unions Steering Committee yang dikenal sebagai komite pengarah (Leigh, 2000). Komite pengarah dikendalikan oleh tokoh-tokoh moderat dari serikat-serikat buruh seperti, Charlie Oliver dari Australian Workers' Union. Pada mulanya, komite pengarah dan tokoh-tokoh didalamnya memiliki tujuan untuk menentang pengaruh kelompok industrial yang terkait dengan Democratic Labor Party (DLP). Namun begitu, setelah 1971 faksi kiri ini mengalami pergeseran ideologi, membuatnya mejadi kelompok cenderung lebih berhaluan kiri (Leigh, 2000).

              Kemudian, pada awal 1970-an faksi kiri NSW diwarnai dengan ketegangan antar generasi, di mana sebagian anggota dari kelompok Trotskis dan mahasiswa-mahasiswa yang terlibat aktif dalam gerakan sosial progresif, menganggap bahwa kepemimpinan lama di faksi kiri sudah tidak lagi relevan (Leigh, 2000). Tokoh-tokoh yang berperan krusial pada periode yang berakhir di 1980-an ini diantaranya adalah Arthur Gietzelt, Tom Uren, dan Bruce Childs, di mana ketiganya memberikan dukungan terhadap isu-isu progresif seperti kebijakan anti perang, feminisme, dan pemenuhan hak-hak Aborigin, walaupun sebagian besar pemimpin faksi kiri tetap fokus untuk mengadvokasikan isu-isu tradisional buruh (Leigh, 2000). Konflik ini mencapai puncaknya ketika kelompok radikal di faksi kiri mendirikan Socialist Left pada tahun 1971.

              Lalu, perkembangan faksi kiri dan friksi didalamnya terus berlanjut di tahun 1980-an, di mana periode ini ditandai dengan perpecahan di internal faksi kiri, yang kemudian peristiwa ini dikenal dengan sebutan The Split (Leigh, 2000). Peristiwa ini, secara garis besar membagi faksi kiri menjadi dua kelompok besar, yakni Soft Left dan Hard Left. Konflik yang berujung pada perpecahan ini, pada dasarnya dipicu oleh perbedaan ideologis terkait peran serikat buruh, strategi politik, hingga konflik pribadi antar elit (Leigh, 2000). Perpecahan memuncak pada 1989 ketika Perdana Menteri Australia saat ini, Anthony Albanese dari Hard Left memenangkan pemungutan suara untuk posisi Asisten Sekretaris ALP NSW kala itu, mengalahkan Jan Burnswood dari Soft Left. Implikasi dari kemenangan Anthony Albanese, secara signifikan telah memperkuat kekuasaan Hard Left dalam struktur partai di NSW, sementara Soft Left menjadi semakin terpinggirkan (Leigh, 2000).

              Terakhir, perkembangan faksi kiri dan friksi dalam ALP pasca kemenangan Hard Left, tergambar jelas dari bagaimana pengaruh mereka semakin kuat di NSW. Menguatnya pengaruh mereka, telah mendorong konsolidasi dan modernisasi pada era 1990 – 2000-an, di mana hal ini tercermin dari adaptasi yang mereka lakukan guna menghadapi tantangan-tantangan baru, seperti globalisasi dan liberalisasi ekonomi, yang pada akhirnya mulai menggeser fokus dari ideologi kelas yang sangat mendominasi pada periode-periode sebelumnya (Leigh, 2000).. Tokoh-tokoh seperti Anthony Albanese dan John Faulkner memainkan peran sentral dalam konsolidasi dan modernisasi ini, di mana faksi kiri bertransformasi dari yang semula merupakan gerakan anti-Katolik radikal, menjadi lebih pragmatis dengan berorientasi pada keberhasilan elektoral (Leigh, 2000).

              Sejalan dengan penjelasan mengenai perkembangan faksi kiri NSW dan friksi-friksi di dalamnya, tentu hal ini memicu respon dari figur-figur di dalam ALP sendiri, salah satunya adalah Andrew Leigh, yang merupakan Anggota DPR Australia. Secara garis besar, Andrew dalam tulisannya yang berjudul “A More Competitive Labor Party,” ia mengungkapkan kekhawatirannya akan faksi dan friksi ini. Menurut Leigh, semakin kesini kekuatan faksi semakin mendominasi di dalam ALP, yang mana terlepas dari perannya yang dapat menjadi alat stabilisasi dalam politik, dominasi faksi justru dapat merugikan partai dalam jangka panjang (Leigh, 2023). Salah satu kritik utama yang Leigh paparkan dalam tulisannya ini adalah, duopoli faksi yang membuat faksi tengah kiri hilang dari ALP dan menyisakan faksi kiri dan kanan saja. Hal ini, memicu terdegradasinya perdebatan ideologis yang sehat, di mana pengambilan keputusan akan di dalam partai yang semula melalui perdebatan tergantikan dengan kesepakatan-kesepakatan antar elit faksi saja (Leigh, 2023).

              Melanjutkan kritiknya terhadap dominasi faksi ini, Leigh memaparkan empat hal yang menjadi alasan mengapa hal ini menjadi problematika bagi ALP (Leigh, 2023), diantaranya adalah: Pertama, kurangnya kompetisi antar faksi dapat menghilangkan tradisi perdebatan ideologis di dalam partai, yang sebenarnya telah menjadi ciri khas dari konferensi ALP, di mana ia mengutarakan bahwa hal ini dapat berujung pada situasi partai yang kehilangan prinsip fundamentalnya, yakni ideologi. Kedua, faksi seringkali tidak bersifat demokratis, mengingat pengambilan keputusan di dalamnya cenderung ditentukan oleh figur-figur elit tertentu. Ketiga, terbentuknya faksi membuat kader-kader partai yang baru saja bergabung, cenderung dipaksa untuk bergabung di dalamnya, guna menunjang karir politik di masa mendatang sebagai sebuah ‘pegangan.’ Keempat, keberadaan faksi secara tidak langsung membuat kader-kader partai yang tidak bergabung didalamnya menjadi teralienasi. Padahal menurut Leigh mereka bergabung di dalam partai bukan untuk berafiliasi dengan faksi tertentu, melainkan karena percaya terhadap ideologi, visi, dan misi partai itu sendiri.

              Namun begitu, terlepas dari kritik-kritik yang dipaparkannya, Andrew Leigh juga mengutarakan positioning dan solusi yang ditawarkannya akan isu ini. Ia mengungkapkan bahwa terafiliasi dengan faksi ataupun tidak bagi kader-kader partai tidaklah menjadi masalah, mengingat hal tersebut merupakan hak prerogatif mereka masing-masing (Leigh, 2023). Namun begitu, Leigh mengungkapkan bahwa penting bagi ALP untuk tetap menjaga keterbukaan, demokrasi, dan dinamika ideologis di dalam partai, dengan tetap memberikan ruang bagi kader-kadernya untuk tetap berkontribusi tanpa harus berafiliasi ke dalam faksi-faksi tertentu di dalam partai (Leigh, 2023). Sebab, dengan mengimplementasikan hal ini, menurut Leigh ALP akan mampu untuk menyesuaikan diri dengan setiap tantang politik di masa-masa mendatang.

              Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa ALP sendiri merupakan partai dengan latar belakang sejarah yang sangat kuat, di mana ideologi yang saling diperdebatkan untuk menentukan suatu kebijakan menjadi aspek penting dalam kegiatan partai yang satu ini. Adanya faksi dan friksi di dalam partai, tentu menjadi gambaran akan poin yang dipaparkan sebelumnya. Namun begitu, runtuhnya faksi-faksi di dalam ALP satu per satu, yang akhirnya hanya menyisakan kanan dan kiri, di mana faksi kiri cenderung lebih mendominasi, tentu telah menjadi problematika tersendiri bagi ALP, khususnya kader-kader yang memilih untuk tidak berafiliasi dengan faksi-faksi tertentu. Salah satunya adalah Andre Leigh yang mengutarakan beberapa poin yang menjadi kekhawatirannya akan dominasi faksi. Terlepas dari Leigh yang memang tidak menyarankan penghapusan faksi secara total, namun ia tetap mendorong partai untuk tetap memberikan ruang bagi kader-kader yang memilih untuk tidak berafiliasi dengan faksi untuk tetap berkontribusi.

              Sejalan dengan poin-poin yang telah diutarakan oleh Leigh pada bagian-bagian sebelumnya, penulis cenderung setuju akan kekhawatiran akan problematika dominasi faksi ini. Mengingat posisinya sebagai kader yang memilih untuk tidak berafiliasi dengan faksi, juga tidak lepas dari dirinya yang merupakan seorang dosen dan kader senior ALP, yang tentu saja menginginkan kondisi yang ideal bagi partainya. Dalam konteks positioning dan solusi yang ditawarkannya berkaitan dengan isu ini, penulis juga cenderung setuju dengan Leigh. Mengingat penghapusan faksi-faksi secara total di dalam partai politik tentu bukanlah hal yang memungkinkan, namun pemberian ruang untuk berkontribusi bagi kader-kader yang memilih untuk tidak berafiliasi dengan partai, tentu menjadi sebuah keharusan untuk menjamin bahwa demokrasi dapat ditegakkan di dalam partai dan disebarluaskan melalui kebijakan-kebijakan di tengah-tengah masyarakat.

 

 

Daftar Referensi 

Leigh, A. (2000). Factions and fractions: A Case Study of Power Politics in the Australian Labor Party. Australian Journal of Political Science, 35(3), 427-448.

Leigh, A. (2023, July 19). A more competitive Labor Party. Retrieved from https://www.andrewleigh.com/a_more_competitive_labor_party_speech

Smith, R. (1993). Politics in Australia. Sydney: Allen & Unwin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun