Mohon tunggu...
YOSEF R FIRDAUS
YOSEF R FIRDAUS Mohon Tunggu... Mahasiswa - jadikan menulis sebagai hobi

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Lampung Lifelong Learner

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontroversi Hakim Dalam Memvonis Bebas Terdakwa Anak Mantan Anggota DPR RI Mencederai Nilai Keadilan

6 Agustus 2024   21:25 Diperbarui: 7 Agustus 2024   06:52 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Indonesia dibuat gempar oleh keputusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti. Dalam amar putusan yang dibacakan oleh Ketua Majlis Hakim Erintuah Damanik, menyatakan bahwa Gregorius Ronald Tannur dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan tidak bersalah atas pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan tewasnya Dini Sera Afriyanti. Padahal dalam surat dakwaan Jaksa Penuntu Umum, ada empat pasal yang menjadi dakwaan diantaranya pasal 338 KUHP, pasal 351 ayat 3 KUHP, Pasal 359 KUHP, dan pasal 351 ayat 1. Menurut penulis pasal yang menjadi dakwaan oleh JPU sudah sesuai yang di mana dituntut selama 12 tahun penjara, bahkan mungkin bisa bih dari tuntutan hukumannya, bukan malah memvonis bebas terhadap terdakwa. Padahal dua alat bukti sudah cukup sesuai dengan pasal 183 KUHAP yang berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sesorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dengan dijatuhkannya vonis bebas kepada terdakwa Ronald Tannur yang merupakan anak dari mantan anggota DPR, membuat citra penegak hukum di Indonesia kian memburuk yang kemudian seolah begitu sulit mendapatkan keadilan di Negeri tercinta ini. Menurut penulis keputusan hakim yang penuh kontroversi itu bisa dilaporkan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung.

Di sisi lain menurut penulis Kejaksaan sebagai Lembaga yang mewakili korban kejahatan seharusnya Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan tuntutan pidananya lebih banyak menguraikan penderitaan korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, sehingga pengajuan tuntutan pidana hendaknya didasarkan kepada keadilan dari kaca mata korban sehingga cenderung menuntut hukuman yang relatif tinggi. Dikatakan oleh Stephen Schafer perlindungan terhadapkorban kejahatan begitu penting eksistensinya oleh karena penderitaan korban akibat suatu kejahatan belumlah berakhir dengan penjatuhan dan usainya pada pelaku. Dengan demikian maka sistem peradilan pidana hendaknya menyesuaikan, menselaraskan kualitas  dan kuantitas penderitaan serta kerugian yang diderita korban. Juga ini selaras dengan adagium hukum yang berbunyi Culpue Poen Par Esto yang artinya jatuhkanlah hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. Jika melihat kronlogis dalam Pengadilan Negeri Surabaya dengan putusan Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby di duga ada unsur kealpaan atau kelalaian yang dilakukan oleh terdakwa Ronald Tanur sehingga menyebabkan saudari Dini Sera Afrianti meninggal dunia, dan itu bisa didakwaan dengan Pasal 359 KUHP.

Pertimbangan hakim dalam memutuskan vonis bebas terhadap terdakwa Ronald Tanuri diantaranya adalah:
1.Ditemukannya alkohol pada lambung dan darah, sehingga itu yang menurut majelis hakim korban meninggal akibat dari minum alkohol. Padahal  selain itu ada beberapa luka yang diantaranya luka memar pada kepala. Telinga kiri, leher, dada, perut, punggung, anggota gerak atas kanan, lengan atas kiri dan tungkai atas kiri akibat kekerasan tumpul.
2.Tidak adanya saksi pada saat kejadian, padahal ada bukti cctv yang bisa membuktikan itu kemudian juga ada visum et repertum.

Pertimbangan hakim ini sungguh sangat mencederai nilai keadilan terhadap korban, dan ini juga yang mengundang banyak perhatian Masyarakat. Apalagi dalam kasus ini terdakwa merupakan anak mantan anggota DPR sehingga muncul kecaman, kritikan dari berbagai pihak, salah satunya dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengatakan bahwa Keputusan tersebut telah menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun