JAKARTA - Setiap insan lahir ke dunia dengan beragam tujuan, harapan, dan juga bakti untuk dirinya dan masa depan. Bagi seorang Ridho (24), kondisi keterbatasan yang ia alami tidak menjadi pergumulan baginya, namun menjadi bekal untuk kesuksesannya memperkenalkan komunikasi yang inklusif. Tidak hanya itu, Ridho juga banyak mengalami pengalaman yang mewarnai hidupnya. Ridho merasa bahwa komunikasi lebih dari sekedar berbicara, namun menjadi sebuah saluran baginya untuk mengkaji lebih dalam mengenai keterkaitan identitasnya sebagai seorang difabel dan perannya yang memiliki hak dan kedudukan yang sama seperti orang-orang pada umumnya.
Berlatar belakang sebagai seorang perantau asal Minang yang kental akan kegigihannya, Ridho tumbuh besar sebagai seorang persona yang gigih dan ulet dalam mengenyam pendidikan dan bekerja. Walaupun peristiwa kecelakaan kepala yang terbentur saat hendak mengambil bola dan mengalami demam tinggi yang membuat kondisi pendengarannya menurun, hal tersebut tersebut tidak memudarkan semangatnya untuk mencari jati diri serta tumbuh dan berkembang. Ridho menceritakan dengan antusias tentang kesukaannya di berbagai bidang olahraga, membaca buku, hingga menulis artikel tentang inklusivitas teman tuli. Seperti kaum milenial pada umumnya, ia pun menyukai kuliner yang identik dengan makanan khas Jepang, ramen dan salah satu makanan kampung halamannya, nasi padang.
Identitas dirinya melalui pembelajaran ilmu komunikasi pun perlahan-lahan mengalami transformasi pesat. Rasa ingin tahu yang besar juga menjadi bekal bagi dirinya untuk menjadi pribadi yang afirmatif bagi dirinya sendiri dan sesama. Sebelum menjadi seorang Ridho yang sekarang, ia melewati begitu banyak pergulatan untuk menerima siapa dirinya. Kala itu, saat mengenyam pendidikan di masa SD hingga SMA, begitu banyak distorsi akan komunikasi untuk memahami banyak hal terutama dalam menyerap pembelajaran di sekolah, hal itu menyebabkannya menjadi pribadi yang cenderung pendiam dan berusaha membuat dirinya bukanlah seorang kaum difabel agar tidak mengalami perlakuan yang berbeda. Berlanjut pada pengalamannya ketika bekerja sebelum menjadi mahasiswa, ada pengalaman pahit yang dialami dalam lingkup kerjanya, salah satunya kurangnya inisiatif dari karyawan lainnya yang membantu dirinya memberikan informasi dari rapat yang ia hadiri secara daring. "Aku sangat kesulitan untuk memahami materi rapat tersebut karena tidak ada typist atau teman kerja yang mencatat materi rapat saat itu." tuturnya. Rasa kesendirian yang memuncak tersebut membuatnya mengalami keruntuhan mental dan mengungkapkan perasaannya di media sosial. Oleh karena kejadian ini, Ridho pun ditegur cukup keras atas aksi defensifnya.
Lika-liku yang telah ia lewati pun mengajarkannya begitu banyak hal mengenai usaha, kerja keras, dan juga relasi yang begitu luas. "Sejujurnya aku tuh suka banget menerapkan pola hidup sehat, aku menanamkan pola hidup ini sejak SMP. Biasanya setiap pagi sebelum bekerja aku sempatkan untuk jogging. Walaupun sekarang jadwalku cukup padat, aku sempatkan untuk berlari setidaknya 3-4x dalam seminggu". Setiap paginya, ia berusaha untuk mengadaptasi pola hidup sehat dengan jogging selama 30 menit. Begitu pula dengan manifestasi mengenai berperilaku baik dan menghargai sesama, serta mempertahankan hubungan baik dengan orang-orang terdekat, salah satunya mendapatkan dukungan dan doa dari orang tuanya yang menjadi pelindung imannya.
"Aku memegang prinsip dari kampung halamanku 'Kato Nan Ampek' artinya ada etika komunikasi sesuai dengan istilah kata nan empat, memang sudah menjadi dasarnya saja untuk menghargai sesama kita." Ia juga menegaskan bahwa sebagai manusia, menghargai orang lain adalah prinsip yang ia pegang dengan teguh terutama dalam usahanya menyuarakan aspirasi keadilan bagi kaum difabel. Ia juga menjelaskan bahwa hasil perjuangannya saat ini menghasilkan self-awareness yang begitu tinggi dalam mengenyam ilmu, interaksi dan relasi yang memiliki nilai yang begitu besar, keterampilan-keterampilan yang menunjang dirinya, hingga perubahan dan karakter diri menjadi persona yang lebih baik dan dewasa. "Aku sadar aku mempunyai kekurangan dalam membuat kata-kata, terkadang masih bertele-tele, sehingga aku berusaha untuk memperdalam literasi ku, waktu bekerja aku juga belajar untuk membaca dan merangkum undang-undang, perlahan-lahan banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang aku dapatkan". Personalitas Ridho ini pun diakui oleh salah satu temannya di kampus, Leo, yang menyatakan bahwa Ridho merupakan pribadi yang terbuka, antusias dan tidak pernah lelah dalam membagi ilmu komunikasinya sebagai kaum difabel untuk merekatkan hubungan pertemanan mereka. Leo pun mengharapkan bahwa Ridho juga tetap menjadi pribadi yang bisa menginspirasi banyak orang akan kegigihan dan kerendahan hatinya dengan komunikasinya yang afirmatif dan kohesif.
Berbicara tentang persahabatan-persahabatan yang ia jalin, Ridho juga memiliki teman-teman yang hadir menemani perjalanan hidupnya. Teman-temannya ini pun turut menginspirasi dirinya, salah satunya temannya yang memiliki kondisi autisme kini menjadi salah satu staf Social Media Management di UN (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan menjadi salah satu representatif pekerja dengan disabilitas yang inklusif akan isu-isu kaum difabel. Di lain sisi, temannya juga yang Perempuan Tuli menjadi staf di kementerian perhubungan. Dalam waktu dekat ini, ia juga bertemu dengan teman Tuli di kampusnya Unika Atma Jaya, yaitu Gary. Ia kagum akan peran Gary saat itu yang bertugas sebagai pembaca teks Pancasila saat masa orientasi kampus (ospek). Inspirasi ini juga tidak hanya melalui relasi yang terjalin secara langsung, namun juga melalui sosok-sosok hebat yang memotivasi dirinya untuk memperluas identitas dan jati dirinya sebagai kaum difabel. "Kalau yang terkenal mungkin mbak Angkie, karena dia sangat inklusif dalam menyebarluaskan awareness dan sebelumnya adalah seorang pengusaha sebelum akhirnya mengambil jabatan tersebut". Ridho mengakui kehebatan Angkie Yudistia, seorang kaum difabel yang kini menjabat sebagai Stafsus (Staf Khusus) presiden, lika-liku untuk mencapai jabatan yang fenomenal tersebut berhasil membuatnya sebagai inspirasi bagi banyak kaum difabel.
Emansipasi yang ia lakukan pun tidak akan selalu mudah. Ridho menganggap bahwa inklusivitas identitas disabilitas tentunya membutuhkan peran serta dari pihak awam sebagai orang yang dapat merangkul mereka dan berdaulat bersama. Ia merasa bahwa batasan-batasan dan persepsi sebelah mata yang dibuat oleh kaum awam hendaknya tidak menjadi dasar keraguan untuk menjalin relasi dan interaksi dengan kaum difabel dalam rangka berbaur serta bertukar gagasan dan juga ide-ide besar. Ridho juga menegaskan untuk tidak memandang kaum difabel sebagai sebuah objek perhatian yang merana yang mampu mengarah kepada pornografi inspiratif (tindakan mempertontonkan penyandang disabilitas sebagai inspirasi semata-mata karena mereka menyandang disabilitas).