Malam agak dingin, jalanan lorong belum di pasang penerangan seperti jalan setapak lain di desa itu. Pepohonan tumbuh rimbun di kiri kanan sayap jalan, sesekali bulan sabit terlihat di pucuk pohon pinang seakan ingin menyayat-nyayatnya.
Seperti biasa, Tona, Remon dan Osep keliling desa dahulu sebelum naik ke pengajian. Saatnya malam itu melalui jalanan rabat beton yang di cor kiri kanan badan jalan dengan sepeda mereka masing-masing.
Setiba di persimpangan tiga jalan, Mereka berhenti si Osep menoleh ke kanan ke arah pohon Ketapang besar yang tumbuh subur di perkuburan dan tak sanggup tangan orang dewasa jika memeluknya karena saking besarnya pohon itu.
Tiba-tiba si Osep terkejut dan melaju cepat sepedanya ke arah kiri, berjarak lima belas meter mereka berhenti lagi, si Osep merasa terengah-engah.
Lalu tanya si Remon, ehh ...Sep apa kau kek gitu ? Asep juga balik tanya, jadi kau juga kek gitu, kenapa ?Â
Mereka saling berpandangan, seperti ada sesuatu yang baru terjadi.
Sejurus kemudian Asep menjawab, aku melihat seperti hitam melayang diatas, tapi aku tak tahu itu apa Mon.
Wah,,kok sama Sep, jawab Remon.
"Aku juga barusan kek gitu juga, kayak ada sesuatu yang melayang berayun di udara seukuran papan, kalau burung kelelawar bukan juga, karena besar ukurannya."
Lalu mereka mengayuh sepeda secepatnya, tiba-tiba rantai gear sepeda Osep putus, lalu Osep terus berusaha lari secepatnya dalam gelap, tanpa alas kaki lagi.