Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Acara "Tfua Ton" di Persawahan Pineur Maurisu, Bikomi Selatan, Timor

24 Juli 2022   14:51 Diperbarui: 24 Juli 2022   14:55 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa tema ini yang diangkat?

Akhir-akhir ini di Pulau Timor, khususnya Timor Barat, ada semacam suatu kesadaran baru dari masyarakat, khususnya masyarakat adat untuk menghidupkan kembali praktek-praktek budaya berupa ritus atau ritual-ritual adat yang pada beberapa dekade boleh dikatakan 'hilang' karena tidak dipraktekkan karena menurut pandangan agama tertentu, praktek ini dianggap bertentangan dengan ajaran iman. 

Salah satu praktek budaya yang akan penulis angkat di sini adalah ritual adat bernama "Tfua/Fua' Ton". 

Baru-baru ini pada hari  Kamis dan Jumat, 21 & 22 Juli 2022, masyarakat adat pemilik dan pengolah Sawah Pineur di Desa Maurisu, Kecamatan Bikomi Selatan menyelenggarakan acara Tfua Ton ini. 

Apa Itu Ritual Tfua Ton ?

Istilah Tfua Ton terdiri dari dua kata dasar dalam bahasa Dawan atau biasa disebut Uab Meto yaitu Fua' atau Tfua dan Ton. 

Kata Fua' atau Tfua adalah tindakan membawa sesajian ke sebuah tempat sebagai bagian dari upacara religius tradisional, terutama berhubungan dengan pertanian.

Kata "ton" artinya tahun. Jadi Tfua Ton berarti  upacara kurban tahunan yang biasa dilakukan menjelang musim tanam yang baru atau pada awal tahun pertanian yang baru (Lih. Andreas Tefa Sa'u, SVD, Kamus Uab Meto Bahasa Indonesia (2020), hlm. 194-195).  

Istilah tfua ton sering disebut juga "Lol Ton", (Lol = bunuh; ton = tahun). Disebut juga Lol Ton karena dalam upacara itu terjadi 'bunuh hewan' atau kurban (bdk. Di Timor ada  tradisi Tae Lilo setelah penyembelihan hewan kurban).

Ritual Tfua Ton meningkatkan persaudaraan (foto: dok.pribadi) 
Ritual Tfua Ton meningkatkan persaudaraan (foto: dok.pribadi) 

Apa yang terjadi dalam acara Ritual Tfua Ton itu?

Pada ritual tahunan 'tfua ton' yang dilakukan masyarakat pesawah Pineur di Desa Maurisu, Kecamatan Bikomi Selatan, baru-baru ini sebenarnya adalah pesta syukur sekaligus memohon kepada penguasa tanah Bikomi yang dikenal dengan sebutan 'Uis Pah Bikomi' yang menurut tutur adat berbahasa Dawan (Uab Meto) disebut Uis Neno A Pinat A Klahat, A Mo'et A Pakaet, artinya Tuhan Allah yang Menyala dan Membara (Maha Besar), Maha Pencipta dan Penyelenggara.

Kalau demikian, mengapa justru praktek ini dilarang pada beberapa dekade lalu karena dianggap bertentangan dengan praktek iman dalam Gereja Katolik? Pada hal tujuan akhirnya adalah kepada Tuhan Allah sebagai Pencipta dan Penyelenggara Kehidupan.

Setelah ditelusuri oleh para Antropolog-Teolog Katolik di antaranya seorang Uskup Katolik, Mgr. Anton Pain Ratu SVD (93 tahun), kini Uskup Emeritus Keuskupan Atambua, dalam buku 'Menuju Gereja Umat Pastoral Akar Rumput' (1997) dengan penyunting Anton Bele mengatakan bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan cara. Bahwa benar tujuannya adalah syukur dan bakti kepada Tuhan sebagai Maha Pencipta dan Penyelenggara. Namun yang dipersoalkan adalah pertama, ritual atau ritus yang dipraktekkan dan kedua, adalah rumusan doa yang dipanjatkan.

Mgr. Anton Pain Ratu SVD dalam setiap kegiatan khalwat 3 Ber yang menjadi primadona pastoralnya selama lebih kurang 25 tahun sebagai Uskup Atambua, berusaha untuk menyelaraskan ritual adat tersebut sehingga tidak menjadi praktek penyembahan berhala melalui ritual  'talolip na' dan tkani' mnes  (meneteskan darah dan membuang beras) yang biasa dibuat oleh orang-orang yang belum beragama. 

Tetapi ketika semua orang Timor sudah beragama, khususnya Katolik, maka praktek atau ritual ini harus diperbaharui. Bagaimana caranya? Dalam Teologi Katolik, hanya imam-lah yang merupakan -Alter Christus- mempersembahkan kurban di atas altar untuk menyucikan manusia dari dosa. Karena itu dalam kegiatan 'tfua ton' yang melibatkan umat Katolik, maka Imam Katolik harus diundang untuk hadir dan memberkati hewan-hewan yang akan disembelih sebagai kurban syukur itu, sekaligus dapat merayakan Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan kristiani.

Demikian pun doa-doa dalam ritus itu harus dirumuskan sesuai dengan ajaran iman kristiani. Artinya kalau yang menyelenggarakan acara tfua ton itu adalah umat Katolik, maka rumusan doa-doanya tidak boleh bertentangan dengan rumusan-rumusan iman kristiani. Dan pemimpin doa atau ritualnya pun kalau bukan guru agama, sekurang-kurangnya adalah orang Katolik.

Praktek Tfua Ton ke depan

Diharapkan praktek budaya ini terus dihidupkan ke depan. Hendaknya melibatkan banyak orang dan mewajibkan semua pesawah sebagai kesempatan ucapan syukur dan permohonan atau doa bersama. Kegiatan ini bukan semata-mata kegiatan 'doa-adat' tetapi kesempatan untuk membangun suasana kebersamaan dan kekeluargaan di antara para pesawah. Bisa juga kesemapatan ini dipergunakan untuk melakukan evaluasi bersama atas pengelolaan sawah, irigasi, dan keterlibatan masyarakat lainnya dalam urusan pertanian. Ada banyak hal dapat dicapai melalui praktek 'tfua ton' ini karena melibatkan juga pihak pemerintah, adat dan agama. Demikianlah ulasan kami, moga-moga berguna bagi pembaca sekalian. Terima kasih. Uis Neno Nokit Piut. ***

Atambua, 24.07.22

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun