Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Dosen - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengampunan Tanpa Batas

18 Agustus 2021   12:40 Diperbarui: 18 Agustus 2021   12:39 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengampunan ada hubungannya dengan pengalaman masa lalu. Kemarin pasti ada sesuatu yang membekas di dalam hati. Terutama pengalaman yang kurang menyenangkan, dalam bentuk kata maupun tingkah laku atau perbuatan. 

Seringkali hal-hal itu entah disadari atau pun tidak disadari terbawa terus tanpa diakhiri dengan penyesalan dan permintaan maaf. Kalau hal ini tidak cepat ditangani maka akan menyebabkan luka batin. 

Karena itu, Sang Guru Yesus Kristus yang diimani oleh umat kristiani sebagai Tuhan dan Juruselamat itu mengajarkan bahwa  pengampunan itu harus tanpa batas. 

Ketika Petrus, salah seorang murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang sampai berapa kali kita harus mengampuni sesama saudara yang bersalah kepada kita. "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" (Mat 18:21).

Sang Guru mengatakan, "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali"  (Mat 18:22).

Mengapa bukan tujuh kali saja? 

Banyak guru mengajarkan bahwa kalau ada orang yang bersalah kepada kita. Kita hendaknya mengampuni dia, tetapi jumlahnya berapa kali, tidak disebutkan. 

Bahkan dalam tradisi orang Timor selalu disebutkan tiga kali. Ada lagu yang mengatakan, "satu kali masih baik, dua kali su mulai, tiga kali katong dua bakalai". Ini sering diartikan bahwa tingkat kesabaran seseorang ada batasnya. Kalau sudah sampai tiga kali bakal tidak baik.

Pembaca mungkin masih ingat ketika pada tanggal 13 Mei 1981, seorang pembunuh bayaran berkebangsaan Turki bernama Mehmet Ali Agca melakukan pencobaan pembunuhan terhadap  Paus Yohanes Paulus II (kini Santo Yohanes Paulus II) di Lapangan Santo Petrus, Vatikan. Ia menembak dan melukai Paus yang populer itu. 

Setelah Paus yang bernama asli Karol Wajtyla itu sembuh dari sakit akibat tembakan itu, beliau malah pergi mengunjungi sang penembaknya di penjara, berdoa dan mengampuninya. Ini sebuah contoh pengampunan tanpa batas.

Masih banyak lagi contoh-contoh pengampunan tanpa batas yang dilakukan banyak tokoh yang bertujuan untuk menggugah nurani kita untuk ikut memberikan pengampunan di mana perlu. 

Bahkan bila kita bandingkan kesalahan yang dibuat oleh saudara kita dengan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan mungkin tidak sebanding. Tetapi kita tetap bersikeras hati tidak mau mengampuni dengan dasar harga diri, gengsi dan lain-lain.

Saat ini dunia kita dilanda pandemi covid-19. Banyak hal terjadi, termasuk kesalahan-kesalahan yang mungkin saja dilakukan oleh saudara-saudara kita, termasuk pimpinan kita mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati hingga RT-RW. Kita cenderung melakukan demonstrasi, melakukan aksi protes, dan lain-lain. 

Kita cenderung untuk menuding orang lain bersalah, dan kita membebaskan diri kita, seolah-olah kita bersih. Kita bahkan berpikir naif bahwa seandainya kita yang menjadi pemimpin negara ini atau propinsi ini atau kabupaten ini, kita pasti lebih baik. 

Kita tidak pernah membayangkan diri kita ikut bersalah karena menuding orang lain.

Kita menunjukkan satu jari kepada orang lain, tetapi empat jari yang lain sedang menunjuk diri kita sendiri.

Ya, mari kita belajar untuk mengampuni. Atau lebih baik lagi sebelum kita menjatuhkan vonis bersalah kepada orang lain, terlebih dahulu kita menimbang dengan hati nurani untuk mengampuni terlebih dahulu.

Karena itu kalau engkau tidak mau supaya orang lain membuat kesalahan padamu, maka lebih baik jangan melakukan itu pada orang lain. Konsekuensinya, kalau sudah terjadi kesalahan maka harus saling mengampuni. Bukan hanya dari satu pihak, tetapi dari keduabelah pihak. 

Seperti bunyi kaidah emas atau kaidah kencana (Golden rule): "Jangan lakukan pada orang lain, sesuatu yang kau tidak ingin orang lain melakukannya pada dirimu". ****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun