Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada 2024 dan Ritual Adat Akal-akalan

7 Desember 2024   11:58 Diperbarui: 7 Desember 2024   12:11 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ritual Adat di perbatasan Timor Leste (Foto: Palce Amalo/Media Indonesia)

Pilkada 2024 dan Ritual Adat Akal-Akalan

Hingar bingar Pilkada 2024 telah usai. Pihak yang menang telah merayakan kemenangannya. Sementara pihak yang kalah mungkin dengan terpaksa menerima kekalahan, tetapi itulah yang terjadi. 

Dalam sebuah perhelatan politik dan persaingan, selalu ada pihak yang menang dan ada yang kalah. Tidak bisa semuanya menang. Sebaliknya juga tidak bisa semuanya kalah. Ada yang menang secara terhormat, namun ada juga yang kalah secara terhormat. Maka semua pihak harus menerima kenyataan tersebut.

Pilkada 2024 secara realita telah berakhir. Namun masih juga menyisahkan beberapa pengalaman pahit dan manisnya.  Ternyata untuk memasuki perhelatan politik, banyak praktek dilakukan, baik secara logis, artinya bisa diterima oleh akal sehat, tetapi ada juga melakukan praktek-praktek secara magis.

Baca juga: Ritual Ta

Karena itu menurut penulis adalah baik untuk didalami di sini pengalaman-pengalaman mitis magis yang dilakukan oleh oknum paslon tertentu yang disebut sebagai ritual adat guna mempengaruhi para arwah dan leluhur untuk merestui dan memberikan dukungan kemenangan.

Br. John Tanouf, SVD seorang Biarawan dan Sekretaris Yayasan Bentara Sabda Timor menulis dalam Majalah Warta Flobamora, sebagai berikut:

"Menjelang setiap hajatan politik, bakal calon eksekutif dan legislatif menggunakan berbagai trik untuk memikat hati rakyat sebagai pemilih agar dapat terpilih sebagai pemimpin baik eksekutif maupun legislatif di semua jenjang. Salah satu trik yang makin marak dipraktekkan belakangan ini adalah mencari dukungan dengan mendatangi ketua-ketua suku atau pemangku adat dan melakukan ritual adat di rumah adat atau tempat-tempat sakral milik masyarakat adat."

Pertanyaannya adalah mengapa justru ketua-ketua suku atau ketua adat yang menjadi sasaran bidik bagi para bakal calon eksekutif dan legislatif itu?

Menurut John Tanouf,  ada dua alasan utama, yaitu:

Pertama, dengan melakukan pendekatan terhadap ketua suku, mereka dapat memperoleh restu dan dukungan langsung dari kepala suku atau pemangku adat. Maka kepala suku selanjutnya akan meminta atau menyampaikan kepada para anggota sukunya untuk memilih bakal calon bersangkutan dengan istilah, 'Ini yang kita punya!' 

Semakin besar jangkauan dan banyaknya anggota suku, memberi kemungkinan dukungan lebih banyak.

Kedua, dengan mendekati kepala suku atau pemangku adat,mereka meminta restu dan kekuatan dari leluhur suku tersebut dengan melakukan ritual adat yaitu mempersembahkan hewan kurban supaya membuka jalan keberhasilan bagi bakal calon tersebut. Biasanya selain membawa hewan yang dalam bahasa setempat disebut "Mu'it" itu berupa Sapi atau Babi atau ayam. Kambing dan bebek tidak biasa dipakai sebagai hewan kurban.

Untuk diketahui bahwa bagi masayarakat Timor, ritual adat menjadi sarana legitimasi bagi masyarakat adat. Dengan demikian kalau belum melakukan ritual adat, orang tidak akan tenang. Sebaliknya setelah melakukan ritual adat,akan membuat orang semakin percaya diri, bahkan bisa mengklaim akan menang.

Sebab dalam ritual adat itu sering orang membuat semacam perjanjian secara 'gelap' dengan para arwah leluhur yang biasanya dikenal dengan istilah "Han Manta'en, Fef Manta'en." 

Perjanjian yang telah dilakukan itu secara adat otomatis bersifat  mengikat dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Sebab pada prinsipnya ada semacam ikatan batin dengan leluhur karena darah hewan kurban  dan tuangan sopi atau arak yang tertetes di atas batu atau altar yang dianggap sebagai tempat yang sakrat bagi warga adat suku bersangkutan.

Dan bukan hanya itu. Janji adalah utang yang harus dipenuhi. Bila darah hewan kurban sudah ditumpahkan, dan janji sudah diucapkan maka harus dipenuhi. 

Jika kemudian pada Pilkada atau Pileg itu anggota suku tidak memilih bakal calon yang telah melakukan ritual adat di rumah suku, maka mereka akan memperoleh bala atau bencana, karena tidak mengikuti keinginan leluhur.

Praktek Ritual Adat

Salah satu rumah suku yang sering kali menerima bakal calon baik eksekutif maupun legislatif menjelang perhelatan politik seperti Pilkada 2024 untuk melakukan ritual adat adalah Suku Subani Le'u di Desa Banain A, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.

Bakal calon biasanya datang meminta restu leluhur suku dengan mempersembahkan hewan kurban berupa seekor ayam jantan yang dilakukan oleh ketua adat suku melalui ritus Pah Bikomi.

Ritus Pah Bikomi adalah tanda kehadiran para raja atau Usif Bikomi yaitu Ato, Bana, Lake, Sanak.  Untuk menghadirkan keempat usif Bikomi dalam ritual adat itu, mereka membangun tempat atau mesbah yang disebut sebagai Tanda Perwakilan atau Takaf yang menghadirkan keempat raja Bikomi untuk menjadi saksi perjanjian atau Han Man Ta'en, Fef Man Ta'en itu.

Mengapa disebut Ritual Adat Akal-Akalan?

Menurut penjelasan Br. John Tanouf, sebagaimana dituturkan Kepala Suku Subani Le'u, Eduardus Taut dan Hilarius Kolo dari Suku Kolo Kase bahwa ritual adat di Pah Bikomi biasanya dikhususkan untuk ritual minta hujan dan untuk berperang. Sedangkan ritual adat untuk menghadapi perhelatan politik sebenarnya di luar kebiasaan suku. 

Karena itu, menurut para kepala suku itu, ritual adat selama menghadapi perhelatan politik yang semakin marak dipraktikkan saat ini, dinilai oleh pemangku adat Banain sebagai ritual adat akal-akalan.

Sebab memang dari dulu nenek moyang orang Timor di Pah Bikomi hanya melakukan ritual adat dalam rangka minta hujan (Toet Ulan) dan dalam rangka perang (Makenat).

Maka semua ritual adat yang dilakukan di mana-mana menjelang pilkada 2024 ini sebenarnya merupakan ritual adat akal-akalan, yakni: pertama, hanya untuk menyenangkan kepala suku, dan selanjutnya kepala suku bisa memperalat anggota sukunya demi kepentingan politiknya. 

Kedua, mereka yang melakukan ritual adat itu hanya untuk mengelabui para anggota suku tersebut untuk menjadi bahan kampanye bahwa calon atau paslon telah direstui oleh leluhur suku melalui ritual adat.

Ketiga, demi tujuan menghalalkan cara. Artinya untuk mencapai tujuan atau ambisi calon atau paslon, mereka sekedar melakukan ritual bahkan bukan oleh kepala suku atau pemangku adat yang benar dari suku tersebut.

Pelajaran Bagi Kita

Segala praktek ritual adat yang mengatasnamakan kepentingan politik adalah ritual adat akal-akalan. Sebab dari dulu zaman nenek moyang, tidak ada ritual adat untuk perhelatan politik. 

Semua praktik itu adalah salah kaprah dan sesungguhnya telah menyimpang dari tujuan asli penyelenggaraan ritus adat.

Karena itu ritual adat atau ritus adat akal-akalan yang dilakukan menjelang Pilkada 2024 oleh pasangan calon tertentu harus ditolak agar tidak semakin meresahkan masyarakat.

Ke depan para ketua suku atau pemangku adat harus lebih berhati-hati terhadap bujuk rayu dari pasangan calon atau bakal calon atau oleh tim suksesnya agar tidak meresahkan warga adat.

Praktik 'memperjualbelikan' ritus adat harus dihentikan agar tidak merusak tatanan dan makna terdalam dari kandungan budaya lokal. 

Setelah kami mendalami, ternyata ditemukan juga bahwa praktek ritual adat akal-akalan ini juga terdapat dalam banyak suku di Indonesia, terutama ketika menghadapi hajatan politik, termasuk Pilkada 2024.

Ke depan para pemangku adat mesti bersatu untuk menolak praktik ritual adat selama hajatan pilkada atau pemilu. Ritual adat sesungguhnya hanya diperuntukkan bagi bakal calon atau pasangan calon yang berasal dari sukunya sendiri, bukan orang dari suku lain atau dari luar suku.

Sebab bila melanggar hal tersebut, menurut adat pasti cepat atau lambat akan mendapat teguran, bisa terhadap ketua suku atau pemangku adat yang melakukan ritual adat akal-akalan itu; atau juga teguran terhadap paslon dari luar suku. 

Bisa saja kemungkinan kalau paslon dari luar suku yang melakukan ritual akal-akalan pada suku orang lain, bakal kalah.

Semoga Pilkada 2024 tidak meninggalkan kesan buruk ritual adat akal-akalan ini. Demikian pun pasangan yang kalah, jangan menyesal bila telah melakukan ritual adat akal-akalan.

Sebagai pembelajaran bagi kita agar ke depan tidak boleh melakukan lagi hal-hal berupa ritual adat yang bertentangan dengan suku atau adat kebiasaan yang bisa berakibat fatal bagi suku atau pun bagi paslon sendiri.

Semoga syering ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Atambua: o7.12.2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun