Saya sependapat dengan logika penambahan rasi SMK:SMA menjadi 60:40 untuk mengurangi angka pengangguran. Namun, penambahan rasio SMK:SMA tak cukup hanya berdasar logika. Permasalahannya adalah apakah penambahan jumlah unit SMK diimbangi dengan kualitas sarana-prasarana pembelajaran?.
Pendidikan kejuruan di SMK adalah pendidikan yang mahal, sebab sarana dan prasarananya harus disesuaikan dengan yang ada di industri dan itu biayanya sangat tinggi. Sebab, pendidikan kejuruan bukan pendidikan “teori”, yang bisa berjalan tanpa media pembelajaran yang relevan dengan bidang keahlian.
Pendidikan kejuruan adalah pendidikan “Hands On Experience”, yang menuntut peserta didiknya memiliki pengalaman nyata sesuai bidang keahlian yang dipilih. Contoh, siswa bidang keahlian Teknik Kendaraan Ringan yang mempelajari Sistem Transmisi kendaraan. Ia harus benar-benar memahami secara teori dan praktik dengan unit sistem trasmisi. Tak cukup hanya berteori, tanpa praktikum.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana potret perlengkapan sarana dan prasarana di SMK saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, izinkan saya bercerita. Hari Sabtu dan Minggu (5 dan 6 Nopember 2016) lalu, saya mendapat kepercayaan untuk menjadi juri Lomba Kompetensi Siswa (LKS) SMK tingkat provinsi, untuk bidang keahlian Teknik Sepeda Motor (TSM). Sebelum hari pelaksanaan lomba, pihak guru diundang Technical Meeting untuk membahas kompetensi, alat dan unit kendaraan yang akan dilombakan. Kegiatan ini bertujuan agar guru dan siswa bisa mempersiapkan diri.
Pada saat hari pelaksanaan lomba, banyak siswa yang tidak mengetahui fungsi dan cara penggunaan alat yang telah disediakan. Alatnya sangat sederhana, yaitu Clutch Spring Compressor, yang digunakan sebagai penahan saat akan membongkar atau memasang pegas pada Pully sekunder sepeda motor matic. Mereka tidak mengetahui alat tersebut karena belum pernah melihat dan menggunakannya di sekolah. Padahal, untuk ukuran lembaga pendidikan, harga alat tersebut tidaklah mahal, hanya sekitar Rp 200.000 hingga Rp 250.000.
Jadi, mengapa pemerintah “terburu-buru” meningkatkan jumlah siswa dan unit SMK? Mengapa tidak berusaha untuk terlebih dahulu memperbaiki kualitas sarana pembelajaran di SMK yang telah berdiri. Agar kualitas lulusan menjadi lebih baik. Sebab, yang terpenting dari pendidikan adalah kualitas, bukan kuantitas.
Ketika kuantitas lebih didahulukan daripada kualitas, ditengah terbatasnya sarana pembelajaran, maka kompetensi lulusan SMK menjadi dipertanyakan. Menjadi hal “wajar” jika ada industri yang mengeluh dengan rendahnya kompetensi lulusan SMK, seperti yang telah saya tuliskan pada paragraf sebelumnya.
Jika kualitas lulusan yang rendah dan industri mengeluh, maka berdampak pada sulitnya lulusan SMK untuk masuk ke industri dan menjadi pengangguran. Berdasarkan data terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 7 November 2016, tercatat bahwa lulusan SMK menyumbang angka tertinggi pada akumulasi pengangguran terbuka di Indonesia. Dari 7,03 juta pengangguran di Indonesia, persentase tertinggi disumbang oleh lulusan SMK, yaitu 11,11%. Ini adalah salah satu bukti jika lebih mengedepankan kuantitas daripada kualitas.
Membangun Manusia Indonesia dan Mewujudkan Nawacita Melalui Pendidikan Kejuruan
Pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki 9 agenda prioritas atau dikenal dengan istilah Nawacita. Tiga dari 9 agenda prioritas tersebut sangat dekat hubungannya dengan pendidikan kejuruan, yaitu poin ke-5, ke-6 dan ke-7. Inti dari ketiga point tersebut meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan, meningkatkan produktivitas rakyat dan mewujudkan kemandirian ekonomi. Pendidikan kejuruan yaitu SMK, memiliki peran yang stretegis untuk mewujudkan 3 cita-cita tersebut.
Pendidikan kejuruan di SMK membekali peserta didiknya dengan kompetensi. Kompetensi merupakan gabungan dari aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan. Lulusan SMK yang kompeten akan membentuk pribadi yang produktif dan kreatif. Sehingga, barisan lulusan SMK akan menjadi garda terdepan dalam mewujudkan peningkatan kualitas hidup, produktifitas dan kemandirian ekonomi bangsa dan negara. Maka, sudah sepatutnya, pemerintah harus lebih memperhatikan SMK. Salah satunya dengan mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk penyelenggaraan SMK.