Selain dampaknya yang sangat luar biasa terhadap berbagai sektor kehidupan manusia karena terjadinya pembatasan-pembatasan, pandemi covid-19 untuk sementara orang justru menjadi berkat tersendiri. Â
Bagi banyak orang, PPKM atau apa pun istilahnya yang menyebabkan ruang gerak manusia dibatasi untuk bepergian jauh, justru menjadi kesempatan lahirnya ide-ide dan gagasan-gagasan baru yang mungkin belum pernah terpikirkan selama belum adanya pandemi covid-19. Itulah segi positif yang dapat kita ambil hikmahnya bagi kehidupan.
Salah satu dari sekian banyaknya ide brilian yang saya rasakan sejak awal pandemi hingga kini adalah munculnya kreativitas dan inovasi baru dalam kehidupan keluarga-keluarga.Â
Bila dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu sebelum covid, tidak banyak rumah tangga memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam tanaman sayur-sayuran, bunga ataupun obat-obatan.Â
Terbatasnya lahan tanam tidak menjadi soal karena saat ini banyak orang mulai menanam pada media tanam berupa polibag, karung bekas, sak semen dan berbagai media bekas lainnya yang masih bisa dimanfaatkan.
Adanya banyak waktu di rumah menyebabkan orang mulai memanfaatkan berbagai hal termasuk aneka limbah yang bisa diolah dan dijadikan pupuk. Hal tersebut tentu saja sangat sesuai dengan anjuran Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si agar manusia mengurangi penggunaan plastik yang dapat mencemari tanah, penggunaan pestisida dan pupuk kimia, supaya semakin menjadikan bumi ini rumah kita bersama yang semakin layak untuk dihuni (LS.Â
Menurut Pastor Vincentius Wun SVD (70 thn), seorang pegiat Lingkungan Hidup yang sangat gethol menggunakan pupuk organik, salah satu limbah yang selama ini belum dimanfaatkan dengan lebih efektif adalah limbah dapur.Â
Pada hal menurutnya, limbah dapur sangat baik untuk pupuk.Â
Beliau menguraikan beberapa limbah dapur yang bisa dijadikan pupuk atau bahan dasar untuk pembuatan pupuk organik, misalnya nasi basi bisa difermentasi selama tiga hari dan menjadi pupuk yang bagus untuk tanaman sayur-sayuran atau bunga dan lain-lain.Â
Kulit bawang merah yang biasa terbuang-buang di rumah, bisa dikumpulkan dan dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman.Â
Selain itu, air cucian beras (ACB) bisa menjadi pupuk untuk aglonema dan tanaman hias lainnya, tetapi bisa juga sebagai bahan dasar untuk pembuatan MOL (mikro organisme lokal).
Pelaksana Harian Kantor Pusat Pastoral Keuskupan Atambua itu, selama masa pandemi  bersama para stafnya telah menghasilkan tiga macam pupuk organik yakni Kompos (2 ton); Bokhasi (150 kg) dan Mol Bonggol Pisang (50 liter).
Berikut saya secara khusus akan melaporkan bagaimana praktek membuat Mol Bonggol Pisang dengan memanfaatkan air cucian beras dan buah yang rusak/busuk dari limbah dapur.
Untuk memproduksi Mol Bonggol Pisang.
Kita membutuhkan bahan-bahan dasar :
1.  Bonggol Pisang yang sudah tua  10 kg.
2.  Air cucian beras 20 liter
3. Gula aren/Gula cair  2000 ml
4. Buah yang sudah rusak/busuk (pisang) sebagai perangsang awal
Cara membuat:
Bonggol pisang dihaluskan atau ditumbuk  kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam wadah yang telah disiapkan. Gula cair atau gula aren ditimbang dan dimasukkan ke dalam wadah bersama bonggol pisang.Â
Selanjutnya memasukkan air cucian beras dan buah pisang yang sudah rusak atau busuk. Setelah itu semua bahan diaduk atau dicampurkan sampai merata, lalu wadah ditutup dengan rapat selama 15 hari.
Cara Penggunaan:
Setelah 15 hari wadah dibuka untuk memastikan mol bonggol pisang dengan menggunakan limbah dapur berupa air cucian beras dan buah pisang yang busuk atau rusak itu siap digunakan sebagai pupuk organik yang dapat menyuburkan tanaman.Â
Cara penggunaannya: 1 : 10 Â artinya 1 liter mol dicampurkan ke dalam 10 liter air dan disiramkan atau disemprotkan di media tanam atau sekeliling tanaman. Bisa diberikan seminggu sekali! ***
Atambua, 27 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H