Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara, merupakan bangsawan Yogyakarta yang menaruh perhatian terhadap pendidikan rakyat Indonesia pada awal abad 20, saat masa kelam terjajahnya Indonesia. Berbekal ilmu pendidikan yang diperoleh saat pengasingan di Belanda dan dukungan rekan, Beliau mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa tahun 1922.
Saat jaman penjajahan Belanda di Indonesia dulu, memang sudah ada sekolah-sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun, menurut Ki Hadjar Dewantara, sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah tersebut terlalu intelektualistik, materialistik dan menghasilkan manusia yang individualis (sumber). Tidak cocok dengan kultur dan karakteristik bangsa Indonesia.
Tujuan Pendidikan Nasional dan Fakta Yang Terjadi
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Definisi tersebut dijabarkan lebih detail dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2013, bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari dua definisi tersebut, tampak bahwa tujuan Pendidikan Nasional sangatlah mulia. Tidak hanya mengembangkan ilmu, tetapi juga karakter mulia. Karakter yang sesuai dengan ideologi dasar bangsa, yaitu Pancasila.
Namun, faktanya proses pendidikan sempat "berbelok" dari tujuan mulia Pendidikan nasional. Saat Ujian Nasional (UN) masih dijadikan penentu kelulusan, fokus proses pendidikan tampak "berbelok". Perhatian guru dan peserta didik (khususnya kelas 6 SD, 9 SMP dan 12 SMA) menjadi terpusat pada kisi-kisi soal UN dan strategi untuk lulus UN. Celakanya, lulus UN dianggap sebuah keharusan untuk menyelamatkan harga diri.
Iming-iming nilai UN tinggi bisa menjadi “tiket” masuk Perguruan Tinggi favorit dan nantinya bisa mendapat pekerjaan idaman. Nasib tragis dialami oleh peserta didik yang tak lulus, ada yang mengalami tekanan batin dan bahkan ada yang bunuh diri. Inilah pendidikan yang terlalu intelektualistik dan materialistik, yang dahulu ditolak oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara.
Ketika UN dianggap penentu kelulusan, maka tujuan pendidikan akan terpusat ke sana. Akibatnya, esensi dan proses fundamental dari pendidikan, yaitu menumbuhkan karakter bernilai Pancasila, menjadi kegiatan minoritas. Ketika itu terjadi, konflik dalam ekosistem pendidikan (sekolah) sulit dihindari. Konflik sosial yang kerap terjadi adalah adanya siswa yang tidak menghormati guru, kekerasan pada siswa dan tawuran. Begitu juga konflik antara pihak sekolah dan masyarakat, misalnya orang tua siswa menggugat guru karena tidak terima anaknya mendapat “kekerasan” di sekolah. Konflik-konflik tersebut sering muncul di pemberitaan media. Andai saja proses pendidikan mengacu pada tujuan Pendidikan Nasional, konflik-konflik tersebut dapat diminimalisir atau bahkan tak muncul konflik yang berarti.
Revolusi Mental Pendidikan
Nampaknya, konflik yang terjadi dalam sistem pendidikan nasional tersebut telah terbaca oleh pihak Pemerintah Kabinet Kerja yang dinahkodai oleh Presiden Joko Widodo. Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang kerap disuarakan oleh Presiden Joko Widodo, diaplikasikan pada semua aspek kehidupan Bangsa, termasuk Pendidikan. Pendidikan dan institusinya memiliki peran strategis dalam upaya mensukseskan GNRM.
Gerakan Nasional Revolusi Mental yang merupakan gerakan sosial untuk bersama-sama menuju Indonesia lebih baik, diupayakan lintas sektoral dengan melibatkan semua aspek masyarakat agar dapat menumbuh-kebangkan nilai-nilai moral semua lapisan masyarakat. Artinya, Gerakan tersebut dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat, yaitu untuk Kita semua.