pertama, supaya keduanya saling melengkapi antara pria dan wanita untuk mencapai kesejahteraan sebagai suami istri;
kedua, Â supaya melalui hubungan suami istri yang telah disatukan dalam sakramen perkawinan itu mendapatkan keturunan melalui kelahiran anak. Anak yang dilahirkan dari hubungan suami istri itu adalah pemberian atau anugerah dari Tuhan sendiri. Selanjutnya, anak yang telah dilahirkan itu hendaknya dijaga dan dipelihara dalam kasih.Â
Maka tujuan yang ketiga dari perkawinan itu adalah pendidikan anak. Karena itu keluarga disebut sebagai lembaga awal pembentukan manusia dan sekolah pertama kemanusiaan dan keutamaan-keutamaan moral.
Sekali lagi, kami sendiri tidak membuat perjanjian baik pranikah maupun pada saat menikah. Tetapi yang jelas bahwa apa yang kami jalani selama masa hidup perkawinan itu merupakan hasil dari sebuah perjanjian cinta yang tak berkesudahan.
Perjanjian pranikah seperti yang diangkat sebagai topik pilihan Kompasiana ini bagi kita orang Timur mungkin sesuatu yang baru. Karena ketika kita berbicara tentang perjanjian berarti membutuhkan orang ketiga yaitu orang lain sebagai saksi. Dan karena merupakan hal baru, maka apa yang menjadi substansi sebagai isi dari perjanjian itu juga menjadi hal yang baru.
Nah, kalau dikatakan perjanjian maka dengan sendirinya membutuhkan komitmen. Sebuah komitmen memerlukan dasar, termasuk di dalamnya dasar atau kekuatan hukum supaya mengikat kedua belah pihak yang melakukan perjanjian itu.
Ini juga jadi soal tersendiri, karena itu tadi bagi kita orang Timur tidak biasa. Maka ke mana kita mesti bertanya? Apakah kepada rumput yang bergoyang seperti dikatakan Ebiet G. Ade?
Atas dasar dan pertimbangan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa perjanjian pranikah belum terlalu penting dan mendesak sekarang ini. Tetapi tetaplah bagi kita yang telah menikah harus memiliki komitmen untuk setia bersama pasangan kita sampai maut memisahkan. Menghadapi tantangan hidup perkawinan dengan berlandaskan kekuatan iman sebagaimana diajarkan agama. Perceraian merupakan momok yang menakutkan. Harus dihindari karena bukan hanya berakibat bagi pasangan, tetapi terutama bagi anak-anak.
Maka marilah kita berusaha untuk setia dalam perkawinan kita seolah-olah kita telah mengawalinya dengan perjanjian, menjalani dalam perjanjian dan berakhir dengan kebahagiaan.Â
Semoga sharing sederhana ini membantu kita dalam mengarungi bahtera rumah tangga, meski tidak diawali dengan perjanjian pranikah. Salam sejahtera bagi kita sekalian.
Atambua, 15.08.22