Mungkin dari semua kurikulum pendidikan yang paling mengalami nasib kurang baik adalah kurikulum 2013 atau yang biasa dikenal dengan K-13. Menteri Anies Baswedan baru saja  mencanangkan K-13 lalu beliau dilengserkan, nasib K-13 tak menentu. Sementara nasibnya masih luntang lantung, tiba-tiba terdengar berita akan diganti lagi dengan yang baru.Â
Aduhhh... nasib pendidikan kita. Gonta ganti kurikulum ibarat gonta ganti pasangan. Baru saja melamar dan menikahi gadis desa, tiba-tiba ekor mata menaksir lagi gadis blasteran. Ya itu suka-sukanya para bapak!
Kasihan nasib guru-guru yang baru saja menyelesaikan sosialisasi kurikulum K-13 dan belum menerapkannya dengan tuntas, mereka harus menghadapi lagi sosialisasi kurikulum yang baru. Kalau guru saja sudah pusing, apalagi siswanya?Â
Bayangkan saja seorang siswa SD. Ketika di kelas 1-3 Â guru mengajarnya dengan menggunakan kurikulum KTSP. Begitu naik kelas 4 dan 5 kepadanya diperkenalkan K-13. Sekarang ketika di kelas 5 dan hendak naik kelas 6, ia akan berhadapan lagi dengan kurikulum yang baru namanya Kurikulum Prototipe. Apalagi kurikulum baru dengan segala kebaruannya.
Apa itu Kurikulum Prototipe?
Melalui google saya mencari kata "prototype atau prototipe". Mister google menjawab saya, Prototipe adalah sebuah metode dalam pengembangan produk dengan cara membuat rancangan, sampel, atau model dengan tujuan pengujian konsep atau proses kerja dari produk.
Ya, sekedar komentar saja karena kurikulum ini masih di awan-awan jadi sebagai insan pendidikan kita patut bertanya-tanya. Katanya, prototipe sendiri bukanlah produk final yang nantinya akan diedarkan. Tetapi prototipe dibuat untuk kebutuhan awal (development software) dan untuk mengetahui apakah fitur dan fungsi dalam program berjalan sesuai dengan kebutuhan yang telah direncanakan. Sehingga pengembang produk dapat mengetahui kekurangan dan kesalahan lebih awal sebelum mengimplementasikan fitur lain ke dalam produk dan merilis produk.
Sebagai insan pendidikan saya menyambut gembira setiap kemajuan dalam dunia pendidikan, termasuk kurikulum yang baru. Namun sudah pasti disertai dengan berbagai keluhan dan tanggapan.
Menarik bahwa Kompasiana mengangkat tema ini menjadi topik pilihan untuk didiskusikan.  Kurikulum Prototype mengisyaratkan kebebasan bagi siswa untuk memilih sendiri kelas sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Tetapi yang menjadi persoalan bagi saya adalah bahwa kita baru saja  atau bahkan belum bebas dari pandemi covid-19. Di mana selama hampir 2 tahun ini, semua siswa BDR alias belajar dari rumah. Dapat dibayangkan siswa di kampung yang jauh dari kemajuan internet dan android. Guru harus berjibaku di antara lumpur dan banjir mencari siswanya untuk belajar.
Dapatkah dibayangkan para siswa ini mampu memilih sendiri kelas yang ia sukai? Nonsense. Bapak Menteri  yang terhormat, jangan samelihat saja Indonesia dari kemajuan yang ada di kota-kota di Jawa. Tetapi lihatlah juga kampung-kampung di luar Jawa yang masih berjibaku dengan banjir dan lumpur karena bencana alam, belum lagi belum menikmati kemajuan seperti yang dibayangkan.
Bagi saya kurikulum ini bagus. Ini tanda kemajuan. Karena mau atau tidak mau kita harus maju ke depan bukan mundur ke belakang. Tapi pertama, janganlah memandang atau menyamakan anak (manusia) dengan produk. Produk yang diujicobakan. Tetapi anak (manusia) janganlah diujicobakan. Kedua, kalau siswa kelas 11 dan 12 memilih sendiri dan meramu sendiri kombinasi mata pelajaran yang sesuai dengan minatnya, itu suatu kemajuan. Tetapi itu sangat idealis. Saat ini semua mata pelajaran diwajibkan saja, guru yang setengah mati, apalagi kalau siswa meramu sendiri. Ketiga, jangan sampai ada lagi kekisruan dalam dunia pendidikan: ganti menteri ganti kurikulum. Karena kalau tidak ganti kurikulum, itu berarti belum ganti menteri. Ini soal nama akan tercatat dalam sejarah!Â