Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Pentingkah Perjanjian Pranikah bagi Pasangan Suami Istri?

15 Agustus 2022   21:34 Diperbarui: 15 Agustus 2022   21:36 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perjanjian Pranikah (sumber:tribunnews.com)

Perkawinan  adalah pintu masuk menuju terciptanya keluarga. Tujuan orang berkeluarga adalah untuk mencapai keluarga bahagia. Salah satu momok yang sangat menakutkan bagi pasangan suami istri adalah perceraian. Dan tak satu pun pasangan suami istri yang menghendaki keluarganya berujung dengan cerai.

Karena itu sejak awal pasangan suami istri saling berjanji untuk setia satu sama lain. Semua lembaga atau institusi yang mengatur hidup manusia, termasuk di dalamnya lembaga agama mengatur agar hubungan suami istri itu langgeng dan bahagia.

Sejak mereka berpacaran kedua orang pria dan wanita itu memang mencita-citakan agar pada suatu saat kelak, ketika mereka sudah resmi menjadi suami istri dalam dan melalui perkawinan, mereka dapat menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Setelah melewati masa pacaran, kemudian tahap berikutnya adalah masa pertunangan. 

Pada masa pertunangan itu biasanya diawali atau ditandai dengan acara tukar cincin. Apakah itu bisa digolongkan sebagai perjanjian pranikah?

Tidak juga, karena memang tidak ada perjanjian, baik tertulis maupun lisan. Namun dalam kenyataan, memang keduanya berjanji agar hubungan mereka bisa berlanjut ke jenjang perkawinan.

Kami sendiri juga menjalani tahap-tahap itu. Mulanya pacaran, kemudian pertunangan dan akhirnya ke jenjang perkawinan yang ditandai dengan perjanjian untuk saling setia selamanya. Perkawinan kami dikukuhkan di altar suci dalam ikatan perkawinan sakramental. 

Perjanjian nikah kami dimeteraikan oleh Kristus sendiri dan kami berjanji untuk saling setia selamanya dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dalam untung dan malang. Namun kami sendiri tidak melakukan apa yang dinamakan perjanjian pranikah.

Perkawinan dalam Gereja Katolik atau disebut juga Sakramen Perkawinan kudus pada hakekatnya adalah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk suatu kebersamaan hidup yang disebut keluarga. 

Ilustrasi Perkawinan sebagai suatu perjanjian (sumber:katolisitas.org)
Ilustrasi Perkawinan sebagai suatu perjanjian (sumber:katolisitas.org)

Perkawinan pada dasarnya mempunyai tiga tujuan utama yaitu:

pertama, supaya keduanya saling melengkapi antara pria dan wanita untuk mencapai kesejahteraan sebagai suami istri;

kedua,  supaya melalui hubungan suami istri yang telah disatukan dalam sakramen perkawinan itu mendapatkan keturunan melalui kelahiran anak. Anak yang dilahirkan dari hubungan suami istri itu adalah pemberian atau anugerah dari Tuhan sendiri. Selanjutnya, anak yang telah dilahirkan itu hendaknya dijaga dan dipelihara dalam kasih. 

Maka tujuan yang ketiga dari perkawinan itu adalah pendidikan anak. Karena itu keluarga disebut sebagai lembaga awal pembentukan manusia dan sekolah pertama kemanusiaan dan keutamaan-keutamaan moral.

Sekali lagi, kami sendiri tidak membuat perjanjian baik pranikah maupun pada saat menikah. Tetapi yang jelas bahwa apa yang kami jalani selama masa hidup perkawinan itu merupakan hasil dari sebuah perjanjian cinta yang tak berkesudahan.

Perjanjian pranikah seperti yang diangkat sebagai topik pilihan Kompasiana ini bagi kita orang Timur mungkin sesuatu yang baru. Karena ketika kita berbicara tentang perjanjian berarti membutuhkan orang ketiga yaitu orang lain sebagai saksi. Dan karena merupakan hal baru, maka apa yang menjadi substansi sebagai isi dari perjanjian itu juga menjadi hal yang baru.

Nah, kalau dikatakan perjanjian maka dengan sendirinya membutuhkan komitmen. Sebuah komitmen memerlukan dasar, termasuk di dalamnya dasar atau kekuatan hukum supaya mengikat kedua belah pihak yang melakukan perjanjian itu.

Ini juga jadi soal tersendiri, karena itu tadi bagi kita orang Timur tidak biasa. Maka ke mana kita mesti bertanya? Apakah kepada rumput yang bergoyang seperti dikatakan Ebiet G. Ade?

Atas dasar dan pertimbangan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa perjanjian pranikah belum terlalu penting dan mendesak sekarang ini. Tetapi tetaplah bagi kita yang telah menikah harus memiliki komitmen untuk setia bersama pasangan kita sampai maut memisahkan. Menghadapi tantangan hidup perkawinan dengan berlandaskan kekuatan iman sebagaimana diajarkan agama. Perceraian merupakan momok yang menakutkan. Harus dihindari karena bukan hanya berakibat bagi pasangan, tetapi terutama bagi anak-anak.

Maka marilah kita berusaha untuk setia dalam perkawinan kita seolah-olah kita telah mengawalinya dengan perjanjian, menjalani dalam perjanjian dan berakhir dengan kebahagiaan. 

Semoga sharing sederhana ini membantu kita dalam mengarungi bahtera rumah tangga, meski tidak diawali dengan perjanjian pranikah. Salam sejahtera bagi kita sekalian.

Atambua, 15.08.22

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun