Mohon tunggu...
Dasanama
Dasanama Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Menulis menjadi bagian dari hobi yang mampu mengasah intelegensi seseorang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ki Ageng Suryomentaram: Pahlawan dari Tanah Mataram

20 Februari 2021   18:41 Diperbarui: 20 Februari 2021   18:44 1145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca banyak buku tentu membuka wawasan manusia terhadap segala sesuatu, khususnya ilmu pengetahuan. Slogan buku adalah jendela dunia, sepertinya memang tepat untuk ditanamkan kepada isi kepala generasi muda. Pasalnya, anak-anak muda kerap kali mencari buku yang mengandung semangat revolusioner. Suatu langkah yang cukup membanggakan ketika banyak anak muda yang mulai peduli dengan betapa pentingnya membaca buku. Perkara buku yang dibaca apa, yang penting baca buku.

Semakin berkembangnya intelegensi manusia, semakin pula berkembangnya peradaban suatu bangsa. Tokoh-tokoh yang membangkitkan semangat anak muda seperti Che Guevara, Lenin, serta masih banyak yang lainnya, dan yang dari dalam negeri seperti Tan Malaka, Soe Hok Gie, dll, turut membanjiri isi kepala anak-anak muda. Literasi-literasi yang memuat Munir, Marsinah, Widji Thukul, dan para tokoh aktivis lainnya selalu laris di pasar buku. Tidak kalah larisnya, Pramoedya Ananta Toer, diburu oleh anak-anak muda dan kerap dilakukan diskusi untuk membahas karya-karyanya.

Berbicara mengenai literasi sejarah dan semangat revolusi Indonesia, tidak lepas dari peran founding fathers Indonesia. Di balik semangat dan perjuangan mereka serta para veteran, terdapat tokoh yang mungkin agak asing terdengar di telinga kita, yaitu Ki Ageng Suryomentaram. Namanya kalah pamor bila disandingkan dengan Munir, Marsinah, Soe Hok Gie, Soekrno, Sutan Syahrir, dan para tokoh lainnya.

Ki Ageng Suryomentaram dan Pergulatan Hidupnya

Ki Ageng Suryomentaram merupakan seorang bangsawan Jawa, tepatnya Yogyakarta. Anak dari Sri Sultan Hamengkubuwana VII dan ibundanya B.R.A (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri dari seorang Patih Danurejo VI. Ki Ageng Suryomentaram lahir pada hari Jumat Kliwon, tanggal 20 Mei 1892 dengan nama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmaji, putra ke-55 dari 78 bersaudara. Ki Ageng dapat dikatakan beruntung karena mengalami masa di mana Kraton Ngayogyakarta mencapai kejayaan dengan harta yang bergelimang dari hasil 17 pabrik gula pada kala itu.

Pergulatan hidupnya dapat diacungi jempol dan memiliki kesan sangar. Bayangkan, seorang pangeran yang merasa tidak nyaman di Kraton karena segala hal yang dimilikinya bersifat mengganggu ketentraman hatinya. Si Pangeran mengalami titik di mana ia mulai menyadari kegelisahannya dengan memperhatikan lingkungan sekitar di dalam Kraton yang hanya diisi oleh orang-orang yang disembah, diperintah, dimarahi, dan dimintai.

Setelah mencoba kabur ke Cilacap lalu dijemput oleh ajudan Sri Sultan Hamengkubuwana VII dan kembali tinggal di Kraton. Penyamarannya sangat cemerlang, mampu mengelabui ajudan ayahnya dengan pakaian yang dikenakan hanya kaos oblong, menggunakan sarung yang direndakan di pundaknya, celana pendek, tidak menggunakan alas kaki, dan kepala yang digunduli. Setelah kembali ke Kraton, kegelisahan dialami kembali hingga akhirnya ayahandanya meninggal lalu digantikan oleh kakaknya, Sri Sultan Hamengkubuwana VIII. Terkabullah harapannya untuk menjadi orang biasa, tanpa gelar dan tanpa aturan.

Selama hidup di luar Kraton dan memutuskan untuk tinggal di Salatiga, Ki Ageng berperan sebagai orang biasa, bercocok tanam dan bergaul dengan masyarakat sekitar menjadi rutinitas yang dijalainya. Selain itu, Ki Ageng Suryomentaram mulai menapaki jalannya dan mencari kebahagiaan. Pemikirannya yang kritis dikenal sebagai Kawruh Jiwa (ilmu jiwa) atau Kawruh Begja (ilmu bahagia). Berbagai polemik mengenai rasa manusia seperti senang-susah, rasa bebas, rasa takut, dll, lalu ilmu jiwa Kramadangsa, hingga jimat perang. Pemikirannya tidak bersifat mistis atau tidak masuk dalam kategori ngilmu.

Membentuk PETA

Siapa yang menyangka bahwa Ki Ageng Suryomentaram ialah salah satu sosok di balik kemerdekaan Indonesia? Perannya cukup banyak, antara lain di bidang Pendidikan dan PETA (Pembela Tanah Air). Pasca Perang Dunia 1, Ki Ageng Suryomentaram bersama Ki Hajar Dewantara, Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, BRM Subono (adik Suryomentaram), Ki Suryodirjo, Ki Sutatmo, dan Ki Suryoputro, melakukan pertemuan setiap malam Selasa Kliwon. Pertemuan itu dikenal dengan nama "Sarasehan Selasa Kliwon".

Sarasehan Selasa Kliwon membahas mengenai keadaan sosial politik di Indonesia. Kala itu Belanda sedang mengalami krisis ekonomi dan militer karena dampak Perang Dunia I dan hal ini dimanfaatkan oleh mereka sebagai momen memerdekakan diri dari kolonial Belanda. Mereka memutar otak untuk mencari dan menemukan cara melawan Belanda, salah satu cara yang ditemui yaitu dengan pergerakan fisik. Setelah ditinjau ulang, pergerakan fisik tidak memungkinkan dilakukan, akhirnya ditemukan cara baru yaitu jalur pendidikan. Tahun 1922 merupakan tahun di mana Pendidikan kebangsaan yang dikenal sebagai "Taman Siswa" berdiri. Ki Hajar Dewantara bertugas untuk memimpin sekolah, sedangkan Ki Ageng Suryomentaram bertugas untuk mendidik orang-orang tua (lansia).

Selain Sarasehan Selasa Kliwon, Ki Ageng Suryomentaram juga tergabung dalam kelompok "Manggala Tiga Belas" yang membicarakan soal perjuangan untuk menjaga tanah air sebagai lahan perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng mengemukakan bahwa bangsa Indonesia mempunyai tiga pilihan dalam peperangan, pertama, membela Belanda sebagai majikan lama; kedua, menjadikan Jepang majikan baru; ketiga, menjadi majikan sendiri alias merdeka (Muhaji Fikriono, Kawruh Jiwa, 37). Kelompok ini baru melakukan dua kali pertemuan, dan Jepang sudah mendarat di pulau Jawa terlebih dulu untuk mengusir Belanda.

Perjuangan tidak berhenti sampai di situ, Ki Ageng memutar otak untuk mencari cara lain setelah pendidikan yaitu membentuk tentara. Harapan untuk membentuk tentara disampaikan langsung oleh Ki Ageng di depan Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur. Tentara menurutnya dapat dijadikan tulang punggung negara. Menulis dan ceramah menjadi cara Ki Ageng menyampaikan pemikirannya. Ki Ageng menulis tentang "Jimat Perang" yang isinya mengenai strategi perang dan berani mati. Jimat Perang menjadi populer ketika Ki Ageng menyampaikan kepada Soekarno, lalu digelorakan oleh Soekarno melalui radio. Secara singkat, Jimat Perang langsung menyebar ke berbagai kalangan dan mampu menghipnotis setiap orang untuk berani mati demi kemerdekaan.

Menurut Ki Ageng, "Suatu bangsa dan negara menjadi mulia, apabila rakyatnya berani perang atau berani mati perang. Perang berarti mendekati kematian, maka berani perang berarti berani mati. Tidak ada negara dan bangsa yang mulia, kalau rakyatnya takut mati. Oleh karena itu, rasa berani mati atau berani mati perang menjadi dasar negara dan bangsa" (Ki Ageng Suryomentaram, Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryomentaram, Jilid 1, cetakan 1, 163).

Pemikirannya mengenai Jimat Perang harus dapat diimbangi oleh kekuatan seperti tentara. Ki Ageng mencoba untuk mengirim surat permohonan membentuk tentara sukarela ke Gubernur Yogyakarta, Kolonel Yamaguchi, tetapi ditolak. Asano seorang anggota dinas rahasia Jepang dimintai tolong menyampaikan ke pemerintah Jepang untuk mengabulkan permohonan. Surat permohonan tidak serta-merta dibuat, melainkan Ki Ageng membentuk kelompok "Manggala Sembilan", yang beranggotaan Ki Suwarjono, Ki Sakirdanarli, Ki Atmosutijo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, Ki Darmosugito, Ki, Asrar, Atmokusumo, dan Ki Ageng Suryomentaram sendiri. Surat yang telah dirumuskan, ditandatangani dengan darah dari masing-masing yang merumuskan. Setelah selesai, surat dikirim kepada Asano tanpa sepengetahuan pemerintah Jepang di Indonesia.

Ki Ageng mendapatkan kabar bahwa permohonan membentuk tentara sukarela disetujui, sehingga membuat pemerintah Jepang di Indonesia tercengang. Izin yang langsung diberikan dari Jepang membuat pemerintah Jepang di Indonesia tidak dapat berkutik sama sekali. Tentara sukarela pun dibentuk dan mulai membuka pendaftaran. Peminatnya yang sangat banyak dan antusias untuk mendaftarkan diri, akhirnya ditarik oleh pemerintah Indonesia dan berganti nama menjadi PETA (Tentara Pembela Tanah Air). Pasca kemerdekaan, PETA memiliki peran penting dalam perjuangan bangsa Indonesia dan namanya diganti menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Masih banyak kontribusi Ki Ageng Suryomentaram lainnya terhadap Indonesia. Pemikirannya mengenai "Jimat Perang" dapat dilihat dari buku-bukunya yang diterjemahkan oleh anaknya Ki Grangsang Suryomentaram dengan beberapa orang lainnya seperti, Ki Oto Suastika, dan Ki Moentoro Atmosentono. Saat ini dapat dikatakan sudah cukup banyak buku untuk mengenal Ki Ageng Suryomentaram. Sampai saat ini, pemikirannya masih sering didiskusikan di kalangan Junggringan Salaka dan semoga semakin dikenal sehingga dapat menjadi refrensi sejarah dan semangat revolusioner bagi para anak muda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun