Pernikahan menjadi suatu hal yang sakral dalam kehidupan. Umumnya semua orang berharap pernikahan terjadi hanya sekali dalam seumur hidup, akan tetapi tidak ada pernikahan yang akan selalu berjalan mulus. Setiap pernikahan pasti ada dinamikanya masing-masing. Salah satu kasus yang paling menarik perhatian saya yaitu kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT menjadi salah satu bentuk pelecehan paling umum terjadi di dunia. Di Indonesia sendiri berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) tercatat ada 23.922 kasus per Januari 2023 dan 21.102 diantaranya adalah perempuan yang menjadi korbannya. Hal tersebut menjadi urgensi penting bagi pemerintah untuk menangani kasus tersebut. Perlu juga antisipasi dari diri sendiri untuk dapat berjaga-jaga dalam menangani kasus tersebut.
Akhir-akhir ini mencuat kasus KDRT yang dialami oleh seorang dokter bernama dr. Qory. Berawal dari cuitan suaminya di platform X yang mencari keberadaan dr. Qory karena sudah meninggalkan rumah setelah ada pertengkaran diantara mereka. Banyak warganet yang berkomentar termasuk diantaranya merupakan kerabat kerja dr. Qory yang justru mengatakan bahwa suami dari dr. Qory merupakan seseorang yang abusive. Abusive merupakan tindakan yang kasar, merugikan secara fisik, emosional, maupun secara verbal. Akhirnya terungkap bahwa dr. Qory mengalami KDRT oleh suaminya dan kabur meninggalkan rumah tanpa membawa barang-barang apapun termasuk ponsel dan identitas. Setelah kejadian tindakan KDRT tersebut, dr. Qory pergi ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk meminta perlindungan dan melaporkan suaminya atas kasus KDRT yang dialaminya. Saat ini, suami dr. Qory sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka yang melanggar Pasal 44 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Salah satu hal yang sangat menarik perhatian saya yaitu langkah yang diambil oleh dr. Qory dalam menangani masalah KDRT yang dihadapinya, dengan meminta perlindungan ke dinas P2TP2A dan melaporkan tindakan suaminya. Menurut saya, itu adalah langkah yang sangat tepat untuk dilakukan. Karena saat ini, masih belum banyak orang yang berani mengambil langkah represif dalam menyikapi kasus KDRT untuk datang ke tempat perlindungan yang tepat. Ini juga sebagai salah satu hal yang bisa menjadi contoh pembelajaran bagi masyarakat jika suatu saat nanti mengalami hal yang sama bisa langsung datang ke lembaga terkait misalnya KOMNAS perempuan, dinas P2TP2A, atau dapat melaporkan langsung ke pihak berwajib. Langkah tersebut menjadi bekal yang harus dimiliki bagi setiap orang sehingga bisa mengantisipasi diri sendiri untuk dapat berjaga-jaga dalam menangani kasus tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H