Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Dosen - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perceraian Orangtua Momok bagi Anak

15 Mei 2023   12:00 Diperbarui: 15 Mei 2023   12:10 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bagaimana menjelaskan kepada anak tentang perceraian orang tua (Hello sehat)

KATA Perceraian di mata pasangan suami istri merupakan kata yang keramat atau tabu untuk diucapkan. Mengapa? Karena perceraian dalam perkawinan itu merupakan sesuatu yang menakutkan, selain pada pasangan suami istri juga pada anak-anak yang mereka hasilkan dalam perkawinan itu. Karenanya orang tidak mau mengucapkan atau mendengarkan kata 'perceraian' itu karena takut jangan sampai keluarganya juga suatu saat mengalami tragedi yang sama.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata momok dari bahasa Jawa yang berarti hantu dan/sesuatu yang menakutkan karena berbahaya, ganas dan sebagainya. Bahkan dalam https://id.quora.com  Caroko Tri Hatmojo B.Y.P mengungkapkan bahwa momok itu sama dengan hantu. Menurut Caroko Tri Hatmojo, biasanya orang tua zaman dahulu melarang anaknya untuk bermain di kala matahari akan tenggelam karena memang banyak setan berinteraksi di kala itu seperti yang diriwayatkan sahabat Jabir ra, dalam HR. Bukhari:

 "Ketika waktu malam tiba, laranglah anak-anakmu (keluar rumah), karena setan itu berinteraksi dan bertebaran pada waktu itu. Ketika waktu Isya sudah lewat, maka kalian boleh membiarkan mereka bermain. Tutuplah pintu Anda sambil berzikir pada AllahSwt" (HR.Bukhari).

Dalam pengertian umum, momok berarti  hal yang menakutkan bagi banyak orang, sehingga semua orang takut untuk terlibat dengan hal tersebut.  Dalam hal ini seperti "Covid 19 menjadi momok bagi banyak oranf di dunia dua tahun terakhir ini".

Demikianlah dalam perkawinan, perceraian itu menjadi suatu momok yang menakutkan, terutama bagi anak-anak hasil perkawinan itu. 

Perceraian itu sendiri merupakan putusnya ikatan dalam hubungan suami istri yang berarti putusnya suatu perkawinan sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai suami istri dan tidak lagi menjalani kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga. Itu artinya hilangnya tanggung jawab mengendalikan perkawinan dan keluarga oleh suami istri.

Mengapa bisa terjadi perceraian?

Pada dasarnya orang menikah atau melakukan perkawinan untuk mencapai kebahagiaan. Seandainya salah satu pihak mengetahui bahwa tujuan mereka menikah untuk bercerai, sudah dapat dipastikan perkawinan itu akan batal atau tidak pernah akan terjadi. Namun dalam perjalanan selalu saja ada kerikil-kerikil tajam di jalan yang terjalnya perkawinan, maka berbagai upaya rekonsiliasi harus diupayakan untuk mencegah terjadinya perceraian itu. 

Sebenarnya apa saja yang menjadi penyebab perceraian itu? Setidaknya ada 6 (enam) faktor penyebab terjadinya perceraian dalam perkawinan yaitu:

1. Gagalnya komunikasi Suami Istri

Menurut penelitian, perceraian umumnya terjadi bukan semata-mata pada faktor eksternal, tetapi terutama karena gagalnya komunikasi diantara suami istri. Kurangnya komunikasi yang efektif dalam perkawinan akan menyebabkan kurangnya rasa saling mengerti dan dengan demikian memicu terjadinya pertengkaran di antara suami istri. Bila miskomunikasi itu terus menerus terjadi, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi perceraian.

Untuk itu soluasinya adalah keluarga, suami istri harus lebih memaksimalkan komunikasi di antara mereka berdua.

2.  Ketidaksetiaan salah satu atau keduabelah pihak

Perselingkuhan sering menjadi penyebab perceraian. Salah satu pihak akan menjadi korban dari ketidaksetiaan pihak yang lain. Atau sebaliknya, karena mengetahui salah satu pihak berselingkuh lalu pihak yang lain punikut berselingkuh. Maka hasil akhirnya adalah sama-sama selingkuh dan berakhir dengan perceraian.

Solusi dalam hal ini adalah setiap pihak pasangan suami istri hendaknya tidak memberi peluang kepada salah satu atau kedua pihak untuk berselingkuh. Membina kesetiaan yang tulus menjadi obat mujarab untuk menghindari perceraian.

3. Adanya kekerasan dalam rumah tangga

Banyak pasangan yang akahirnya memilih untuk bercerai karena adanya kekerasan dalam rumah tangga. KDRT jangan semata-mata dianggap bahwa yang membuat KDRT adalah laki-laki. Pada hal dalam kenyataan juga terjadi sebaliknya, KDRT yang disebabkan oleh pihak istri terhadap suami.

Karena itu mengupayakan keluarga tanpa KDRT menjadi cita-cita langgengnya hidup perkawinan suami istri.

4. Persoalan Ekonomi Rumah Tangga

Selain ketiga hal di atas, persoalan ekonomi juga menjadi pemicu adanya perceraian. Sering karena tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi rumah tangga, maka terjadi percaraian.

Untuk itu diharapkan keluarga-keluarga semakin mengembangkan pemberdayaan ekonomi rumah tangga yang lebih baik.

5. Pernikahan Terlalu Dini

Salah satu penyebab lain dari perceraian itu adalah karena pernikahan dini. Jika salah satu pihak yang menikah belum mencapai usia perkawinan juga mejadi soal. 

Untuk itu diharapkan mereka yang mau menikah telah mencapai usia dewasa yaitu usia minimal 16 tahun bagi perempuan, dan minmimal 19 tahun bagi laki-laki.

6. Perubahan Cara Pandang/Mindset

Kalau dahulu, orang merasa tabu untuk membicarakan apalagi melakukan perceraian. Namun sekarang perceraian itu merupakan tren atau menjadi gaya hidup. Orang memandang perceraian itu sebagai bagian dari kehidupan. Bahkan mungkin orang akan dianggap kolot kalau tidak bercerai....

Karena itu perubahan mindset atau perubahan budaya seharusnya tidak membuat orang serta merta menerapkannya juga pada perkawinan, sebab akibat yang terlampau berat yang disebabkan oleh perceraian itu.

Ilustrasi bagaimana menjelaskan kepada anak tentang perceraian orang tua (Hello sehat)
Ilustrasi bagaimana menjelaskan kepada anak tentang perceraian orang tua (Hello sehat)

Apa yang terjadi setelah perceraian?

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974, pasal 38, suatu perkawinan dapat putus  karena beberapa hal seperti kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. 

Perceraian sebagai salah satu bentuk dari sebab putusnya suatu perkawinan. Dan pada pasal 39 Undang-Undang Perkawinan RI Tahun 1974 itu mengatakan "perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 

Artinya di depan pengadilan pun kedua belah pihak masih diberikan kesempatan untuk melakukan rujuk atau berdamai.

Upaya untuk rujuk atau berdamai yang ditempuh di pengadilan juga merupakan suatu cara untuk menjauhkan momok dari perkawinan itu sendiri.

Akan tetapi ibarat nasi sudah menjadi bubur, maka perkawinan tersebut mungkin tidak bisa diselamatkan lagi. Maka akibat yang harus ditanggung dan biaya yang harus dibayar adalah mahal. 

Yang menjadi korban utama dalam perceraian itu adalah anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut. Itulah sebabnya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi mereka.

Bagaimana seharusnya kita menghadapi persoalan ini?

Adalah lebih baik mencegah daripada mengobati, kata pepatah kuno. Namun, betul juga bahwa lebih penting kita berdarah-darah untuk mencegah daripada kita berpeluh kemudian untuk menyesali sebuah perceraian.

Lihatlah contoh-contoh kasus yang terjadi pada perceraian para artis kita. Biar kita memiliki banyak uang untuk menanggung atau menghidupi anak-anak akibat perceraian, namun mereka tidak pernah akan bebas dari trauma akibat kejamnya perceraian kedua orang tuanya. Penjelasan sebaik apapun kepada anak-anak mengenai perceraian orang tua, mereka tak akan menerimanya. Semoga pada keluarga kita tidak akan terjadi perceraian itu. Setuju kan? Salam sehat.

Atambua, 15.05.2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun