Mohon tunggu...
Yosep Efendi
Yosep Efendi Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat Otomotif

Selalu berusaha menjadi murid yang "baik" [@yosepefendi1] [www.otonasional.com]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potret "Buram" Penyelenggaraan Pendidikan Kejuruan

10 November 2016   21:59 Diperbarui: 10 November 2016   22:11 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Inpres Nomor 9 tahun 2015 (sumber gambar: ditpsmk.kemdikbud.go.id)

Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan di Indonesia dikategorikan menjadi 7 jenis, yaitu  pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Yang menarik untuk dikaji adalah pendidikan kejuruan dan vokasi.

Sebab, dua jenis pendidikan tersebut berpengaruh besar terhadap upaya membangun sumber daya manusia dan berkontribusi terhadap kondisi perekonomian suatu negara. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pakar pendidikan kejuruan, Jhon F. Thompson dalam bukunya yang berjudul Foundations of Vocational Education, yang menyatakan bahwa pendidikan kejuruan menggerakkan pasar kerja dan berkontribusi pada kekuatan ekonomi suatu negara (1973: 93).  

Pendidikan kejuruan dan vokasi memiliki hubungan yang sangat erat , memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu sama-sama membekali peserta didiknya dengan kompetensi yang sesuai dengan dunia kerja. Perbedaanya adalah pada jenjang, istilah pendidikan kejuruan berada pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).

Sedangkan pendidikan vokasi berada pada jenjang pendidikan diploma atau jenjang pendidikan tinggi lain yang fokus memberikan keahlian khusus pada peserta didiknya. Begitu menurut UU Nomor 20 tahun 2013 tentang Sisdiknas.

Dari dua jenis pendidikan jalur vokasional tersebut, yang lebih mudah dijangkau masyarakat luas adalah pendidikan kejuruan pada jenjang SMK/MAK. Alasannya klasik, yaitu masalah pembiayaan. Tak semua masyarakat bisa menjangkau pendidikan vokasi, karena tak sedikit yang menganggap bahwa biayanya mahal. Meskipun ada beasiswa, namun jumlahnya terbatas. Besarnya populasi SMK dan peserta didiknya, menjadi alasan utama mengapa penting membahas pendidikan kejuruan, lebih mendalam.

Revitalisasi SMK Tidak Berdasar Pada Masalah?

Ilustrasi Inpres Nomor 9 tahun 2015 (sumber gambar: ditpsmk.kemdikbud.go.id)
Ilustrasi Inpres Nomor 9 tahun 2015 (sumber gambar: ditpsmk.kemdikbud.go.id)
Sebelum melihat potret permasalahan yang lama, mari Kita lihat apa yang relatif baru di pendidikan kejuruan Indonesia. Pada bulan September 2016 lalu, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, membuat “gebrakan” terkait pendidikan kejuruan. Gebrakan tersebut berupa dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) nomor 9 tahun 2016, yang berisi tentang Revitalisasi SMK dalam rangka peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia. Secara umum, isi Inpres tersebut adalah mengajak berbagai pihak untuk bersama-sama mendukung peningkatan kualitas pembelajaran dan lulusan SMK.

Pertama yang menarik yang untuk dikaji adalah alasan atau dasar dikeluarkannya Inpres nomor 9 tahun 2016. Ini penting untuk mengukur keberhasilan Inpres tersebut. Direktur Pembinaan SMK Kemdikbud, Mustaghfirin Amin, menyebutkan bahwa "Justru Inpres itu adalah jawaban pemerintah terhadap animo masyarakat yang tinggi untuk menyekolahkan anak di SMK. Makanya, Presiden ingin kualitas SMK menjadi lebih baik, jadi bukan lahir dari masalah" (sumber). Kalimat akhir pernyataan tersebut mengidikasikan bahwa Inpres revitalisasi SMK muncul bukan karena masalah yang terjadi pada penyelenggaraan SMK. Melainkan hanya untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK yang jumlahnya terus meningkat.

Direktorat Pembinaan SMK adalah lembaga pemerintah yang memiliki tugas untuk mengawal penyelenggaraan dan pengembangan SMK. Menjadi “aneh” jika ternyata tidak menyadari bahwa penyelenggaraan SMK masih mengalami berbagai masalah dan perlu perbaikan. Rasanya, Kita akan sepakat bahwa kualitas pendidikan SMK memang harus ditingkatkan.

Bahkan, tak hanya SMK, semua jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia. Tetapi, jika masalah-masalah yang terjadi dan dialami tidak dapat diidentifikasi, maka akan sulit untuk mencapai kualitas terbaik.

Padahal, revitalisasi ini sangat penting untuk menjawab tantangan dan peluang MEA dan Dekade Bonus Demografi Indonesia 2020-2030. Sebab, lulusan SMK akan berperan penting untuk menjawab tantangan dan mengisi peluang tersebut. Oleh sebab itu, mari Kita telusuri berbagai permasalahan nyata terjadi di SMK yang kerap disorot dan menjadi “Potret Buram”. Perlu ditekankan bahwa pemotretan masalah ini bukan bertujuan untuk mendiskriditkan SMK, melainkan untuk mencari solusinya. Agar program revitalisasi SMK bisa berjalan dengan baik.

Kurang Mesranya Hubungan SMK dan Industri

Orientasi pendidikan kejuruan adalah memberikan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan di Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI). Artinya, pendidikan kejuruan, SMK, harus memiliki hubungan yang erat dengan DU/DI, harus “mesra”. Kemesraan tersebut bisa bermanfaat untuk penyusunan kurikulum, proses pembelajaran, sarana hingga evaluasi pembelajaran SMK.

Termasuk untuk memberikan wawasan dan pelatihan industri bagi guru SMK. Dengan demikian, kompetensi yang diberikan pada siswa, benar-benar sesuai dengan kebutuhan di DU/DI. Sehingga, lulusan SMK yang tergolong usia produktif dan memiliki kompetensi, bisa diterima di dunia kerja.

Namun, faktanya tidak demikian. Tahun 2012, dalam penelitian Tesis saya yang berjudul “Pengelolaan Kemitraan SMK dan Dunia Usaha/Dunia Industri Di Daerah Istimewa Yogyakarta” mengungkap bahwa kemitraan SMK dan industri masih tergolong lemah, mulai dari point kerjasama hingga pelaksanaannya.

Artinya, antara SMK dan Industri belum terjalin hubungan yang “mesra”. Akibatnya, program Link and Match menjadi “jurus ampuh” kesuksesan pelaksanaan pendidikan kejuruan di Indonesia, menjadi tidak berjalan. Masalah lainnya adalah SMK sulit mencari mitra (institusi pasangan) yang relevan dan representatif.

Padahal, SMK dan industri harus memiliki hubungan kemitraan yang baik, karena sejatinya Mereka saling membutuhkan. Pihak SMK bertugas untuk memberi kompetensi pada peserta didik, yaitu kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri. Pihak industri akan “menampung” tenaga kerja dari lulusan SMK.

Itulah bentuk nyata dari program Link and Match yaitu untuk menghubungkan dan menyesuaikan pelaksanaan pendidkan kejuruan dan kondisi di industri. Jika tidak terjalin hubungan antara kedua pihak dan Link and Matchtidak berjalan, maka kompetensi lulusan SMK tidak akan relevan dengan kebutuhan industri. Akibatnya, lulusan SMK tidak dapat diserap industri. Ini adalah “hukum alam” di dunia pendidikan kejuruan.

Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 2015 dan masih di Yogyakarta, ternyata belum ada perubahan signifikan. Portal berita Koran Sindo mengabarkan bahwa lulusan SMK masih belum siap kerja dan ada perusahaan yang mengeluhkan kompetensi lulusan SMK (sumber). Jika ada hubungan baik antara SMK dan Industri, maka industri mitra tidak akan mengeluh. Jika ada keluhan disalah satu pihak, berarti ada masalah pada program kemitraan tersebut. Begitu “hukum” dalam sebuah kerjasama/kemitraan.

