Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalamanku Menjadi Relawan, Hampir Jadi Korban

3 Februari 2022   16:56 Diperbarui: 3 Februari 2022   17:02 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada akhir tahun 1998 terjadi pergolakan di Timor-Timur. Waktu itu Presiden Habibie memberikan dua opsi: Merdeka atau Otonomi Khusus. Setelah terjadi referendum di Propinsi ke-27 itu, kemenangan berada di pihak Pro Kemerdekaan. Artinya sebagian besar rakyat Timor Timur memilih merdeka. 

Maka terjadilah pertumpahan darah di Timor Timur. Rakyat Indonesia yang ada di Timor Timur yang memilih Otonomi Khusus harus exodus ke Timor Barat. Terjadilah pengungsian besar-besaran dari Timor Timur ke Indonesia, khususnya Timor Barat. Di mana-mana ada kamp pengungsian.

Kami yang berada di Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia menjadi tujuan pengungsian. Di mana-mana ada pengungsi. Ada yang menempati bangunan milik umum seperti sekolah, gedung pertemuan/aula, kantor desa. Bahkan ada yang terpaksan harus tinggal di bawah pohon. 

LSM Kesehatan 

Persatuan Dharma Karya Kesehatan Indonesia (Perdhaki) yang merupakan perhimpunan para dokter, perawat dan unit-unit kesehatan Katolik merasa iba dengan keadaan kesehatan para pengungsi itu. 

Maka dari Jakarta Perdhaki Pusat mengirimkan beberapa orang dokter dan perawat Katolik sebagai relawan ke Atambua. Mereka bekerja sama juga dengan Universitas Katolik Atmajaya Jakarta mengirimkan dua orang dokter dan dua perawat.

Di daerah, saya sebagai staf Perdhaki otomatis ikut terlibat sebagai relawan. Saya ditunjuk sebagai sekretaris program. Mula-mula kami mengunjungi kamp-kamp pengungsian untuk menawarkan bantuan kesehatan dengan mendirikan posko kesehatan. Mendirikan posko kesehatan itu sebenarnya tidaklah terlalu sulit, tetapi yang paling sulit sebenarnya adalah betapa sulitnya tenaga relawan masuk ke dalam kamp pengungsian. 

Setiap orang yang datang selalu dicurigai. Apalagi yang datang itu ada juga unsur gereja. Mereka sangat benci karena katanya gereja terlibat di Timor-Timur sehingga pro kemerdekaan menang.

Setiap hari dan setiap saat selalu ada saja bunyi tembakan di mana-mana yang membuat warga masyarakat lokal merasa takut dan tidak nyaman.

Waktu itu, saya sebagai Sekretaris Perdhaki Wilayah terlibat mengorganisir para dokter dan perawat untuk urusan kesehatan para pengungsi. Untuk itu kami mendirikan beberapa posko kesehatan. Kami memilih kamp-kamp yang cukup banyak pengungsinya terutama ibu dan anak-anak. 

Setiap hari kami masuk keluar kamp untuk melakukan pelayanan kesehatan. Kami menyisir dan menyusur kamp-kamp pengungsi untuk membagikan bahan-bahan makanan dan obat-obatan. 

Sebuah pengalaman tragis terjadi

Hari itu tanggal 1 November 1999. Kami bersama lima orang dokter hendak mengadakan pelayanan kesehatan di kamp-kamp pengungsian di Betun (kini ibu kota kabupaten Malaka), kurang lebih 80 kilometer dari Atambua. 

Saya dan Sr. Florida SSpS (almarhum)  bersama driver Yoseph Sasi menggunakan hardtop Perdhaki membawa obat-obatan dan makanan. Sedangkan para dokter bersama driver Jeremias Sasi menggunakan mobil Rover yang diberikan oleh Bapak Frans Seda dari Jakarta. Kami bergegas keluar dari Istana Keuskupan menuju Betun. Mobil kami didaulat untuk berada depan, sementara mobil yang membawa para dokter mengikuti kami dari belakang.

Suasana waktu itu masih terasa sangat mencekam. Para pengungsi berseliweran memasang tenda-tenda di kiri kanan jalan. Suatu pemandangan  yang sama sekali lain dari tahun-tahun sebelumnya.

Di sepanjang jalan kami bertemu dengan banyak kendaraan membawa para pengungsi. Kami sebagai relawan sedang mengalami ujian yang berat. Mobil kami terus melaju menuju Betun. Kami sudah mendekati suatu wilayah yang juga banyak pengungsinya. Kira-kira lagi satu kilometer kami akan memasuki wilayah Malaka Timur.

Sebuah insiden terjadi. "Prak...." terjadi tabrakan antara mobil kami dengan sebuah kijang panther yang sedang melaju dari arah Betun. Tabrakan tidak bisa dihindari. Mobil hardtop yang kami tumpangi tinggal sedikit saja masuk ke rumah warga. Sedang mobil yang dari depan langsung taduduk (bahasa Kupang). 

"Prang....", terdengar bunyi tembakan. 

"Abiskan mereka", teriak seseorang yang berseragam Brimob, berambut panjang dan mengendarai sepeda motor trail kuning. Saya mendengar sendiri teriakan itu. Kami ketakutan! Saya bergegas turun dari mobil. Untunglah. Ternyata pemilik mobil kijang adalah seorang perwira polisi. Kami tidak diapa-apakan, driver kami dinasehati lalu kami diizinkan untuk melanjutkan perjalanan ke Betun. O Tuhan, terimakasih atas perlindungan-Mu bagi kami. Kalau tidak kami sudah jadi abu!

Menjadi relawan kemanusiaan itu tidak gampang. Dibutuhkan kerelaan untuk berkorban, rela untuk tidak mendapatkan upah, atau upah bukanlah hal yang utama. Bersiap-siaplah selalu untuk mendapat teror bila perlu.   Apalagi menjadi relawan dalam urusan korban politik seperti ini.

Atambua, 03.02.2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun