Dua puluh tiga tahun yang lalu, saya mulai merasakan pendidikan formal di sebuah Sekolah Dasar (SD), yang bernama SD Negeri Sigam (Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan). Sekolah yang sejak beberapa tahun lalu telah berganti nama menjadi SD Negeri 20 Gelumbang itu belokasi di dusun 1 Desa Sigam. Jaraknya sekitar 2,5 Km dari rumah saya yang berada di ujung desa, daerah perbatasan dengan desa lain.
Saya tak begitu ingat bagaimana perasaan saya saat hari pertama sekolah. Yang saya ingat adalah Mamak (baca: Ibu) selalu mengantar dan menunggu selama beberapa minggu awal saya sekolah. Mamak setia mengantar dan menunggu bukan karena ada perintah atau seruan untuk mengantarkan dan menunggui anak di hari pertama sekolah, tetapi untuk memberi semangat pada putranya ini. Pasalnya, Beberapa hari pertama masuk sekolah, saya kerap menangis di sekolah.
Menangis karena takut, sebab belum familiar dengan lingkungan sekolah. Biasanya, si yosep kecil ini, selalu menghabiskan waktu pagi hingga siang di kebun sayur garapan Bapak dan Mamak. Sekedar duduk di gubuk kecil, sembari bermain, mengamati monyet dan babi hutan yang kerap lalu lalang di kejauhan. Maka, saat pertama masuk sekolah dan mendapat lingkungan baru, butuh waktu untuk proses adaptasi. Mamak pun sabar membantu saya melalui fase adaptasi di sekolah.
Mengantar Anak Ke Sekolah Untuk Memberi Semangat
Kesabaran mamak mengantar dan menunggui saya di sekolah, bukan tanpa alasan kuat. Selain sebagai salah satu wujud cinta pada anak, Mamak percaya bahwa sebenarnya saya antusias sekolah. Kata Mamak, sejak saya berusia 4 tahun, jika melihat anak berseragam sekolah maka saya akan merengek minta disekolahkan.
Tapi apa daya, syarat usia masuk SD belum terpunuhi. Saat itu, keluarga kami belum bisa menjangkau pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK), terkendala faktor biaya. Tetapi, saat usia sudah layak masuk SD, saya justru takut dan menangis. Beruntung, saya punya mamak yang sabar mengantar, menemani dan memberi semangat.
Saya percaya bahwa sebagian besar anak masuk SD atas keinginan sendiri, tanpa paksaan. Namun, sebagai anak, tentu ada rasa takut atau khawatir saat berada di lingkungan baru, seperti sekolah. Sekolah memang bukan lingkungan yang menakutkan, tetapi rasa takut dan khawatir anak tentu tak bisa dianggap sepele. Oleh sebab itu, dibutuhkan perhatian lebih dari orang tua. Misalnya, memberi semangat pada anak dan mengantarkannya saat pertama masuk sekolah.
Mengantarkan anak saat pertama masuk sekolah sebaiknya tak dimaknai sebagai upaya menghalangi kemandirian anak. Kemandirian tak hanya dimaknai sebagai upaya melakukan segala hal hanya seorang diri. Serta tak bisa digeneralisir untuk semua usia dan segala kondisi. Kemandirian dan semangat adalah dua hal yang berbeda. Upaya mengantarkan anak ke sekolah diyakini dapat memupuk semangat sekolah anak.
Alasan mengantar anak untuk penumbungan semangat sekolah juga diamini oleh beberapa orangtua yang tengah mengantar dan menunggu anaknya di sekolah, saat hari pertama masuk sekolah 18 Juli 2016 lalu. Saat hari pertama masuk sekolah, senin (18/72016), saya sengaja mampir ke SD Negeri 2 Barenglor Klaten, yang lokasinya satu arah dan selalu saya lalui saat akan berangkat kerja. Mampir untuk sekedar turut menikmati keramaian hari pertama sekolah.
Pada kesempatan itu, saya berbincang dengan beberapa orangtua, yang mengantar anaknya. Salah satunya, Mas Pur, yang mengantar anaknya dihari pertama sekolah. Katanya, anaknya akan antusias sekolah jika diantar oleh orangtua, ayah atau Ibu. Meskipun pemberi layanan antar jemput sekolah cukup banyak, tetapi Ia tak menggunakan layanan itu. Karena putri pertamanya itu lebih memilih diantar oleh Ia atau Ibunya, bukan orang lain. Jadi, dengan turut peran serta mengantar anak ke sekolah, dapat meningkatkan antusiasme dan semangat sekolah anak.