Mohon tunggu...
yosephine purwandani
yosephine purwandani Mohon Tunggu... Freelancer - karyawan swasta

Ibu dengan 3 anak Hobi : mendengarkan musik, koleksi perangko

Selanjutnya

Tutup

Diary

Belajar dari Seorang Anak yang Bernama Langit

14 Oktober 2024   14:56 Diperbarui: 14 Oktober 2024   15:03 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

                 Pada suatu hari, matahari sudah mulai naik dan menyengat, kami (saya, suami dan anak saya), bertiga menaiki motor untuk menyegarkan badan dengan berenang bersama. Ritual sabtu pagi itu biasanya hanya saya dan suami,namun pagi itu langit ingin ikut. Renang adalah olahraga pagi yang membuat lapar tentunya, maka jadwal selanjutnya kami lengkapi dengan makan pagi bersama. Dalam obrolan makan pagi, kami akan meneruskan rute selanjutnya ke makam mas Guru, yang tidak jauh dari tempat kami sarapan soto. Untuk kami orang jawa,ziarah menjadi hal yang biasa dilakukan. Beberapa hari lalu, dalam perjalanan kami ke eyang, langit tiba-tiba menangis penuh sesak, sampai tidak bisa ditanya, selang beberapa waktu ternyata dia habis mendengarkan lagu mas guru, dan mungkin membuatnya teringat kenangan-kenangan di teras kami setiap Rabu malam, "Ah, betapa sedihnya hatimu Nak!".

                 Semua seperti sudah jalannya, dipermudah juga kami dengan adanya pasar yang kami lewati sebelum ke makam, lalu kami dapat membeli bunga tabur, karena tidak persiapan, maka saya tidak membeli bunga seperti biasanya kalau kami akan ke makam. Bunganya juga murah 1 ons kami beli dengan harga sepuluh ribu rupiah saja, bahkan kami masih mendapat bonus dari simbah penjual bunga. "Terimakasih simbah penjual bunga!".

                 Sampailah kami di gerbang makam, saya nitip meletakkan belanjaan dari pasar di sebuah bangku tembok depan makam(sekalian ke pasar sekalian belanja sayuran he he), lalu langit mendekati saya "Ini Buk", "Lho, ya Mas to yang bawa, kan mau doain mas Guru kan?", Ia mengangguk sembari berjalan ke dalam komplek makam, tidak susah menemukan makam mas guru, karena masih terggolong baru dan posisinya mudah ditemukan, hanya sedikit mulai kering bunga tabur sebelumnya, mugkin karena sempat hujan jadi kesana kemari. Penanda nama tertutup pasir, langit coba bersihkan supaya kembali rapi dan terbaca, sebisanya dia rapikan bersama bapak. Sudah cukup bersih, kami panjatkan doa dari hati kami masing-masing untuk mas guru dan keluarga yang ditinggalkan. Saya berdiri bersiap mengambil gambar. Langit segera berujar, "ibuk jangan update status !!, ini bukan buat itu!", "Oh baik Mas, ibuk hanya ingin mengabadikan gambarmu saja untuk hal ini". "Iya buk, oke, asal jangan buat update pokoknya". Hanya sebuah percakapan kecil, namun saya mendapati pesan yang cukup dalam. 

              Ditengah maraknya setiap hal serasa wajib menjadi "status", senang, sedih bukan menjadi hal yang menjadi batasan untuk disampaikan ke khalayak umum. Bukan ingin menghakimi, ini hanya menyampaikan saja hal-hal dalam sudut pandang pribadi, bahkan pada satu momen tersedih pun beberapa banyak dari kita "masih sempat"untuk update momen tersebut. Kalau dibayangkan, bahkan saya mengalami sendiri rasanya tidak "sempat" update status, namun ini lah adanya, hal-hal demikian memang menjadi hal yang bisa kita lihat disekitar. Saya tidak ingin menyampaikan penghakiman atas apa yang masing-masimg orang lakukan dengan update status, karena tentuanya menjadi alasan pribadi untuk "membagi" cerita itu. Namun dari ucapan langit, saya belajar satu hal, bahwa momen indah dan menyentuh itu hanya ingin dia simpan dan miliki sendiri dalam kenangannya, tanpa update dan berbagi cerita tentang saat itu ke orang lain, rasanya jauh lebih indah dan tenang, khusuk, tanpa tendensi. Hanya ingin datang, mendoakan dan sedikit melepas rindu yang tak lagi bisa beradu, hanya itu yang dia inginkan.

             Terimakasih sayang, anakku langit, atas ilmu yang "menampar"ibumu ini. Setiap orang memiliki pilihan, tetapi ada hal-hal yang dulu dikedepankan sebagai adab, beberapa waktu ini menjadi tak terbatas, jika tak terhankan, maka upaya kita melakukan sesuatu hal itu semakin jauh dari esensi, tapi menjadi sebuah "pembuktian dan laporan" kepada orang lain bahwa kita telah melakukan hal tersebut, kita telah memiliki kesitimewaan untuk melakukan apapun hal itu, untuk memiliki apapun benda itu dengan "update" status. Mungkin tujuan kita jauh dari pamer, apalah dasarnya itu hanya masing-masing kita yang tau. Jika salah satu dari kita menyadari bahwa itu adalah untuk sebuah pengakuan maka hentikanlah, batasilah untuk hal-hal yang tidak perlu. Namun jika masih menjadi hal yang biasa saja tanpa tendensi maka itu kembali ke dirimu. 

Swargi Langgeng Mas Guru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun