Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan juga milik suatu adat istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke! (Presiden RI Pertama: Soekarno)
Ada berbagai cara untuk mengekspresikan sukacita pada HUT Kemerdekaan RI ke-78. Setiap daerah dengan kekhasan budayanya masing-masing. Â Itulah yang menjadikan Indonesia berbeda dari negara-negara lain di dunia.
Hari ini, Kamis, 17 Agustus 2023, terlihat sangat meriah. Sangat berbeda dari hari-hari lainnya. Â Merah putih hampir mewarnai setiap lorong sepanjang jalan memasuki kota "Veteran" Atambua. Belum lagi di setiap gang di sudut kota orang memasang berbagai aksesoris yang bernuansa merah putih.
Kalau kemarin-kemarin seluruh jalanan dipadati dengan regu peserta lomba gerak jalan sehingga musik dari mobil pengiring dan bunyi 'lifrik' atau peluit dari masing-masing pemimpin barisan bersahut-sahutan, hari ini tiada lagi musik gegap gempita.Â
Ada pawai dan carnaval yang diikuti oleh berbagai kelompok masyarakat. Ada aparat desa, ada ibu-ibu PKK, ada siswa-siswi SMA/SMK, SMP dan SD, serta tidak ketinggalan, ikut juga anak-anak PAUD. Â Itulah bukti kemeriahan HUT 78 RI.
Tetapi kemeriahan itu hari ini diganti dengan nyanyian syukur dan pekikan kemerdekaan.
"Merdeka, merdeka, merdeka".
Itulah nuansa kemerdekaan bak kemarin bamboe runcing dipakai untuk menghalau para penjajah dengan aneka dentuman meriam dan desingan peluru, hari ini kita menikmati kemerdekaan penuh sebagai warga negara Indonesia.
Kita tidak perlu lagi memikul senjata. Tidak mesti harus ikut berjuang di medan perang sehingga menjadi pahlawan seperti  Bung Tomo dan Arek-Arek Suroboyo.
Hari ini ketika 78 tahun menikmati kemerdekaan, kita mestinya bertanya "apa yang harus kuberikan untuk negeriku tercinta untuk mengisi kemerdekaan ini?"
Itulah secuil renungan pagi hari mengawali upacara 17 Agustus 2023 di Kecamatan Tasifeto Barat dengan Perayaan Ekaristi di Gereja Santo Antonius Padua Nela.
Kalau di sekolah anak-anak mesti belajar menuntut ilmu untuk menjadi pintar supaya kelak berguna bagi bangsa dan negara.Â
Para bapak dan ibu guru mesti menyiapkan materi pelajaran dari kurikulum merdeka supaya anak-anak didik mereka bisa merdeka belajar.Â
Dan para petani di kebun dan sawah yang sudah memasuki musim kemarau, yang tidak luput dari kekeringan karena ketiadaan air serta mesti berjuang melawan kebakaran hutan.
Hari ini mereka meninggalkan semuanya itu dan sejenak merayakan hari kemerdekaan mereka. Mengibarkan bendera merah putih; menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya; menyebutkan Pancasila Dasar Negara; mendengarkan lagi bunyi Proklamasi Kemerdekaan RI melalui detik-detik proklamasi, serta menyanyikan lagu-lagu wajib untuk membangkit semangat berbangsa dan bernegara.
Lalu apa yang harus dirayakan lagi?
Apakah sudah selesai?
Tidak!
Bagi orang Timor, merayakan kemerdekaan tidak cukup sampai di sini.
Meskipun di tengah teriknya panas matahari.
Meskipun di sana-sini masih ada kemiskinan dan kesengsaraan, kemerdekaan harus dirayakan.
Setelah Merah Putih berkibar dan pidato kebangsaan telah didengarkan, serta pengumuman kejuaraan lomba dibacakan, itu semua tiada ceritanya.
Orang Timor akan bercerita di mana-mana, kepada siapa saja dan kapan saja, tentang meriahnya sebuah pesta, apalagi pesta kemerdekaan 17 Agustus.Â
Terutama Indonesia setelah berusia 78 tahun, yang mengusung tema: "Terus Melaju untuk Indonesia Maju".
Apa saja yang mereka ceritakan?
Semua itu akan mereka lupakan, tapi cuma satu yang mereka ingat terus sepanjang ingatan mereka yaitu ketika mereka MENARI TEBE BERSAMA di hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-78.
Karena memang betul, semangat dan jiwa orang Timor adalah kegembiraan dan sukacita. Kegembiraan dan sukacita itu mereka ungkapkan melalui pesta.Â
Pesta adalah sukacita bersama. Biar tidak makan, atau pun tidak minum, namun yang terpenting adalah menari bersama-sama.
Dan tiada pesta di Timor, tanpa menari Tarian Tebe.
Tarian Tebe merupakan suatu ungkapan rasa syukur masyarakat tradisional Belu dan Malaka di Timor, pertama-tama kepada Tuhan yang Maha Esa melalui penjagaan para leluhur karena telah menghadiahkan kemenangan kepada para pahlawan sehingga mereka dapat kembali ke tengah-tengah keluarga dengan sehat dan selamat.
Karena itu, tarian Tebe biasanya dipakai untuk menjemput atau menerima kembali para pahlawan dan pemenang di medan perang. Dan sebagai tanda syukur kepada Tuhan atas kemenangan itu, Â mereka akan menari tebe semalam suntuk, bahkan sampai tujuh tujuh malam berturut-turut.
Dewasa ini, tarian Tebe dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat baik dalam upacara-upacara adat, upacara keagamaan, pentas seni maupun dalam pesta-pesta perkawinan dan syukur lainnya.
Kalau dulu tarian Tebe biasanya bersamaan dengan lagu yang diangkat dengan pantun bersahut-sahutan antara peserta pria dan peserta wanita, saat ini peserta tidak perlu lagi menyanyi dan berpantun bersahut-sahutan, tetapi hanya menggunakan musik yang telah disiapkan.
Seperti tarian Timor lainnya, kekhasan tarian tebe adalah terletak pada sentakan dan irama kaki kiri dan kanan bergantian, dan seharusnya juga pada suara lengkingan yang bersahut-sahutan antara pria dan wanita.Â
Lengkingan suara wanita dalam acara tebe ria bersama menambah semaraknya acara tebe.
Saat ini musik dengan gaya tebe sudah terlalu banyak dengan berbagai variasi.
Nah, hari ini setelah upacara kenegaraan selesai, dilangsungkan juga tarian Tebe secara massal.Â
Bukan hanya di Belu dan Malaka, tetapi juga di hampir semua kabupaten di pulau Timor.
Dengan menari Tebe bersama-sama, selesailah sudah seluruh rangkaian upacara dan acara perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-78.
 Dirgahayulah Indonesiaku. Terulah melaju untuk Indonesia Maju.Â
Atambua, 17.08.2023
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H