Suchetgarh Border (Sumber foto : Pribadi)
Terkadang kekecewaan malah mengantarkan kita kepada sebuah kebahagiaan yang tak terkira tanpa diduga-duga, ia bisa hadir bagaikan seorang pencuri di malam hari. Masih tentang kisah saya kala berkelana di negeri Bollywood. Kala itu bulan September (2015), cuaca di India bagian utara yang sebagian besar berada di dalam komplek pegunungan Himalaya sangat sulit sekali untuk diprediksi kala peralihan dari musim gugur ke musim dingin ini. Hari itu saya baru saja bertolak dari Spiti Valley ke Keylong untuk sekedar transit dan mengambil bus yang akan membawa saya ke Ladakh, sebuah dataran tinggi di India yang berbatasan langsung dengan Tibet.
Cuaca hari itu sangat muram, kabut-kabut tebal sudah mulai menyelimuti puncak-puncak gunung yang berada di kawasan ini, beberapa bahkan sudah bersalju. Kemuraman tak hanya pada cuaca saja ‘ia’ pun menular kepada suasana hati saya. Sungguh kala itu saya dihadapkan pada sebuah kondisi yang sangat sulit untuk mengambil sebuah keputusan, pasalnya bus yang seharusnya membawa saya dari Keylong ke Ladakh telah berhenti beroperasi sejak 5 hari sebelum kedatangan saya disini, ini dikarenakan highway yang menghubungkan kedua tempat ini sudah tertimbun salju dan sangat rawan longsor apabila dilewati oleh kendaran berbobot besar. Satu-satunya opsi untuk bisa menuju Ladakh adalah dengan menyewa jeep, yang tentu saja harganya sangat tidak terjangkau bagi backpacker berkantong tipis seperti saya. Hal ini bukan merupakan pilihan untuk saya. Singkat cerita saya memutar arah perjalanan menjadi ke Jammu via Manali untuk kemudian bertolak ke Srinagar atau lebih di kenal dengan Kashmir yang seharusnya saya kunjungi setelah dan dari Ladakh.
Tak pernah ada di pikiran apalagi tertuliskan di catatan rencana perjalanan untuk mengunjungi Jammu pada saat kunjungan saya ke India kala itu. Perasaan kesal masih menyelimuti hati kala saya tiba di kota dengan julukan “City of Temple” ini, sampai-sampai ransel berat yang saya panggul terasa semakin berat pagi itu. Kekesalan bertambah ketika jaringan selular yang saya pakai tidak berlaku di distrik Jammu & Kashmir, dan semakin memuncak ketika hampir semua penginapan di sana tidak bisa mengakomodir tamu dari negara asing. Singkat cerita saya mendapatkan penginapan setelah berdebat panjang dengan resepsionis penginapan yang saya inapi. Rasanya kali itu saya telah mencapai puncak kejenuhan dari perjalanan yang sudah nyaris 2 bulan saya sambagi ini. Saat itu yang saya pikirkan adalah sesegera mungkin menyelesaikan perjalanan saya di India secepatnya dan segera berpindah ke negara tetangganya (Nepal) untuk mengganti suasana dan membangkitkan gairah traveling saya kembali.
Namun semua kekesalan itu sirna dan berubah menjadi haru ketika saya melangkah keluar dari penginapan dan berjalan masuk menelusuri gang-gang yang saya temui secara acak. Mungkin Kota inilah klimaks dari perjalanan saya selama di India. Saya dibuat terkesan oleh kearifan lokal serta keramah tamahan dari orang-orang yang saya temui di kota yang berbatasan langsung dengan Pakistan ini. Banyak orang yang datang ke India selalu berbicara mengenai kasus penipuan dan kejahatan yang dilancarkan oleh para pengemudi Auto-Rickshaw (bajaj/tuk-tuk), namun di kota inilah saya menemukan sekumpulan pengemudi Auto-Rickshaw yang baik hati yang dengan ketulusannya menraktir saya minum teh dan berkumpul bersama kawan-kawannya. Disini juga saya bertemu dengan seorang pemuda yang tanpa pamrih membantu dan mengantarkan saya ke objek wisata dengan sepeda motor kepunyaannya. Saya pun sempat diundang makan siang kerumah penduduk lokal untuk menunaikan makan siang bersama keluarganya, dan disini saya diperlakukan bag seorang tamu terhormat walau penampilan saya kala itu sangatlah lusuh. Ini semua membekas dalam di lubuk hati, dan saya akan selalu mengingat segala “kehangatan” yang terpancar dari kota ini. Semua kekesalan dibuat sirna di kota ini.
Sudah saya singgung sebelumnya bahwa kota ini berbatasan langsung dengan Pakistan. Saat awal mendengarnya dari warga lokal, saya langsung berniat untuk melanjutkan perjalanan ke negeri yang berada di sebelah barat India ini, namun ternyata tak mudah untuk bisa melangkahkan kaki ke negeri dengan ibukota Islamabad itu. Rasa penasaran saya terhadap Pakistan tetap besar sehingga membuat saya mencari akal entah bagaimana caranya agar saya bisa melihat negeri itu, ya hanya melihat. Setelah mendapatkan berbagai informasi akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Suchetgarh border, hanya sekedar untuk mengintip Pakistan dari celah-celah gerbang yang memisahkannya dengan India. Jaraknya sekitar 20 Km dari penginapanku, untuk menempuhnya saya harus berganti bis dua kali ditambah dengan bergelantungan di “buntut” Auto-Rickshaw yang telah dimodifikasi sekian rupa sampai akhirnya bisa menampung 12 orang.
Sepanjang perjalanan menuju border saya melihat banyak orang-orang dengan serbuk cat berwarna ungu di wajah dan sekujur tubuhnya berjalan kaki sambil menggendong patung dewa dan bernari-nari dari jendela bus yang saya tumpangi. Saya penasaran ingin tahu dan melihat kegiatan apa yan mereka lakukan itu, namun apadaya, bus yang saya tumpangi melaju kencang dan enggan untuk berhenti. Saya mencoba menghilangkan rasa penasaran tersebut dengan memikirkan bagaimana pemandangan di border nanti. Setelah kira-kira 30 menit akhirnya saya tiba di Suchetgarh. Namun saat itu saya masih belum bisa melihat Pakistan dari titik kedatanganku, yang saya lihat adalah sebuah tembok besar dengan lukisan bendera India di mukanya. Di depannya, tepatnya di sisi gerbang masuk banyak berjejer tentara-tentara dengan persenjataan penuh.
Untuk masuk kedalam border saya harus melaporkan diri dan menitipkan paspor kepada tentara yang bertugas di bagian penerimaan tamu sebagai jaminan. Sambil menunggu pengecekan dokumen, saya duduk di sisi gerbang masuk tadi sambil berbincang dengan warga lokal yang berada di sana. Tiba-tiba perhatianku teralih kepada keramaian yang ada di depan gerbnag masuk border ini, saat itu saya melihat para tentara berjalan keluar dari gerbang dengan pakaian penuh dengan serbuk berwarna ungu, sama persis seperti dengan yang saya lihat pada orang-orang lokal selama di perjalanan tadi.
Aku tambah penasaran, sebenarnya ada apa ini? Namun rasa penasaran itu harus sedikit ditunda dan akupun harus menahan 'gatal' ditangan untuk memotret momen ini. Mengingat dari pengalaman sebelumnnya bahwa memotret petugas negara adalah dilarang di negeri ini. Saya tak bisa asal menghampiri dan memotret mereka, apalagi di tempat ini yang penuh dengan penjagaan ketat. Namun tanpa disangka seorang tentara menghampiriku, dia memberi saya sekotak minumah kemasan dan sepiring Gulabjamun (manisan) kepadaku. Kemudian yang lainnya datang lalu membubuhkan serbuk ungu itu ke kening saya. Tak lama saya telah dikerubungi oleh para tentara yang 'berwarna ungu' ini, dan kembali tak disangka bahwa banyak dari mereka yang mengajak berfoto bersamaku.