Lemahnya hubungan antara SMK dan Industri tidak hanya terjadi di Yogyakarta, yang menjadi lokasi penelitian saya. Hal itu terjadi di banyak daerah. Seperti yang terjadi di Makassar, portal berita ANTARA mengabarkan bahwa pelaku usaha mengeluhkan lulusan SMK yang belum memiliki kompetensi standarisasi kerja. (sumber). Masih menurut ANTARA, di Medan pun mengalamai hal yang sama, yaitu kompetensi lulusan SMK masih rendah dan perlu ditingkatkan (sumber).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendi, menyadari pentingnya kemitraan SMK dan Industri. Beliau mengatakan bahwa "Saya mendorong SMK untuk menjalin hubungan erat dengan industri, perusahaan yang berkaitan langsung produksinya, sehingga karya siswa tidak hanya satu namun bisa diperbanyak" (sumber).

Sepakat bahwa SMK harus didorong untuk menjalin kerjasama dengan industri, namun pertanyaannya, upaya apa yang bisa dilakukan untuk mendorong? Tentu tak cukup hanya dengan dorongan nasihat! Upaya yang dapat dilakukan oleh Mendikbud adalah mengajak Kementerian Perindustrian untuk membuat regulasi yang mengharuskan industri untuk bermitra dengan SMK.

Di mana Peran Pemerintah Dalam Menguatkan Kemitraan SMK dan Industri?

Selain mengungkap lemahnya kemitraan SMK dan industri, penelitian Tesis saya (yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya) juga menemukan fakta bahwa ada oknum industri yang enggan untuk bermitra dengan SMK. Alasannya, Mereka tidak mau direpotkan dengan urusan kompleks dalam penyelenggaraan SMK. Apa yang harus dilakukan terhadap industri yang enggan bermitra dengan SMK? Tidak ada!. Sebab tidak ada regulasi Kementerian Perindustrian yang mengatur itu.

Yang terus digaungkan Pemerintah sebagai regulator adalah SMK harus bekerjasama dengan Industri. Namun, tidak dengan industri. Tidak ada peraturan khusus yang mengatur bahwa industri harus bekerjasama dengan SMK, terutama SMK yang berada di sekitarnya. Inilah penyebab dari masalah sulitnya SMK menjalin kerjasama dengan industri yang sesuai dengan kebutuhan SMK.

Jadi selama ini, pihak SMK seolah dibiarkan mencari mitra dari industri sebagai institusi pasangannya. Meskipun secara manajemen dan sumber daya manusia di SMK, sanggup melakukan pendekatan ke industri. Namun, jika tidak disambut baik dengan industri, maka upaya tersebut tidak akan berhasil. Lantas, bagaimana dengan pemerintahan saat ini? Dengan Menteri Perindustrian yang baru, yaitu Erlangga Hartarto.

Dalam pernyataannya di sebuah media, Menteri Perindustrian Erlangga Hartarto berkata SMK kita dorong agar menjadi gerakan secara nasional agar SMK melakukan joining program dengan industri” (sumber). Ternyata, masih menggunakan “wejangan” lama, yaitu mendorong SMK untuk bermitra dengan industri. Mestinya, yang didorong oleh Kementerian Perindustrian adalah industri/ badan usaha untuk bermitra dengan SMK.

Jika memang ingin mendukung peningkatan kualitas SMK, sebaiknya Menteri Perindustrian membuat regulasi yang mengharuskan setiap industri memiliki hubungan kerjasama dengan SMK. Tentunya harus ada kesesuaian antara bidang kerja di industri dan spektrum keahlian di SMK. Misalnya industri logam bekerjasama dengan SMK bidang Pemesinan, Indsutri otomotif dengan SMK Teknik Kendaraan Ringan dan Teknik Sepeda Motor, dan sebagainya.

Terkait keharusan kerjasama ini, Kementerian Perindustrian harus memberikan wawasan kebermanfaatan pada industri jika bekerjasama dengan SMK. Karena memang banyak manfaat yang akan diperoleh industri, misalnya kesesuaian antara kompetensi lulusan SMK dan kebutuhan kerja di industri dan tentunya mendapat calon tenaga kerja bagi industri.

Kementerian Perindustrian hendaknya membuat regulasi yang ketat, agar industri bersedia bermitra dengan SMK. Tak menutup kemungkinan untuk memberikan sanksi tertentu pada industri yang tidak bersedia bekerjasama dengan SMK. Jika ini dilakukan, maka masalah kemitraan SMK dan industri, dapat terselesaikan.

Ledakan Jumlah Siswa SMK, Minimnya Sarana-Prasarana Pembelajaran dan Pengangguran Dari Lulusan SMK

Hingga saat ini, Pemerintah terus berusaha meningkatkan jumlah SMK. Berdasar pada orientasi pendidikan kejuruan SMK yaitu lulus bisa siap kerja, SMK menjadi solusi untuk mengurangi angka pengangguran.

Tahun 2005, jumlah murid SMK “hanya” 750.000 orang. Tahun ini, 2016, angka itu melonjak tajam menjadi sekitar 4,5 juta orang (sumber). Lonjakan ini dikarenakan terjadi peningkatan jumlah SMK, sesuai dengan rencana pemerintah untuk mencapai rasio 60:40 (60% SMK dan 40% SMA). Sebab, dahulu, lulusan SMA banyak yang menjadi pengangguran, karena tidak memiliki keterampilan.

Saya sependapat dengan logika penambahan rasi SMK:SMA menjadi 60:40 untuk mengurangi angka pengangguran. Namun, penambahan rasio SMK:SMA tak cukup hanya berdasar logika. Permasalahannya adalah apakah penambahan jumlah unit SMK diimbangi dengan kualitas sarana-prasarana pembelajaran?

Pendidikan kejuruan di SMK adalah pendidikan yang mahal, sebab sarana dan prasarananya harus disesuaikan dengan yang ada di industri dan itu biayanya sangat tinggi. Sebab, pendidikan kejuruan bukan pendidikan “teori”, yang bisa berjalan tanpa media pembelajaran yang relevan dengan bidang keahlian.

Pendidikan kejuruan adalah pendidikan “Hands On Experience”, yang menuntut peserta didiknya memiliki pengalaman nyata sesuai bidang keahlian yang dipilih. Contoh, siswa bidang keahlian Teknik Kendaraan Ringan yang mempelajari Sistem Transmisi kendaraan. Ia harus benar-benar memahami secara teori dan praktik dengan unit sistem trasmisi. Tak cukup hanya berteori, tanpa praktikum.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana potret perlengkapan sarana dan prasarana di SMK saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, izinkan saya bercerita. Hari Sabtu dan Minggu (5 dan 6 Nopember 2016) lalu, saya mendapat kepercayaan untuk menjadi juri Lomba Kompetensi Siswa (LKS) SMK tingkat provinsi, untuk bidang keahlian Teknik Sepeda Motor (TSM). Sebelum hari pelaksanaan lomba, pihak guru diundang Technical Meeting untuk membahas kompetensi, alat dan unit kendaraan yang akan dilombakan. Kegiatan ini bertujuan agar guru dan siswa bisa mempersiapkan diri.

Pada saat hari pelaksanaan lomba, banyak siswa yang tidak mengetahui fungsi dan cara penggunaan alat yang telah disediakan. Alatnya sangat sederhana, yaitu Clutch Spring Compressor, yang digunakan sebagai penahan saat akan membongkar atau memasang pegas pada Pully sekunder sepeda motor matic. Mereka tidak mengetahui alat tersebut karena belum pernah melihat dan menggunakannya di sekolah. Padahal, untuk ukuran lembaga pendidikan, harga alat tersebut tidaklah mahal, hanya sekitar Rp 200.000 hingga Rp 250.000.

(Clutch Spring Compressor (foto. yosep efendi)
(Clutch Spring Compressor (foto. yosep efendi)
Potret keterbatasan peralatan praktik di SMK adalah potret klasik dan terjadi di banyak berbagai daerah. Penyebabnya pun juga klasik, yaitu masalah keterbatasan dana untuk membeli peralatan praktik. Sebenanarya, masalah keterbatasan sarana pembelaaran ini bisa diatasi melalui kerjasama dengan industri. Namun, ternyata, seperti yang saya tuliskan pada paragraf-paragraf seblumnya, kerjasama dengan industri juga menemui masalah.

Jadi, mengapa pemerintah “terburu-buru” meningkatkan jumlah siswa dan unit SMK? Mengapa tidak berusaha untuk terlebih dahulu memperbaiki kualitas sarana pembelajaran di SMK yang telah berdiri. Agar kualitas lulusan menjadi lebih baik. Sebab, yang terpenting dari pendidikan adalah kualitas, bukan kuantitas.

Ketika kuantitas lebih didahulukan daripada kualitas, ditengah terbatasnya sarana pembelajaran, maka kompetensi lulusan SMK menjadi dipertanyakan. Menjadi hal “wajar” jika ada industri yang mengeluh dengan rendahnya kompetensi lulusan SMK, seperti yang telah saya tuliskan pada paragraf sebelumnya.

Jika kualitas lulusan yang rendah dan industri mengeluh, maka berdampak pada sulitnya lulusan SMK untuk masuk ke industri dan menjadi pengangguran. Berdasarkan data terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 7 November 2016, tercatat bahwa lulusan SMK menyumbang angka tertinggi pada akumulasi pengangguran terbuka di Indonesia. Dari 7,03 juta pengangguran di Indonesia, persentase tertinggi disumbang oleh lulusan SMK, yaitu 11,11%. Ini adalah salah satu bukti jika lebih mengedepankan kuantitas daripada kualitas.

Persentase Pengangguran Terbuka Bedasarkan Tingkat Pendidikan (sumber gambar: www.bps.go.id)
Persentase Pengangguran Terbuka Bedasarkan Tingkat Pendidikan (sumber gambar: www.bps.go.id)
Jadi, jika memang pemerintah ingin meningkatkan kualitas lulusan SMK, sebaiknya pemerintah mengevaluasi lagi program penambahan jumlah siswa dan unit SMK. Lebih baik terlebih dahulu meningkatkan kualitas SMK yang telah ada dan siswa yang sudah masuk SMK. Pemerintah hendaknya memberikan alokasi dana khusus untuk peningkatan kualitas SMK.

Membangun Manusia Indonesia dan Mewujudkan Nawacita Melalui Pendidikan Kejuruan

Pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki 9 agenda prioritas atau dikenal dengan istilah Nawacita. Tiga dari 9 agenda prioritas tersebut sangat dekat hubungannya dengan pendidikan kejuruan, yaitu poin ke-5, ke-6 dan ke-7. Inti dari ketiga point tersebut meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan, meningkatkan produktivitas rakyat dan mewujudkan kemandirian ekonomi. Pendidikan kejuruan yaitu SMK, memiliki peran yang stretegis untuk mewujudkan 3 cita-cita tersebut.

Pendidikan kejuruan di SMK membekali peserta didiknya dengan kompetensi. Kompetensi merupakan gabungan dari aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan. Lulusan SMK yang kompeten akan membentuk pribadi yang produktif dan kreatif. Sehingga, barisan lulusan SMK akan menjadi garda terdepan dalam mewujudkan peningkatan kualitas hidup, produktifitas dan kemandirian ekonomi bangsa dan negara. Maka, sudah sepatutnya, pemerintah harus lebih memperhatikan SMK. Salah satunya dengan mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk penyelenggaraan SMK.

Tiga tahun lagi, yaitu tahun 2020 hingga 2030, Indonesia akan memasuki era Bonus Demografi. Suatu era dimana jumlah usia produktif lebih banyak daripada usia non-produktif. Era tersebut bisa menjadi peluang sekaligus ancaman bagi Indonesia.

Peluangnya antara lain adalah pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena banyak masyarakat yang produktif dan bisa menghasilkan sesuatu. Salah satu ancaman besarnya adalah terjadi ledakan jumlah pengangguran. Kondisi tersebut bisa saja terjadi jika ternyata masyarakat usia produktif tidak memiliki kompetensi untuk menghasilkan sesuatu.

Di sinilah peran strategis SMK, yaitu membekali calon masyarakat produktif dengan kompetensi. Dengan syarat, berbagai “catatan merah” pada penyelenggaraan SMK dapat diperbaiki dan tetap mengutamakan kualitas. Meskipun diselimuti banyak potret buram, namun SMK masih memberi harapan besar bagi pengembangan potensi sumber daya manusia Indonesia. Yang selanjutnya berdampak pada kesejahteraan Indonesia.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun