Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fole Mako, Tradisi Makan yang Unik dan Kedaulatan Pangan

26 Agustus 2022   07:55 Diperbarui: 26 Agustus 2022   09:24 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Kefetoran Noemuti, keempat suku atau marga ini disebut Tobe yaitu panggilan untuk tuan tanah tradisional. Mereka diangkat menjadi Tobe yang bertugas untuk mengurus ketersediaan makanan dan minuman bagi raja dan seluruh penghuni istana. Dahulu, dia yang disebut raja itu sama dengan Atupas yaitu dia yang hanya tidur saja. Sebab yang mengurus segala makanan dan minuman untuknya dan seluruh istana oleh Tobe.

Sampai di sini bisa dimengerti atau dipahami bahwa keempat suku: Metkono, Tnone, Ninu dan Laot karena mereka sebagai pengurus pangan yaitu ketersediaan makanan dan minuman untuk raja, maka mereka tidak boleh melakukan pesta atau berfoya-foya, sebab secara sosial, mereka mungkin akan dicap melakukan korupsi atau menyalahgunakan kekayaan untuk raja. Maka sekali lagi bisa dipahami, mereka harus menjaga martabat sebagai pemegang kedaulatan pangan.

Lantas Mengapa Fole Mako'?

Khusus untuk keempat suku yang disebut Tobe itu bila mereka meninggal dunia (terutama laki-laki) karena menganut sistem patriarkat, mereka tidak boleh membunuh binatang sehingga mereka tidak boleh melanggar darah.

Karena itu sebagai kesempatan untuk menjamu para tamu atau undangan yang datang melayat pada waktu meninggal dunia itu, maka dilakukan acara yang disebut Fole Mako yaitu acara makan atau perjamuan secara besar-besaran yang ditandai dengan mengisi makanan ke dalam piring dengan menggunakan ukuran sebuah mangkok besar (mako) dengan cara menekan dan memutarnya sedikit (fole) sehingga menjadi padat. Lalu sebagai lauknya diberikan daging (babi atau sapi) rebus pada satu wadah piring atau mangkok.

Acara makan secara adat ini biasanya dilaksanakan pada syukur 40 hari kematian atau pada pesta kenduri. Sebagai tradisi turun temurun diikuti oleh semua undangan yang hadir, tanpa kecuali. Yang menjadi lebih menarik lagi bahwa setiap tamu yang diajak makan itu (entah pejabat pemerintah atau pun tokoh agama dan rakyat biasa), mereka duduk sama-sama pada satu bale-bale yang terbuat dari belahan batang lontar dan bambu sebagai meja makannya.

Setiap tamu yang duduk makan dipanggil sesuai undangan, dalam arti siapa yang membawa atau mengundang yang disebut jalan (lalan). Misalnya penulis datang dari Atambua membawa undangan berapa orang, kelompok kami  akan dipanggil dan satu orang bertindak sebagai kepala jalan (lalan nakaf).

Sebagai kepala jalan (lalan nakaf), ia bertanggung jawab terhadap tamu-tamunya, termasuk mengumpulkan makanan yang tidak dihabiskan itu untuk mereka masing-masing membawa pulang ke rumahnya sebagai oleh-oleh untuk mereka yang tinggal.

Tradisi Makan Fole' Mako': kebersamaan dan solidaritas (sumber: NTTOnline)
Tradisi Makan Fole' Mako': kebersamaan dan solidaritas (sumber: NTTOnline)

Makna Fole Mako dan Kedaulatan Pangan

Dari praktek ini dapat dipetik beberapa maknanya untuk kehidupan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun