Kemarin (Minggu, 28/5/2023), umat Kristiani merayakan Hari Raya Pentakosta. Kata Pentakosta berasal dari bahasa Yunani yang secara sederhana dapat diartikan sebagai hari ke-50, yaitu dalam pengertian 50 hari sesudah Paskah.Â
Setelah kenaikan Isa Almasih -yang bagi umat Kristiani disebut Yesus Kristus- ke surga, Ia berjanji akan mengutus Roh Kudus. Tepat 10 hari pasca kenaikanNya tersebut, Ia mengutus Roh Kudus. Peristiwa turunnya Roh Kudus ke atas para rasul itulah yang disebut Pentakosta.
Kompendium Katekismus Gereja Katolik (KKGK) mengajarkan "Lima puluh hari sesudah kebangkitan, pada Hari Raya Pentakosta, Yesus Kristus yang sudah dimuliakan mencurahkan Roh Kudus secara berkelimpahan dan mewahyukan Roh Kudus sebagai Pribadi Ilahi sehingga Tritunggal dimanifestasikan secara penuh" (No. 144).
Alkitab secara khusus dalam Kisah Para Rasul melukiskan bahwa ketika tiba hari Pentakosta, semua orang yang percaya akan Yesus berkumpul di satu tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras, dan bunyinya memenuhi seluruh rumah tempat mereka berada. Lalu tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka mereka dipenuhi dengan Roh Kudus. Lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diilhamkan kepada mereka oleh Roh Kudus itu (Kis 2: 1-4).
Disebut Hari Keragaman dan Lintas Budaya
Pastor Yohanes Napan SVD, dalam khotbahnya pada Hari Raya Pentakosta dihadapan umatnya di Paroki Santo Antonius Padua Nela mengungkapkan bahwa Hari Raya Pentakosta yaitu hari turunnya Roh Kudus ke atas para rasul, juga disebut hari raya keragaman dan lintas budaya.
Mengapa demikian?Â
Pastor John -demikian biasa disapa umatnya- memberikan pendasaran teologis biblis bahwa pada waktu itu di Yerusalem yang menjadi locus kejadian atau peristiwa pentakosta itu, berkumpul banyak orang-orang Yahudi yang telah percaya akan pewartaan para rasul dan mau membuktikan janji Tuhan Yesus akan kedatangan Roh Kudus itu.Â
Bahkan Kitab Suci mengatakan "segala bangsa di bawah kolong langit", hendak mengungkapkan bahwa ada berbagai bangsa, suku dan budaya serta bahasa hadir menyaksikan kejadian yang luar biasa itu.
Keragaman dan lintas budaya itu juga tercermin dengan pernyataan bahwa ketika mendengar bunyi itu, berkerumunlah banyak orang. Ini tentu sebagaimana biasanya kalau terjadi peristiwa alam seperti itu banyak orang yang berkerumun, mungkin ada yang sekedar ingin tahu apa yang terjadi.
Akan tetapi penulis kisah ini mengatakan bahwa orang-orang banyak itu bingung, karena mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berbicara dalam bahasa mereka. Karena itu mereka semua tercengang-cengang dan heran.
Bahkan ada yang berkata, "Bukankah mereka yang berbicara itu orang Galilea? Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita, yang terdiri dari orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Mesir dan lain-lain.
Artinya Apa Ini?
Peristiwa yang terjadi 2000 tahun silam itu menunjukkan bahwa perayaan Pentakosta merupakan perayaan besar yang meliputi seluruh bangsa manusia dari berbagai ragam budaya dan bahasa.
Karena itu umat Kristiani menghayati makna perayaan ini sebagai:
Pertama, Hari Raya Kelahiran Gereja Kristen
Gereja Kristen beranggotakan berbagai suku, budaya dan bahasa. Kata Gereja menunjuk kepada orang-orang yang dipanggil Allah dan berkumpul bersama dari setiap penjuru dunia.Â
Jadi Gereja menunjukkan keragaman keanggotaan. Gereja itu milik semua orang. Siapa saja boleh menjadi anggota. Terbuka kepada semua orang.
Kedua, Keragaman dan lintas budaya
Kini pada hari Pentekosta, umat Kristiani di mana saja berada mengungkapkan keberagaman budaya itu dengan berpakaian atau berkostum daerah masing-masing.Â
Jadi pada hari Pentakosta itu semua umat Kristen yang menghadiri perayaan itu memakai kostum atau pakaian daerah. Misalnya di Paroki Santo Antonius Padua Nela, umatnya terdiri dari orang Tetun, Dawan, Manggarai, Nagekeo, Jawa, dan Batak.Â
Semua umat mengenakan pakaian daerahnya. Dengan itu sangat terasa keberagaman dalam kesatuannya.
Demikian pun dalam Liturgi Pentakosta itu, rumusan doa-doa dan lagu-lagu diambil dari berbagai bahasa yang dipakai oleh umat yang ada dalam gereja tersebut. Ada lagu berbahasa Indonesia, berbahasa Ende, berbahasa Manggarai, berbahasa Dawan, Tetun, dan lain-lain.Â
Hal ini semata-mata untuk mengungkapkan bahwa biar pun kita berbeda-beda bahasa, suku dan budaya, namun kita adalah satu gereja yaitu Gereja Kristus.
Ketiga, Pentakosta juga dirayakan sebagai hari syukur atas panen
Pada hari Minggu Pentakosta (kemarin,28/5/2023) umat membawa hasil panen mereka yang berasal adri kebun mereka masing-masing  berupa jagung, padi, umbi-umbian, ada juga yang membawa buah-buahan berupa pisang, jeruk, alpukat, tomat, dan lain-lain.Â
Semuanya itu dipersembahkan kepada Tuhan sebagai wujud syukur atas hasil panen yang diterima dari Tuhan. Itupun mau menunjukkan keragaman hasil panen kita yang akan dipersembahkan dan disatukan kepada Tuhan.
Demikianlah umat Kristiani merayakan dan memaknai peristiwa Pentakosta sebagai Hari Raya Turunnya Roh Kudus menjiwai Gereja-Nya sekaligus dirayakan sebagai Hari Raya Keragaman dan Lintas Budaya.
Terima kasih kepada para Kompasianer yang berkenan membaca tulisan sederhana ini.
Semoga membawa manfaat.
Atambua, 29.05.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H