Iseng-iseng, setelah seharian beraktivitas, aku buka facebook dan memperhatikan satu per satu status yang di-posting oleh teman-teman. Kalau bagus, aku kasih jempol dan sedikit komentar, kalau tidak, ya hanya dibaca sambil berlalu saja. Ada yang menulis status yang menandakan ia lagi gembira, BT (Boring Total), sebal (karena besok sudah harus bertemu Senin lagi), dan galau serta beragam keluh kesah lainnya. Sumber gambar: http://pengertian-definisi.blogspot.com/2011/03/apa-itu-tsunami.html Lalu aku membaca status yang dibuat Nyu nyun: "Seorg wtwn disimeleu bercerita pdku,kalo serombongan wtwn jkt & medan sampai di simeleu,mereka kecewa tak ada korban & tak ada yg roboh. Berita bagus itu tak selamanya " a bad news is good news". Coba mereka membayangkan seandainya keluarga mereka yg mati, rumah mereka yg roboh?? Biadab..mbok ya mulailah membuat brita mitigasi,jangan hanya bisanya menjual airmata!!!"
Begitu ungkapan rasa kecewa bercampur emosi yang dibuat Nyu nyun di facebooknya. Sebagai seorang yang sempat berkecimpung di dunia pers, aku juga pernah diberi ilmu dalam teori dasar jurnalistik, bahwa di kalangan insan pers dikenal istilah "a bad news is good news". Bagi pers, kejadian yang buruk itulah berita yang bagus. Anjing menggigit manusia itu sudah biasa, tapi kalau manusia menggigit anjing itu baru luar biasa. Itu baru berita yang bagus. Apalagi kalau yang menggigit adalah seorang "public figure" layaknya pejabat dan artis ngetop. Tak heran mengapa di berbagai media banyak bermunculan berita mengenai kerusuhan, kasus korupsi, kriminalitas, bencana dan tragedi yang menimpa manusia, karena berita seperti itu membuat banyak orang tertarik. Orang lain menangis, malu, dan bahkan perih menahan derita, kita liput, lalu dipublikasikan melalui media tempat kita berkarya, dan dibaca, didengar, atau ditonton oleh ribuan hingga jutaan manusia, sehingga mereka tahu apa yang sedang terjadi dengan saudara di ujung sana. Sehingga mereka tahu, apa yang diperbuat oleh pejabat Fulan di balik kesuksesannya mencitrakan diri.
Itulah dunia pers, "a bad news" ibarat sebongkah harta qarun yang sangat bernilai, mendongkrak rating, dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Jika wartawan mendapat harta qarun tersebut, lalu dikemas dan diolah secara apik, maka bukan tak mungkin apresiasi hingga percepatan karier akan menghampirinya. Jika biasanya jadi wartawan peliput (reporter), maka mungkin saja diangkat jadi korlip. Ia jadi terkenal dan dikenal luas oleh publik melalui karya jurnalistiknya.
Dan Nyu nyun, apa yang disampaikannya aku setuju. Seperti aku, kontributor radio swasta siaran nasional Indonesia itu tentunya juga memiliki rasa-merasa bagaimana kalau hal seperti itu terjadi pada diri kita sendiri, atau orang-orang terdekat kita yang sangat kita sayangi. Bukankah kita harusnya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha kuasa karena tidak ada korban jiwa dan kerusakan parah akibat gempa rabu sore lalu? Bukankah hidup itu lebih berarti dibandingkan uang dan nama besar?
Dulu, ketika mengikuti pelantikan anggota pers, aku pernah ditanya: Saat Anda sedang berada di sekitar sungai yang sepi dan jauh dari pemukiman penduduk, lalu tiba-tiba terdengar suara orang berteriak minta pertolongan, dan ternyata seorang manusia yang hanyut dan hampir tenggelam di tengah sungai, apakah tindakan yang akan Anda ambil? Sebagai seorang wartawan, tentunya ini berita yang menarik. Apakah aku akan tetap membidikkan lensa di saat orang lain akan kehilangan nyawa atau menyelamatkannya dan tinggalkan embel-embel profesi. Lantas bagaimana caranya aku menyelamatkan orang itu bila aku sendiri tidak bisa berenang, sementara tak ada siapa-siapa di sekitar sungai selain aku dan manusia yang sedang meregang nyawa tersebut. Itulah dilema seorang wartawan. Sering bertengkar dengan nurani.
Beberapa hari yang lalu aku juga pernah membaca di status facebook salah seorang rekan pers dahulu. "Jika SBY datang ke suatu kota untuk meresmikan pembangunan suatu gedung dan di seberang jalan tempat peresmian itu ratusan KK bakal kehilangan tempat tinggal karena digusur, mana yang akan Anda liput? Dua-duanya sama-sama bisa jadi good news. Lalu ada yang berkomentar: "Liput penggusuran, kan kalau SBY yang datang sudah di-handle sama rekan-rekan wartawan dari Jakarta", lalu yang lain ikut beri opini: "Liput SBY datang dong, sambil menanyakan bagaimana nasib penduduk yang akan digusur tersebut".
Memang benar, dengan merekam kisah pilu yang dialami orang lain dan bahkan diolah dengan gaya bahasa feature kita bisa menggugah perasaan jutaan umat manusia. Kita secara tak langsung membuka pintu hati mereka untuk membantu dan mengasihi sesama. Melalui karya jurnalistik, mereka tersentak, bahwa di ujung sana ternyata ada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan mereka. Publik membaca, dan memberikan bantuan hingga penderitaan yang dialami orang lain sedikit berkurang bahkan nyawa sesama bisa diselamatkan. Dan ini merupakan tugas yang mulia. Namun, bukankah hidup lebih terasa lebih indah jika tak ada yang harus menderita dan kehilangan nyawa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Catatan Selengkapnya