Mohon tunggu...
Yosep Efendi
Yosep Efendi Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat Otomotif

Selalu berusaha menjadi murid yang "baik" [@yosepefendi1] [www.otonasional.com]

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Begini Potret Petani Karet Saat Ini: Meprihatinkan

7 Februari 2016   20:58 Diperbarui: 7 Februari 2016   21:09 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Suasana Penjualan Karet, "Nimbang Getah" (dok. pribadi)"][/caption]

Beberapa hari yang lalu saya sudah mengulas penyebab rendahnya harga keret dan upaya petani untuk mencari alternative usaha lain (baca: Harga Karet Terus Anjlok, Petani Karet Melirik Nanas). Kini, saya akan membahas mengenai kondisi sebenarnya para petani  dan buruh tani karet berdasarkan hasil wawancara obrolan dengan Mereka.

Sejak akhir 2015 hingga saat ini, adalah masa yang menyedihkan bagi para petani karet. Ini seperti sejarah 2008 lalu, yang terulang. Sejarah rendahnya harga karet, yang saat ini menyentuh harga Rp 6.000/Kg. Dengan harga itu, para petani dan buruh tani karet, tidak berdaya. Harga keret di tingkat petani sempat mencapai Rp 25.000/Kg pada tahun 2011. Memang harga tinggi itu bukan harga “normal”, artinya hanya beberapa bulan saja.

Harga karet biasanya pada rentang Rp 12.000 – Rp. 16.000/Kg, tergantung kondisi. Ketika harga mencapai Rp 25.000/Kg, petani seperti mendapat hadiah. Ketika itu, banyak petani yang memperbaiki rumahnya (dari dinding papan kayu menjadi tembok batu), membeli kendaraan, menambah saldo rekening tabungan dan banyak pemuda lajang yang menikah (mumpung ada “modal” nikah). Banyak “jomblo” terselamatkan!

Namun kini, per tanggal 6 Februari 2016, harga karet hanya Rp 6.000/Kg. Harga itu berlaku di kawasan Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Harga di daerah lain, yang jaraknya jauh dari Kota Palembang (Pabrik Karet), semakin rendah lagi. Karena pertimbangan biaya transportasi dan penyusutan bobot karet. Bagaimana kondisi petani karet saat ini? Mari kita cari tahu.

Kemarin, Sabtu (6/2/16) saya mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan petani karet di sebuah dusun di kawasan Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Kemarin kebetulan bertepatan dengan jadwal penjualan karet petani ke pengepul (baca: toke karet). Penjualan karet di sini dikenal dengan istilah “Nimbang Getah” (getah=karet). Penjualan karet, Nimbang Getah, dilakukan 2 kali sebulan, biasanya tiap tanggal 6 dan tanggal 21. Harga jual 2 mingguan lebih murah daripada bulanan, karena karet 2 mingguan kandungan airnya tinggi. Saat itu, ada sekitar 20 petani karet yang hendak menjual karetnya. Mereka berkumpul di salah satu rumah. Sedangkan karet Mereka tertata rapi di tepian jalan,  dengan bentuk balok ukuran kira-kira panjang 60 cm, Lebar 40 cm dan tinggi 40 cm, serta beraroma khas.

[caption caption="Balok Karet Hasil Petani (Dok. Pribadi)"]

[/caption]

Di pagi yang cerah itu, Mereka terlihat sedang asik ngobrol, sembari menunggu pembeli datang. Saya sempat berbincang-bincang dengan sebagian dari Mereka. Yang pertama, saya berbincang dengan Pak Nur, yang berusia sekitar 50 tahun. “Apa kabar pak? bagaimana hasil karet bulan ini?” pertanyaan pembuka saya. “Alhamdulillah baik, tapi kantong lagi tidak baik” jawabnya. Jawaban melompat yang mengindikasikan hasil karet sedang tidak baik. “Lho, Kenapa pak?” saya berusaha memastikan. “ini hasil karetnya sedikit, harganya malah murah terus”, “bingung bagi uangnya” jawabnya dengan ekspresi datar. “bulan ini kira-kira dapat berapa Kg pak?” pertanyaan penasaran saya.

sekitar 150kg mas, kalau cuaca normal bisa dapat 300kg” jawabnya dengan sedikit semangat. Jika Beliau dapat 150kg, berarti akan membawa uang sekitar Rp 900.000 (dengan harga Rp. 6000/Kg). “Bingung ini apa yang mau di kirim ke anak” tambahnya. Ternyata, Beliau memiliki putra yang sedang sekolah di salah satu SMA favorit di kabupaten tetangga, Ogan Ilir. Putranya tersebut menginap di asrama, karena jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh, sekitar 35 KM. Sehingga, Beliau harus mengirim uang guna kebutuhan putranya.

Beruntung, biaya pendidikan di sini gratis. Jadi tidak perlu mengeluarkan uang untuk SPP sekolah. Uang 900ribuan itu, harus Ia bagi-bagi untuk kebutuhan sehari-hari, dikirimkan ke putra pertamanya dan uang jajan serta transport untuk putrinya yang masih duduk di bangku SMP. “tapi Alhamdulillah ya pak, masih diberi kesehatan dan rezeki” saya berusaha mengembalikan semangat. “iya mas, Alhamdulillah sehat terus” jawabnya dihiasi senyum. “bagaimana ini kalo murahnya lama, Semester ini anak saya lulus SMA dan dia minta kuliah” Beliau menambahkan. Mendengar itu, saya pun turut bersedih. Saya hanya bisa memberi doa dan semangat, “semoga saja harga karet segera normal pak”. “aamiiin, mas”tutupnya.

[caption caption="Bincang-bincang dengan petani karet (Dok. Pribadi)"]

[/caption]

Beberapa saat kemudian, saya beralih ke petani berikutnya. Saya berbincang dengan seorang petani yang terlihat masih muda. Namanya Pak Aan, kira-kira berusia 30 tahun. Beliau putra transmigran Jawa Tengah di Lampung. Kemudian pindah ke Sumatera Selatan. “Apa kabar mas? Jam berapa nimbang karetnya?” pertanyaan pembuka saya. “alhamdulillah sehat mas, katanya jam 10 mas” jawabnya. “bagaimana hasil karetnya mas, dapet banyak?”pertanyaan basa-basi saya. “wah, dapet sedikit mas. Kemarin kemarau panjang, ini pun sudah 2 mingguan gak ada hujan lagi”. “lha kalo gak kemarau dapetnya berapa kilo mas?”saya mencoba mencari tahu.

Kalo normal, ya dapet 250kg, sekarang paling Cuma 100kg, itupun kan bagi dua”. Ternyata, pak Aan adalah buruh tani, Ia menggarap lahan miliki orang lain. Biasanya, aturan yang berlaku di sini adalah hasil karetnya di bagi 2, sebagian untuk pemilik lahan dan sebagian lagi untuk buruh tani. Katakanlah Ia dapat 100Kg, jadi total uangnya Rp. 600.000. Uang 600.000 itu harus dibagi dua dengan pemilik lahan. Pak Aan membawa pulang hanya Rp 300.000. “duitnya habis untuk uang jajan Momo, mas, hehehe….” Ia menambahkan jawaban sambil tertawa kecil.

Momo adalah nama panggilan putra pertamanya yang sedang duduk di kelas 2 SD. Benar saja, apa yang bisa dilakukan dengan uang 300.000 untuk setengah bulan, ditengah harga kebutuhan pokok yang terus meningkat tanpa permisi. “kalo saya tidak ikut jd buruh pembangunan rel kereta api, saya tidak bisa makan mas” Ia memberikan informasi tambahan. Beruntung, saat ini sedang ada pembangunan rel jalur ganda, yang melibatkan warga sekitar yang daerahnya dilalui rel kereta tersebut. “kalau ikut mburuh rel, bagaimana berkebun karetnya mas?”saya penasaran. “saya ke kebun jam setengah 5 pagi mas, slesai-tidak selesai, sebelum jam 8 saya harus ke lokasi rel”.

Luar biasa perjuangan hidupnya, dari kebun langsung ke lokasi pembangunan rel. Waktu itu, saya ingin bertanya “apakah tidak capek, tiap hari seperti itu” tetapi saya batalkan, pertanyaan bodoh yang tidak perlu saya lontarkan. Sudah pasti melehakan. “sebenarnya sekarang susah berkebun karet, hasilnya tidak seberapa. Tapi kalau saya berhenti berkebun, nanti kalau harga karet mahal, susah dapat bagian lahan karet lagi. Jadi, saya tetap berkebun”. Ini merupakan pelajaran tentang perjuangan dan kesetiaan. Meskipun hasilnya kecil, Ia tetap semangat sembari berharap dan berdoa agar harga kembali naik.

Saya kemudian berbincang dengan petani lain. Wah, saya sudah seperti pejabat atau anggota dewan yang baik, yang berusaha mendengar keluhan rakyat. Menampung aspirasi rakyat, yang kemudian mengkonversi menjadi sebuah program yang menyejahterakan. Andai saja semua pejabat atau anggota dewan yang terhormat, menjalankan tugas dan fungsi dengan optimal… ah sudahlah. Kita kembali ke petani saja…

Saya berbincang dengan buruh tani yang lain. Beliau bernama Pak To, dengan usia sekitar 50 tahun. Berdasarkan hasil ngobrol dengan beliau, diketahui bahwa bulan ini beliau mendapatkan hasil karet hanya sekitar 80 Kg. Jika cuaca normal, hasilnya mencapai 200Kg. Jadi penjualan bulan ini, Beliau hanya mendapat sekitar Rp 240.000 (sudah dibagi dengan pemilik kebun).

Uang itu harus cukup untuk kebutuhan harian untuk 2 minggu ke depan. Beruntung, Beliau memiliki peternakan bebek, meskipun tidak banyak. Bebek tersebut bisa Ia jual untuk menyambung hidup. Sekarang, bebeknya hanya tersisa sekitar 30 ekor. Di samping itu, Beliau juga aktif menanam sayuran di pekarangan belakang rumah. Hasilnya bisa untuk konsumsi sendiri, dan sebagian bisa dijual. Upaya yang kreatif untuk menyambung hidup. Saya menyempatkan untuk mampir ke rumah beliau, dan melihat peternakan kecilnya.

[caption caption="Peternakan Kecil Milik Pak To (Dok Pribadi)"]

[/caption]

Dari hasil ngobrol dengan para petani, sebagian besar, sedang dalam kondisi prihatin. Pendapatan mereka merosot tajam. Sebagian dari mereka ada yang mencari usaha lain, namun tak sedikit yang tetap setia dengan karet. Berbagai upaya mereka lakukan, demi menyambung hidup dan menghidupi keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun