Suatu pemandangan yang lazim di pulau Timor pada umumnya, dan Kabupaten Belu khususnya pada musim kemarau. Sumur-sumur mulai kering. Mobil tangki laku menawarkan air dari sudut-sudut jalan. Namun tidak semua penduduk bisa membeli air dari tangki-tangki itu. Harga pun mulai naik. Kalau sebelumnya Rp 80.000 per-tangki dengan volume 6000 liter, kini menjadi Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Keluarga-keluarga mengeluh. Siapa bisa membantu?
Ada sebuah kampung kecil di pinggiran Kota Atambua. Kota Atambua dulu dibaptis dengan nama "Kota Beriman" alias  "Bersih, Indah dan Nyaman" oleh Bupati Ignatius Sumantri pada era 1990-an. Kampung kecil di dekat Hutan Jati yang selalu disebut-sebut sebagai paru-parunya Kabupaten Belu karena selalu mendatangkan hujan itu mulai kering. Kampung kecil itu bernama "Batu Merah". Ya, sesuai namanya. Konon kampung ini dihuni oleh mereka yang biasa mencetak dan membakar batu merah. batu merah biasanya dipakai untuk bahan bangunan.
Kampung kecil Batu Merah terletak di batas kota Atambua dengan tugu "Selamat Datang di Kota Perbatasan" itu penduduknya sangat familiar. Boleh dibilang kampung PBB karena berasal dari berbagai suku dan bahasa. Namun, mereka sangat menjunjung tinggi budaya gotong royong. Saling membantu dan menolong di antara warganya masih sangat kental. Hal itu terlihat ketika ada warga yang mempunyai hajatan, seperti pesta kawin, kematian atau kumpul keluarga lainnya. Mereka selalu bersama-sama. Suatu kampung 'tanpa judi' di Kabupaten Belu.
Jika tiba musim kemarau, mereka kekurangan air. Tidak semua warganya bisa membeli air tangki. Karena rata-rata penduduk berprofesi petani atau tukang kayu dan batu. Umumnya mereka bekerja sebagai karyawan swasta pada sebuah perbengkelan milik 'gereja'. Pendapatan sangat kecil. Karena itu setiap pagi dan sore, ibu-ibu dan anak-anak kampung, turun ke kali.Â
Jarak dari rumah ke kali sekitar 1 kilometer. Jalannya bebatuan dan terjal. Mereka harus mendorong gerobak. Mengisinya dengan beberapa jerigen bekas minyak goreng yang dipakai untuk mengisi air untuk masak dan minum.
Sebuah pemandangan yang miris. Namun bagaimana bisa membantu mereka. Sepuluh tahun lalu pernah dibantu dengan pengeboran sumur oleh P2AT Propinsi Nusa Tenggara Timur. Namun kini mesin pemompa air sudah rusak.Â
Panitia air minum kampung sudah berusaha, namun tidak mendapatkan hasil. Mereka berusaha mengumpulkan uang setiap bulan, hanya cukup untuk membiayai operator dan membeli solar. Selanjutnya tidak mampu memperbaiki mesin yang rusak.
Sudah beberapa kali mereka berjuang melalui Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Belu, melalui aparat yang ada untuk meminta bantuan sekedar untuk perbaikan mesin supaya air bisa mengalir lagi. Namun sudah hampir tiga tahun terakhir belum bisa teratasi. Kemarin pada waktu Pilkada mereka menang. Sudah ada janji. Mudah-mudahan itu pertanda baik!
Pada musim kemarau seperti sekarang ini, hujan tak pernah turun. Tanah kering kerontang. Daun-daun berguguran. Sumber-sumber air kekeringan. "Biar pun demikian, hati kami tak pernah kering", kata hati ibu-ibu kampung dan anak-anak yang terus mendorong gerobak air yang mereka timba dari kali yaitu dari kedalaman hati Tuhan Sang Pencipta yang tidak pernah membiarkan mereka mati kekeringan!
Meski panas terik dan kerongkongan kering, ibu-ibu dan anak-anak kampung tidak pernah berhenti mendorong gerobak, demi air dan kehidupan mereka. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H