Dengan mengantar anak ke sekolah, salah satunya saat hari pertama sekolah, berguna bagi orangtua/wali murid untuk mengetaui lebih dekat bagaimana lingkungan sekolah, lingkungan “rumah kedua” anak. Sekali lagi, sekolah bukan lingkungan yang menakutkan bagi anak, sehingga orangtua harus mengetahui tiap sudut sekolah yang mungkin membahayakan anak. Bukan, jelas bukan itu. Dengan mengetahui seperti apa wujud rumah kedua anak, maka orangtua bisa membantu kebutuhan pendidikan anak yang mungkin tidak/belum tersedia di sekolah.
Sekolah sejatinya harus bisa memfasilitasi kebutuhan pendidikan anak, baik kebutuhan pokok pendidikan seperti sarana dan prasarana pembelajaran, maupun kebutuhan pendukung. Namun, terkadang ada sekolah yang masih mengalami keterbatasan untuk itu. Misalnya, terbatasnya koleksi buku di perpustakaan, hingga mungkin menu kantin sekolah yang kurang sesuai dengan harapan anak atau orangtua.
Jika itu terjadi, mungkin orangtua bisa menyediakan buku bacaan tambahan di rumah. Selain sebagai tambahan varian buku di sekolah, penyediaan buku di rumah juga bisa menerapkan Gerakan Literasi, yang kerap disuarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Sedangkan masalah menu kantin, jika dirasa kurang sesuai dengan selera anak. Maka orangtua akan menyiapkan makanan dari rumah, untuk dibawa anak ke sekolah sebagai bekal. Mungkin ini dianggap masalah sepele, tetapi sebenarnya ini penting, tentunya untuk mencukupi kebutuhan gizi anak. Agar anak tetap semangat dan sehat saat belajar di sekolah.
Dengan mengenali lingkungan sekolah si anak, orangtua juga bisa memberi saran atau kritik pada pengelola sekolah, guna kebaikan lingkungan sekolah. Misalnya, lingkungan sekolah kok dirasa kurang bersih atau toilet kotor atau bau. Orangtua/atau wali bisa saja menyampaikan masalah tersebut pada pihak sekolah. Selanjutnya, pihak sekolah bisa mengupayakan mengatasi masalah tersebut.
Selain memberi kritik, orangtua/wali juga bisa memberi saran atau bantuan untuk kegiatan-kegiatan penunjang pendidikan di sekolah. Misalnya, sekolah ternyata membutuhkan pendamping atau pembimbing untuk kegiatan kebudayaan yang mengangkat seni dan budaya lokal. Ternyata ada orangtua/wali yang pandai kesenian lokal dan bisa membantu kesulitan sekolah untuk kegiatan tersebut. Dan banyak peran lain yang mungkin bisa dilakukan orangtua/wali untuk mendukung kegiatan pendidikan di sekolah. Sekali lagi, demi kebutuhan pendidikan anak. Demi kelancaran proses pendidikan para penerus Bangsa.
Mengenali “Orangtua Kedua” Anak: Membangun Komunikasi dengan Ibu dan Bapak Guru
Masih berdasar pengamatan saat hari pertama masuk sekolah, di SD Negeri 2 Barenglor Klaten, tampak orangtua/wali murid yang mengantar anaknya, yang berbincang dengan Ibu/Bapak guru yang sudah stand by dekat pintu gerbang sekolah. Sebagian lagi “tak berani” menemui guru, hanya menunggu di luar gerbang, sambil mengamati anak yang berusaha masuk di barisan siswa.
Upaya orangtua/wali yang bertemu dan berkomunikasi dengan guru sekolah, layak untuk ditiru. Ketika orangtua dan guru bertemu, maka sedikit banyak akan ada terbangun komunikasi, misalnya komunikasi masalah pendidikan anak. Akan lebih baik jika tumbuh diskusi, yang membahas permasalahan atau perkembangan pendidikan anak. Ini penting, sebab, guru adalah orangtua kedua bagi anak sekolah.
Saat di sekolah, guru bertanggungjawab penuh terhadap pendidikan anak. Apakah Anda ingin mengenal orangtua kedua anak Anda? Saya yakin ada keinginan itu. Jika ada, jangan ragu untuk menemui Ibu/Bapak guru di sekolah. Bertemu untuk membahas perkembangan anak di sekolah. Apalagi jika ternyata anak mengalami masalah atau kesulitan belajar di sekolah, yang tidak anak ceritakan dengan orangtua di rumah. Dengan menemui guru di sekolah, kemungkinan masalah tersebut akan segera diketahui dan dicarikan solusinya, solusi bersama demi kebaikan anak.
Karena dahulu Orangtua saya rajin mengantar dan berkomunikasi dengan guru di sekolah, orangtua saya jadi akrab dengan guru, hingga kini. Orangtua saya sangat akrab dengan sebagian guru yang pernah mengajar saya di sekolah, bahkan guru kelas 1 SD saya dulu. Tak jarang saling mengunjungi rumah, untuk sekedar mengeratkan silaturahmi.