Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Tertawa dan Menangis Bersama sebagai Pasangan Suami Istri

9 September 2023   22:27 Diperbarui: 11 September 2023   07:07 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perkawinan katolik (sumber: www.bukuliturgiperkawinan.com)

Sebuah Pengalaman Indah: syukur 25 tahun perkawinan

Sebulan yang lalu sepasang suami istri merayakan ulang tahun perkawinan mereka yang ke-25. Biasanya perayaan ulang tahun ke-25 itu dikenal dengan sebutan Pesta Perak. 

Pasutri ini memilih tema perayaan perak mereka, "Kasih Tak Berkesudahan" yang mereka ambil dari Kitab Suci Katolik khususnya Surat Pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus bab 13 ayat 8.

Sebagai cindera mata mereka menuliskan pengalaman perjalanan kehidupan keluarga mereka dalam sebuah buku sederhana yang mereka beri judul "Tertawa dan Menangis Bersama Pasutri".

Perjalanan cinta selama duapuluh lima tahun tidaklah mudah. Sebab yang melakoni ziarah itu adalah manusia di mana setiap orang mempunyai keinginan dan jalannya masing-masing, yang kadang sulit untuk disatukan.

Karena itu ketika dua insan manusia berani menjalani ziarah hidup keluarga bersama dan mampu menapaki 25 tahun, itu bukanlah sebuah kebetulan, tetapi merupakan sebuah pengalaman indah yang patut disyukuri.

Dengan mengutip kata-kata Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik sedunia itu dalam Surat Apostoliknya Amoris Laetitia yang artinya Sukacita Kasih, Paus mengatakan, "adanya kenyataan sosial yang kompleks dan perubahan-perubahan yang dihadapi keluarga-keluarga saat ini menuntut usaha lebih keras dari seluruh komunitas kristiani dalam mempersiapkan mereka yang akan segera menikah" (Amoris Laetitia no. 206).

Bahwa persiapan menuju perkawinan itu merupakan sesuatu yang sangat penting terutama bagi mereka yang telah meresmikan pertunangan karena memberi mereka kemungkinan untuk saling mengenal lebih mendalam dan mengenali ketidakcocokan dan resiko yang mungkin terjadi.

Ilustrasi konflik keluarga (sumber:klikdokter.com)
Ilustrasi konflik keluarga (sumber:klikdokter.com)

Butir-butir Refleksi

Setelah mengarungi hidup perkawinan selama 25 tahun, biasanya pasangan suami istri menjadi lebih dewasa, bukan pertama-tama karena mereka makin berumur, tetapi karena jauhnya perjalanan dan lamanya kehidupan bersama menjadikan mereka makin bersatu lebih erat lagi.

Ada sekurang-kurangnya 5 (lima) hasil refleksi yang mereka ungkapkan dalam kesempatan perayaan syukur 25 tahun perkawinan itu, yakni:

1)   Keluarga zaman now sering kali dipisahkan oleh tempat, tugas, jabatan yang bukan saja menjauhkan mereka satu sama lain, tetapi memisahkan mereka.

Terhadap soal ini, pasangan ini bersyukur karena selama 25 tahun mereka meskipun dalam tugas mereka masing-masing yang berbeda-beda, namun mereka tidak pernah saling menjauhi. 

Mereka selalu bersama-sama. Tidak seperti banyak pasutri lain yang terpaksa harus pisah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun karena tempat tugas atau kerja yang berjauhan dan berlainan. 

Sehingga tidak jarang banyak keluarga mengalami problem karena dua tempat tidur, dua periuk, dua dapur dan hakan dua rumah sehingga menyebabkan persoalan ekonomi, relasi, dan pendidikan anak. 

Maka tidak jarang kemudian terjadilah perselingkuhan yang lama-lama memicu perceraian. Berhadapan dengan persoalan pelik ini hanya ada dan dibutuhkan hati, kesabaran dan kesetiaan yang tulus.

2)   Keluarga selalu bersama, namun tidak menyadari kebersamaan itu sebagai berkat.

Dalam sharing keluarga, mereka mengatakan bahwa dalam perjalanan keluarganya selama 25 tahun mereka merasa seperti dua murid dalam perjalanan ke Emaus. 

Bagaimana hal itu terjadi? Menurut mereka, banyak kali mereka bertemu dengan Tuhan bahkan berjalan bersama-sama, namun seakan-akan ada sesuatu yang menghalangi mata mereka sehingga mereka tidak Tuhan. Bahkan mereka terpaksa harus meminta Tuhan untuk singgah di rumah mereka. Ada begitu banyak kemudahan dan kemurahan Tuhan yang mereka alami, namun seakan-akan mereka menutup mata terhadap semuanya itu.

3)  Seperti yang dikatakan John Powell SJ bahwa Keluarga merupakan ladang yang subur, tempat cinta tanpa syarat itu berkembang. Di sanalah semua cita-cita dan cinta dapat direalisasikan bersama-sama.

Keluarga dengan usia perkawinan 25 tahun menjadikan saat syukur itu sebagai kesempatan untuk menyadari kasih dan kebakan Tuhan melalui sesama. Karena itu mereka dengan rendah hati menyadari kerahiman Tuhan yang suangguh besar mereka alami. Maka menurut mereka, "Tanpa itu semua mungkin sudah lama keluarga kami bubar". Perayaan 25 tahun ini hanya terjadi karena berkat campur tangan Tuhan dan bantuan sesama.

4)   25 tahun hidup bersama dalam perkawinan bukanlah tanpa konflik. Tidak ada keluarga tanpa konflik. Seperti yang dikatakan Paus Fransiskus, 'Tidak ada keluarga yang sempurna'.

Tidak jarang konflik dalam keluarga sering memicu perkelahian dan perceraian. Namun, justru banyak keluarga juga yang makin teruji karena konflik. "Seperti keluarga-keluarga lain itu, kami juga sering atau pernah terjadi konflik", kata mereka. Namun konflik yang mereka alami tentu berbeda dari keluarga-keluarga lain, sebab konflik yang dialami setiap keluarga itu berbeda-beda.

Terhadap aneka konflik yang dialami, keluarga ini menyadari betul kata-kata Santo Paulus: "Janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu, dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis" (Efesus 4: 26-27).

5)   Tiada kata yang paling berkenan diucapkan pada peristiwa 25 tahun hidup perkawinan selain kata "Terima kasih". 

Kata ini sering dianggap kata yang biasa-biasa saja dan karena itu hampir-hampir tidak mau diucapkan lagi. 

Namun kata terima kasih, bukanlah sekedar ungkapan kosong tanpa makna, melainkan mesti keluar dari kedalaman lubuk hati yang terdalam. Dan ketika kata ini diucapkan, seolah-olah kita telah mengobati luka dan pedihnya perasaan orang lain.

Kata terima kasih mengajarkan kerendahan hati dan kelapangan dada untuk mengakui kelebihan dan besarnya jasa dan bantuan pihak lain terhadap keluarga kita.

Semoga sharing ini bermanfaat bagi kita sekalian. Tuhan memberkati.

Atambua: 09.09.2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun