Kriminalitas siswa yang kian marak dewasa ini, hanya bisa dicegah dengan pendidikan cinta yang harus dimulai dari keluarga.Â
Pengantar
Persoalan kriminalitas siswa atau anak memang layak untuk dibahas melalui topik pilihan Kompasiana, namun bukan hanya sekedar wacana. Ia harus dibahas sampai tuntas, tetapi bukan berakhir di sini saja, ia harus diusut hingga ke akarnya yaitu dari keluarga.
Sebab keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama, dengan orang tua sebagai pendidik yang pertama dan terutama. Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua anak dari keluarga yang baik akan jadi baik, tetapi dari 100 keluarga baik, mungkin hanya ada 1% yang karena pengaruh teman dan lingkungan bisa berakibat kurang baik.Â
Demikian pun dari keluarga yang broken, tidak semua anaknya akan rusak. Dari 100 keluarga yang broken, minimal 1% akan menghasilkan anak yang baik.Â
Pernyataan ini memang belum 100 % terbukti atau belum ada penelitian yang bisa membuktikan, namun dalam kenyataan dapat ditemui demikian.
Sejak zaman Yesus hidup 2000-an tahun silam, persoalan ini sudah ada. Karena itu penginjil Lukas menulis demikian:
"Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya. Karena dari semak duri orang tidak memetik buah ara dan dari duri-duri tidak memetik buah anggur" (Injil Lukas 6:43-44).
Kriminalitas Siswa/Anak
Pada Kamis (28/9/2023) pkl. 23.49 handphone penulis berdering tanda pesan di whatsapp grup masuk. Â Ada seorang teman mengirimkan video dan di bawahnya ditulis "Bantu viralkan agar cepat ditangkap!"
Kemudian seorang teman lagi melanjutkan mengirimkan video tersebut dengan pesan:
"...tugas kita para guru...orangtua... dan masyarakat...Saya membayangkan jika anak kandung saya yang diperlakukan demikian.... atau sebaliknya anak saya yang adalah pelaku... dan diberi emoji menangis".
Penulis pun membuka video tersebut dan kaget bukan main. Penulis pun tak sanggup menonton video tersebut sampai akhir. Miris betul kejadian seperti ini.
Untunglah seorang teman lagi mengirimkan sebuah keterangan: "Kejadian ini terjadi di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Para pelaku sudah diamankan polisi dan dihajar masa merupakan siswa SMP".
Kejadian ini hanyalah satu dari sekian banyak kejadian yang pernah dilakukan para siswa terhadap teman mereka yang dikenal dengan istilah "kriminalitas" atau tindak kejahatan.Â
Menurut wikipedia.com, kriminalitas itu sendiri secara etimologis berasal dari kata "Crimen" yang berarti kejahatan. Tindak kriminal adalah tindakan yang bersifat negatif. Â
Kata "Kriminalitas" atau tindak kejahatan adalah suatu tindakan yang melanggar hukum, undang-undang, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.Â
Pada umumnya tindak kejahatan itu dapat merugikan dan mengancam keselamatan serta jiwa seseorang.
Seperti yang terjadi dalam video berdurasi 4,14 menit ini dapat digolongkan sebagai tindak kejahatan atau kriminalitas yang dilakukan oleh anak, dalam hal ini siswa terhadap temannya.
Jadi pelaku tindak kejahatan adalah anak, dan korban dari tindak kejahatan itu juga adalah anak.
Bagaimana menghadapinya?
 Seperti komentar seorang teman penulis di atas bahwa ini adalah tugas kita sebagai guru, orang tua dan masyarakat. Seandainya pelaku itu adalah anak kita, bagaimana sikap kita? Demikian pula, seandainya yang menjadi korban itu juga adalah anak kita, bagaimana sikap kita?
Sebagai orang tua yang juga mempunyai anak yang sedang menempuh pendidikan di bangku SMP, penulis menyayangkan tindakan kejahatan seperti ini.Â
"Kok bisa ya dilakukan anak-anak terhadap teman mereka sendiri!"
Terhadap kejadian seperti dalam video kriminalitas siswa atau anak tersebut, tentu banyak sekali argumen dan  sikap terhadap baik pelaku maupun terhadap korban.
Untuk itu pada bagian ini, penulis hendak mengemukakan beberapa sikap dan pandangan terhadap kejadian kriminalitas siswa atau anak  agar hal tersebut dapat diminimalisir bahkan ditiadakan sama sekali, supaya sekolah betul-betul menjadi tempat pendidikan dan saluran cinta bagi anak-anak atau siswa-siswi. Dan bukan sebaliknya menjadi tempat terjadinya praktek kriminalitas anak terhadap anak.
Sebelum mengemukakan sikap dan pandangan, penulis terlebih dahulu menelusuri sebab-sebab terjadinya kriminalitas siswa atau anak sekolah:
1. Â Faktor keluarga dan lingkungan
Benarlah bahwa apa yang dilakukan anak, ujung-ujungnya orang tua atau keluarga yang kena batunya. Seperti yang dikatakan Penginjil Lukas tadi, bahwa dari buahnyalah pohon dikenal.
Apa yang dilakukan anak terhadap temannya, sebenarnya merupakan cerminan pendidikan dalam keluarga. Â Para ahli sosiologi keluarga mengatakan, perceraian atau keluarga yang tidak harmonis berisiko menimbulkan penurunan pengawasan terhadap pengembangan sikap anak, sehingga memperbesar kemungkinan anak atau remaja dapat terlibat dalam pergaulan bebas yang rentan melakukan tindakan kriminal.
Demikian pula faktor pengaruh lingkungan yang buruk, seperti adanya geng kejahatan  akan menjadi pencetus bagi anak melakukan tindakan kriminal. Anak-anak akan dengan mudahnya meniru tindakan yang buruk yang dilakukan orang dilingkungannya.  Selain itu adanya kecendrungan solidaritas yang salah antar anggota geng sehingga membuat mereka rela untuk melakukan tindak apapun supaya diakui  dalam kelompok gengnya.Â
Tiadanya pendidikan dalam keluarga  karena orang tua pisah atau sibuk dapat menyebabkan anak melakukan kejahatan terhadap temannya sebagai sebuah pelarian.
Selain itu, anak sendiri juga mungkin menyaksikan kekerasan yang dilakukan di keluarga baik oleh orang tua maupun kakak di rumah  satu terhadap yang lain. Hal ini menjadi preseden buruk terhadap pendidikan anak dalam keluarga.
2. Â Faktor Pendidikan
 Hasil studi menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai relasi yang kuat dengan tindakan kriminal dan pembentukan karakter siswa. Rendahnya pendidikan dan pemahaman remaja terhadap sesamanya sebagai teman menjadi pemicu tindak kejahatan itu.  Apa yang diajarkan di sekolah semata-mata teori yang tidak dipraktekkan. Demikian pun adanya gap antara apa yang diajarkan dan apa yang dilakukan oleh guru. Maka benarlah adagium Latin berbunyi: "Verba docent, exempla trahut", kata-kata mengajar, tetapi teladan menarik.
3. Faktor Lemahnya Penegakkan Hukum
Remaja umumnya melihat apa yang terjadi di tengah masyarakat. Banyak pelaku kriminal anak yang menganggap sepele hukum yang berlaku. Artinya hukuman yang diberikan kepada pelaku kriminal anak tidak menyebabkan efek jera kepadanya. Â Banyak residivis anak yang selalu melakukan kejahatan yang sama secara berulang karena tidak mendapatkan hukuman yang berat, tetapi meringankannya sehingga tidak ada unsur ketakutan terhadap hukuman yang diberikan.
4. Faktor negatif dari Iptek
Anak-anak salah mengartikan apa yang mereka tonton baik di televisi maupun melalui media komunikasi lainnya. Anak sering menonton aksi-aksi kejahatan atau kekerasan dan kemudian ingin mencobanya.
Nah, setelah mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kriminalitas anak atau siswa yang disebut juga Klitih, maka marilah kita bersama-sama mencari solusi terhadap kejadian-kejadian yang memilukan tersebut.
Sikap dan Pandangan
Menurut penulis, banyak anak dan remaja terutama siswa SMP seperti kejadian di Cilacap itu, melakukan tindakan tersebut terhadap temannya karena mereka sendiri tidak mengalami CINTA dalam keluarganya.Â
Karena itu kepada orang tua dan keluarga, pendampingan terhadap anak-anak dan remaja sejak dini sangat diharapkan.Â
Sekali lagi 'dengan kata-kata kita mengajar, tetapi teladan hidup lebih menarik' bagi anak-anak dan remaja.Â
Pendidikan cinta sejak anak dalam kandungan sangat penting untuk diperhatikan dalam keluarga. Jangan menunggu sampai anak besar baru diberi pendidikan, tetapi perhatian oleh ibu dan ayah terhadap anak sejak kandungan sangat penting.
Pendidikan karakter terhadap anak dan remaja untuk menerima dan mencintai temannya sebagaimana dirinya sendiri, patut diberikan baik di sekolah maupun di keluarga.
Stop kriminalitas anak! Orang tua, Guru dan masyarakat harus memberikan pendidikan cinta yang tulus apa adanya kepada anak-anak, supaya mereka pun saling mencintai, bukan untuk saling mencederai.
Pendidikan cinta itu penting agar anak atau siswa memandang temannya sebagai sesama ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dihargai, bukannya untuk dihina, dipukul, ditendang, dan dijahati!
Atambua: 30.09.2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H