Atoin Pah Meto atau biasa disebut saja Atoin Meto merupakan suku terbesar penghuni pulau Timor. Pulau Timor disebutnya Pah Meto atau Tanah Kering. Mungkin karena memang pulau Timor kering atau gersang.
Pah Meto atau Pulau Timor menyimpan banyak kisah dan praktek hidup yang menarik. Mulai dari pulaunya hingga manusia dan semua yang ada di atasnya memiliki suatu keunikan.
Sebut saja banyak praktek budaya yang sering kali mungkin tidak terdapat pada pulau atau daerah lain.
Kali ini, penulis ingin mengangkat sebuah praktek budaya yang disebut "tekes" atau sesajen atau persembahan dalam bentuk makanan kepada leluhur.
Mengapa penulis mengangkat praktek budaya ini? Karena sesuai kebiasaan atau tradisi setempat, biasanya pada bulan Juli seperti saat ini di mana-mana, khususnya di wilayah Kerajaan Bikomi yang dikuasai oleh usif atau raja yang dikenal dengan sebutan mone ha atau empat putera (penguasa) yaitu Ato - Bana, Lake - Sanak, terjadi apa yang dinamakan "Tfua Ton" atau "upacara adat tahunan".
Proses Tfua Ton
Yohanes Sanak dalam bukunya Kerajaan Bikomi dan Budaya Puah Manus dalam Relasi Kuasa Usif-Amaf, mengemukakan bahwa angka tujuh (hitu) yang melekat pada pedang usif Bikomi tap mese nes hitu (satu sarung bermata tujuh) kemudian menjadi dasar rujukan dalam pelaksanaan berbagai ritus dalam budaya Atoin Meto.
Biasanya dalam berbagai upacara adat, ada tonis atau laes tone (penyampaian doa), di mana pemimpin doa menengadah ke langit sambil mengangkat kasu'i (sejenis piring terbuat dari anyaman lontar) berisi beras, benda-benda pusaka dan sejumlah uang kertas yang dikumpulkan dari suku-suku peserta upacara itu yang dihunjukkan sebanyak tujuh kali. Uang kertas dalam adat disebut sebagai alas kaki hewan kurban sebagai bentuk penghormatan terhadap para leluhur.
Setelah menghunjukkan sebanyak tujuh kali, pemimpin ritual akan mengambil atau menjumput beberapa butir beras lalu melemparkannya ke atas batu lempeng atau faot le'u tempat bahan persembahan yang di tempatkan di bawah tiang induk yang disebut haumonef. Tujuan persembahan itu kepada uis pah atau penguasa bumi.
Biasanya doa diawali dengan persembahan hewan kurban di mana bulu hewan kurban itu diambil dari bagian tengkuknya beberapa helai, lalu diletakkan pada faot le'u atau batu lempeng persembahan.
Adapun rumusan doa itu terdiri dari pengantar atau semacam sapaan awal yang bunyinya 'Hoe manu mnes net.... Secara harafiah dapat diterjemahkan dengan 'ayam, beras, pergi.....' Maksudnya memberitahukan kepada para leluhur bahwa kini sedang dihunjukkan persembahan berupa ayam dan beras. Ayam selalu mewakili semua binatang kurban entah babi atau sapi, semua disapa dengan ayam.
Selanjutnya hewan kurban yang telah didoakan kemudian disembelih di bawah haumonef yang darahnya diteteskan pada batu atau faot le'u itu. Lalu hewan kurban dibakar.Â
Bagian-bagian tertentu seperti usus halus dan hati dikeluarkan dengan hati-hati dan ditempatkan pada kasu'i untuk selanjutnya dilakukan upacara Tae Lilo, untuk memastikan nasib dan kehidupan anak cucu di masa depan.
Tekes dan Berkat
Seluruh daging hasil sembelihan itu dibakar atau direbus dengan air lalu dikeluarkan. Pada saat itu juga beras persembahan dimasak dan ditempatkan pada bakul atau nyiru dari daun lontar.Â
Daging rebus yang masih dalam bentuk ikatan atau potongan yang panjang dan nasi disimpan bersama dalam satu wadah sebagai persembahan kepada para leluhur. Itulah yang disebut tekes atau sesajian kepada para leluhur.  Leluhur harus dilayani terlebih dahulu. Sesudah tekes baru dilanjutkan dengan 'tah tekes atau tsiom manikin oetene atau menerima berkat dari para leluhur untuk semua anak cucu.
Jadi setelah tekes tadi didoakan, lalu daging tekes itu diiris kecil-kecil dan dibagikan pada beberapa kasu'i yang dicampur dengan nasi. Langkah terakhir adalah semua anak cucu harus makan dari tekes tersebut sampai habis. Tak boleh ada sisa sebagai tanda persembahan kepada para leluhur dan makan bersama para leluhur untuk mendapatkan berkat.
Makna dan Pesan dari Tradisi Tekes
Tekes bermakna persembahan kepada para leluhur. Hal ini merupakan kewajiban dari seluruh anak cucu atau anggota suku. Tekes tidak dapat dipisahkan dari Tae Lilo.
Tradisi Tekes ini memiliki pesan moral yang sangat kuat yaitu kesatuan antara yang hidup dengan mereka yang telah meninggal dunia terutama para leluhur suku Atoin Meto. Selain itu dengan makan bersama dari satu kasu'i menandakan solidaritas dan kesetiakawanan serta kekeluargaan di antara semua anak cucu atau anggota suku.
Karena praktek ini sering dilihat sebagai penyimpangan dari praktek keagamaan, maka sebaiknya dilakukan atau dipraktekkan semata-mata sebagai warisan budaya. Demikian pun doa-doanya hendaknya dicermati agar memiliki nilai dan pesan teologis yang kuat, agar jangan sampai terjadi sinkretisme agama.
Sebagai praktek budaya hendaknya terus digalakkan agar anak-anak cucu Atoin Meto di Timor tetap memiliki akar budaya yang kuat. Atoin Meto hendaknya memperhatikan agar praktek 'tekes' yang benarlah yang dilestarikan.***
Atambua,17.07.22
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H