Jaman semakin maju. Peradaban pun semakin edan. Apa yang mungkin dahulu dianggap bermakna, sekarang justru bisa saja dianggap sepele. Apakah itu karena akibat perubahan? Benarkah demikian? Kata orang bijak 'tiada yang kekal di dunia ini selain perubahan'.Â
Seorang pemikir besar bernama Waren Bennis dalam tulisannya berjudul "On Becoming A Leader" yang pernah diterbitkan di New York tahun 1989 membuat suatu refleksi mendalam tentang realitas perubahan yang intinya mengatakan bahwa perubahan itu bukan saja berlangsung sangat cepat, tapi juga terlalu dramatis.
Pandangan ini sudah menjadi bahan permenungan para filsuf sejak berabad-abad silam. Herakleitos, misalnya pernah mencirikan realita perubahan itu dengan kata-kata: "Panta rhei kai uden menei" yang berarti semua mengalir dan tak ada satu pun yang tinggal mantap, yang berarti segala sesuatu berubah-ubah terus menerus.
Memang kalau ditimbang-timbang, sulit untuk dibayangkan bagaimana keberadaan hidup ini bila berlangsung tanpa perubahan. Mau tidak mau perubahan itu memang mesti terjadi Itu adalah suatu keniscayaan. Dan di dalam perubahan itu, bagaimana pun juga, manusia sebagai makluk yang selalu membawa perubahan mesti terlibat. Keterlibatan itu bisa nampak dalam aneka wajah, entah sebagai subyek perubahan, entah sebagai obyek yang dipermainkan oleh perubahan itu sendiri.
Sadar akan perubahan itu yang sering membawa dampak baik positif maupun negatif dalam kehidupan. Perubahan positif itu kita syukuri, tetapi perubahan ke arah negatif tentu harus kita perbaiki. Ada tiga kata yang entahkah karena perubahan jarang terucap dan terdengar dalam interaksi kita yaitu "Tolong, Maaf dan Terima kasih".
Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik sedunia pada suatu kesempatan Audiensi Umum di Lapangan Santo Petrus di Kota Roma pada 13 Mei 2015 mengatakan bahwa kata-kata 'tolong, maaf dan terima kasih' itu sederhana namun tidak begitu mudah untuk dipraktikkan sekarang ini.
      "Sungguh, ungkapan-ungkapan ini membuka jalan kehidupan dengan baik dalam keluarga anda,Â
      untuk hidup dalam damai. Ungkapan itu sederhana, tetapi tidak begitu mudah untuk dipraktikkan!Â
      Ungkapan itu mengandung banyak kekuatan: kekuatan untuk menjaga kehidupan rumah tangga tetap utuh,
      bahkan ketika diuji dengan seribu masalah. Tetapi jika tidak ada, lubang-lubang kecil bisa mulai retakÂ
      dan semuanya bahkan bisa runtuh".
Kita harus mengakui bahwa dalam setiap relasi manusia, tidak satu pun dari kita yang merasa diri mampu. Sebab pada kenyataannya, kita ini adalah manusia rapuh sehingga kita harus terus menerus didukung untuk melawan egoisme kita masing-masing serta berjuang untuk memberi diri dan kenal batas-batasnya.
Tiga kata bertuah seperti yang dikatakan Paus Fransiskus itu, "Tolong, Maaf dan Terima kasih" dalam kenyataannya sekarang ini hampir jarang kita dengarkan bahkan ucapkan.Â
Dengan menggunakan tiga kata ini "Tolong, Maaf dan Terima kasih" dalam interaksi kita sehari-hari, sebenarnya setiap orang dapat mengenal posisi dan batas-batas kemampuan kita.  Dengan mengakui kelemahan diri sendiri akan membuat kita tidak mendominasi yang lain dengan meminta tolong kepada yang  lain, melainkan untuk menghormati orang lain dengan kata maaf dan tidak mengklaim milik atas dirinya terima kasih.Â
Maka, "Tolong, maaf dan terima kasih" adalah tiga kata yang sangat sederhana, namun bertuah, yang membimbing kita dalam mengambil langkah-langkah konkret di sepanjang jalan hidup kita.Â
Mengucapkan kata "Tolong' dalam meminta sesuatu bantuan dari sesama, mengucapkan kata 'Maaf' jika merasa ada kesalahan atau kekhilafan terhadap orang lain, dan mengucapkan 'terima kasih' Â jika mendapatkan atau menerima sesuatu dari orang lain sekecil apapun itu.
Sebab hanya orang-orang yang terbiasa mengucapkan kata-kata ini sudah pasti memiliki kepribadian yang baik, tahu menghargai orang lain, dan percaya bahwa kehidupan di dunia ini tidaklah mudah tanpa bantuan orang lain.
Maka marilah kita mulai sekarang ini terbiasa lagi untuk mengucapkan 'tolong' bila meminta bantuan orang lain; 'maaf' bila melakukan suatu kesalahan; dan 'terima kasih' bila menerima atau mendapatkan sesuatu dari sesama.
Tidak ada kata terlambat bagi orang yang mau belajar dan memulai sesuatu. Mari kita menggunakan tiga kata bertuah ini dalam berinteraksi dengan sesama, mulai dari teman sekasur yaitu suami atau istri; sesama sedapur yaitu anak-anak, mertua, kakek dan nenek; dan mereka yang sesumur yaitu tetangga, rukun warga dan sekitar kita. ***
Atambua, 09.06.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H