Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cara Bijak Menangani KDRT agar Tidak Berdampak Lebih Luas

21 Desember 2023   22:27 Diperbarui: 21 Desember 2023   22:47 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ada sekian banyak hal-hal besar dalam hidup ini yang berkonsekuensi kecil. Upayakan setiap hari untuk menemukan mana yang benar-benar serius dan mana yang tidak". (Pasutri Terry Hampton dan Ronnie Harper dalam bukunya: "99 Cara untuk Makin Bahagia setiap hari", Penerbit Kanisius Yogyakarta, 2004, hal. 187).

KDRT biasanya diawali dengan pembiaran terhadap pertengkaran-pertengakaran 'ringan' yang terjadi dalam keluarga. Mungkin kita sering mendengar kalimat yang mengatakan, "Dalam rumah tangga, bertengkar itu biasa! Yang penting, jangan masuk di hati!" 

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa banyak orang memandang soal pertengkaran dalam keluarga merupakan hal yang biasa.       Pada hal justru KDRT dimulai dari pertengkaran-pertengakaran kecil ini. Ibarat api kecil bila tidak dipadamkan cepat akan menjadi musuh bila menjadi api besar.

KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang biasanya terjadi di ranah personal. Pelaku KDRT biasanya adalah orang yang sangat dekat misalnya suami terhadap istri atau sebaliknya, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, atau kakek terhadap cucu.

KDRT itu bermula dari konflik yang terjadi dalam rumah tangga yang menyebabkan salah satu atau keduanya menjadi korban. Data statistik yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan bahwa selama tahun 2022 telah terjadi 26.112 kasus KDRT yang nampak dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan psikis. Meskipun menurut data tersebut mengisyaratkan adanya penurunan yang signifikan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 25,67%, namun kita tidak bisa hanya terpaku pada penurunan angka statistik tersebut tanpa aksi nyata.

Robert O. Blood, Jr dan Donald M. Wofe, dua orang Sosiolog Amerika Serikat pernah melakukan survei terhadap 700 pasangan suami istri. Menurut kedua sosiolog ini terdapat hal yang umum dipertengkarkan di dalam rumah tangga yang telah tersusun secara berurutan sebagai berikut: uang; anak; rekreasi; kepribadian; mertua; peranan; agama; politik; dan seksualitas.

Terhadap banyaknya kasus KDRT  atau domestic violence yang menyebabkan kematian seperti diantaranya kasus 4 anak tewas di rumah yang diduga dibunuh ayahnya (Kompas TV), memang tidak bisa dimaafkan begitu saja.

Namun sebagai manusia yang tidak luput dari persoalan-persoalan KDRT atau konflik dalam rumah tangga, kita perlu secara bijaksana menyikapi dan menangani KDRT agar tidak berdampak lebih luas. 

Apa yang dimaksudkan dengan 'dampak lebih luas' ini? KDRT yang terjadi perlu ditangani dengan bijak agar tidak sampai menyebabkan kematian, atau perceraian dalam perkawinan.

Pertanyaannya adalah bagaimana, cara yang bijak untuk menjembatani problem KDRT sehingga bisa diredam itu? 

Ada sekurang-kurangnya 5 cara bijak menangani problem KDRT agar bisa meredam dampaknya, yakni:

1.  Pahami dengan benar konflik atau KDRT yang terjadi.

2.  Jangan mendiamkan suami atau istri Anda.

3.  Jangan menimbun perasaan atau emosi Anda

4.  Janganlah berusaha untuk mempertahankan diri

5.  Apabila anda salah, akui kesalahan anda, apabila anda benar, berdiamlah.

Supaya kita tidak dianggap ikut mencampuri urusan rumah tangga orang lain yang mengalami KDRT, maka berdasarkan kelima cara bijak di atas, setiap orang atau setiap keluarga hendaknya memperkuat ketahanan keluarganya sendiri. Sebab dengan memperkuat ketahanan keluarga sendiri, dapat menjadi benteng untuk tidak terjadi KDRT di dalam keluarga sendiri.

Selain itu berhadapan dengan korban KDRT yang ada di sekitar kita, baiklah kita menolong sejauh kemampuan kita dan terutama melaporkan kepada pihak atau lembaga yang membantu KDRT, misalnya Forum Perlindungan Perempuan dan Anak (FPPA), atau kepada Komisi Keadilan dan Perdamaian (Justice and Peace Commision). 

Dan apabila KDRT itu berdampak lebih besar, kita tidak boleh mendiamkannya, tetapi mengupayakan penanganan hukum untuk mendapatkan keadilan. Sebagai orang beragama, keluarga yang sering mengalami KDRT hendaknya mendapat perhatian dan pendampingan terus menerus dari pimpinan agama; dan bukan tidak mungkin, "kalau mereka yang mengalami KDRT terus didoakan, niscaya akan bertobat, dan mulai menjalani hidup baru. Sebab KDRT yang bisa ditangani dengan bijak dan berhasil, akan menjadi berkat bagi rumah tangga tersebut!

Atambua, 21.12.2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun