Jalan ke Maubam juga hampir sama rusaknya dengan Maurisu. Tapi mau bagaimana lagi. Kewajiban seorang anak yang berbakti harus segera. "Kehadiran anak pada saat, mama sakit akan merupakan obat tersendiri bagi seorang mama". Itulah keyakinanku. Dan ternyata betul, begitu tiba di rumah kakak Ima, Nesti si bungsu segera memanggil,Â
"Nenek.....kami datang!"
Terdengar suara nenek menjawab, "On le'nan ka"(dalam bahasa Dawan), yang artinya "begitukah!"
Maksudnya mama mau mengatakan, "Ya, kamu harus datang!" Dan mama terlihat begitu gembira. Ia seolah-olah tidak sakit lagi. Ya, begitulah kerinduan seorang mama akan kehadiran anak-anak dan cucu-cucunya.
Setelah mengurus mama makan dan bercengkerama denganya hampir dua jam lebih, kami pun bergegas kembali ke Atambua meninggalkan mama yang masih terbaring sakit, namun tetap gembira.Â
Kami telah berjanji dengan mama bahwa kami akan merayakan malam tutup tahun 2022 dan sambut tahun baru 2023 bersama mama lagi.
***
Sudah kesekian kalinya kita merayakan hari ibu pada setiap tanggal 22 Desember. Meski tidaklah terlalu penting kita bertanya, kapan dan siapakah yang memprakarsai perayaan hari ibu itu. Namun kiranya Kongres Perempuan Indonesia I pada 22 s/d 25 Desember 1928 menjadi cikal bakal hari ibu nasional.Â
Menurut https://bpmpriau.kemdikbud.go.id yang diakses Minggu, 18/12/2022, penetapan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember sendiri baru diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III tahun 1938. Dan puncak perayaan Hari Ibu yang paling meriah adalah pada peringatan hari Ibu ke-25 pada tahun 1953. Mungkin karena terdorong oleh kemeriahan dan ikut terlibatnya banyak organisasi dan kota merayakan hari ibu ke-25 itu, akhirnya Presiden Soekarno menetapkan secara resmi tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1959 yang dirayakan secara nasional hingga saat ini.