Kemarin begitu Kompasiana mengangkat topik Alat Peraga Kampanye (APK), saya langsung saja ke luar rumah menuju tempat-tempat yang ramai dengan pemasangan APK.
Memang betul adanya bahwa karena saking banyaknya Alat Peraga Kampanye (APK) berupa baliho dengan berbagai macam ukuran yang terpasang pada suatu lokasi menyebabkan pemandangan yang kurang sedap dipandang mata. Ada baliho yang miring ke kiri, ada yang miring ke kanan, bahkan ada yang tumbang. Itulah pemandangan umum sore itu yang saya lakukan untuk sekedar membuktikan sedikit kebenaran topik pilihan pada Kompasiana kita.
Saya juga sempat berbincang-bincang dengan beberapa orang yang mungkin memiliki pandangan yang hampir serupa dengan saya. Sebab kelihatannya orang tersebut juga berdiri memperhatikan, sambil menggeleng-geleng kepala menyaksikan pemandangan yang tak lazim pada hari-hari biasa.
Memang benar bahwa Alat Peraga Kampanye (APK) sangat penting sebagai media promosi para calon yang akan terlibat baik di Pilpres maupun di Pileg. Dan rupanya untuk saat ini, APK berupa spanduk dan baliho masih sangat perlu. Namun yang menjadi persoalan dan diangkat menjadi topik pilihan diskusi adalah cara menempatkan APK, bentuk dan ukuran, serta di mana seharusnya APK itu ditempatkan.
Menurut peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Â Nomor 23 Tahun 2018, Alat Peraga Kampanye (APK) yang diijinkan untuk dipakai sebagai media promosi itu berupa gambar atau simbol yang memuat visi,misi dan program serta informasi-informasi mengenai peserta pemilu. Dan alat peraga yang dimaksudkan itu biasanya dibuat dalam bentuk baliho, umbul-umbul, spanduk dan billboard yang terpasang di depan jalan umum sehingga mudah diakses oleh khalayak.
Ada seorang teman dekat saya pernah berseloroh demikian,Â
"Wah ternyata kalau mau jadi Presiden atau anggota Legislatif, kita harus bisa memanjat pohon!"
"Memangnya kenapa begitu?", tanyaku.
"Kan foto-foto kita harus dipancang di atas pohon!"
Ya begitulah pemandangan hari-hari terakhir memasuki masa kampanye ini. Hampir seluruh bagian samping jalanan dipenuhi dengan gambar Capres/Cawapres dan para Caleg.
Sebenarnya tidak jadi soal, bila penataannya diatur dengan sebaik-baiknya sehingga tidak mengganggu pemandangan dan estetika. Untuk itu melalui media ini, penulis ingin mengajak seluruh Kompasianer, mungkin di antara para Kompasianer juga yang menjadi Calon Anggota Legislatif, baik DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi, maupun DPR RI atau juga DPD RI supaya memperhatikan beberapa hal berikut ini dalam penggunaan Alat Peraga Kampanye (APK) itu.
Ukuran Alat Peraga Kampanye (APK) yang proporsional
Bukan orang dengan baliho paling besar dan megah yang akan otomatis menang dibandingkan dengan tokoh yang balihonya kecil atau bahkan tak punya baliho. Kemenangan itu sangat ditentukan oleh daya kekuatan pribadi dan pengaruh dari tim yang mempropagandakan visi-misi dan programnya yang membumi dan pro kepada masyarakat pemilih, itulah yang akan menang.
Karena itu ke depan mungkin baik kalau KPU juga menetapkan ukuran APK atau baliho yang harus dibuat, berapa banyaknya baliho atau APK untuk tiap orang calon peserta Pemilu. Dengan demikian apabila baliho itu dipasang akan menampilkan pemandangan yang sungguh-sungguh indah, serasi dan menarik.
Memasang APK secara benar dan pada tempat yang tepat
Karena menyangkut banyak orang, maka sungguh diperlukan pedoman praktis dalam hal pemasangan APK yang benar, dan di mana seharusnya APK itu ditempatkan.
Banyak Caleg mempercayakan kepada tim suksesnya maka banyak baliho atau APK yang asal pasang, asal tanam, asal tempel sehingga merusak pemandangan. Â
"Sebab baru tancap, langsung tumbang', kata seorang ibu menyaksikan baliho seorang Caleg yang baru habis pasang langsung jatuh..Â
Peran aktif Komisi Pemilihan Umum  (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Dalam hal ini yang paling berperan aktif adalah KPU dan Bawaslu untuk menentukan di mana seharusnya APK ditempatkan. Apabila bertentangan atau kurang estetika perlu ditertibkan atau disampaikan kepada Calon Legislatif bersangkutan atau timnya untuk diperbaiki.Â
Untuk itu alangkah baiknya bila petugas Pemilu di Kecamatan dan Desa turut dilibatkan juga untuk memantau segala yang berhubungan dengan alat peraga kampanye, dan bukan hanya bertugas pada saat pemungutan suara.
Aatau aparat keamanan dan desa ikut dilibatkan untuk memantau, mengontrol keberadaan alat-alat peraga kampanye itu. Sebab sampai saat ini, aparat keamanan atau desa tidak bisa ikut campur karena akan dianggap sebagai pelanggaran.
Komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar
Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sebagaimana kasus yang ada di beberapa tempat karena ketiadaan komunikasi yang baik antara peserta pemilu yang ingin menempelkan atau menanamkan balihonya dengan masyarakat sekitar, maka sangat perlu pintu komunikasi itu harus dibuka.Â
Betapa komunikasi itu segala-galanya. Semua kesulitan hanya bisa diakhiri melalui komunikasi yang baik.
Mari kita memulai komunikasi yang baik untuk mengontrol hingga mengakhiri Pemilu dengan baik dan sukses pada 14 Februari 2024.
Atambua: 19.01.2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H