Mohon tunggu...
Yosea Permana
Yosea Permana Mohon Tunggu... Seniman - pegawai swasta

Gemar melukis, menggambar dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Balada Tiket Kereta dan Serunya Menonton Film Bollywood di Negara Asalnya #IndiaTravelJournal Part 8

9 Desember 2015   23:25 Diperbarui: 29 Maret 2016   22:56 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari rasanya sudah berada tepat di busur 90, cuaca setempat sangatlah nyaman, jauh dari kata panas apalagi terik yang menggigit. Beda dengan hari sebelumnya, angin sepoi-sepoi sisa gerimis tadi pagi masih membawa kesejukan sampai-sampai berjalan kaki di siang bolong seperti ini sama sekali jauh dari kata menyiksa dan melelahkan. Perutku yang kosong mulai keroncongan siang itu, cukup sulit menemukan makanan di kawasan Esplanade ini bahwasannya kawasan ini bersih dari pedagang kaki lima, dan pertokoan pun tutup hari itu. Aku terus berjalan tanpa penunjuk arah, hanya mengadu peruntungan berharap menemukan sebuah kedai makanan yang buka, sigkat cerita akhirnya aku menemukan sebuah toko roti dan the setelah 15 menit berjalan.

Tak jauh dari tempat aku membeli roti dan teh aku melihat sebuah kerumunan manusia di depan sebuah gedung yang lusuh. Aku penasaran dan sangat tertarik untuk mengetahui hal apa yang sedang terjdi di depan gedung tersebut, namun aku belum berani menghampirinya karena khawatir akan potensi huru-hara.aku terus mengamati tiap-tiap orang yang berkerumun tersebut, rata-rata mereka berpakaia sangat rapi, ekspresi mereka pun menggambarkan kebahagiaan dan sangat jauh dari wajah tegang,dan terakhir aku melihat sebuah antrian. Melihatnya aku menjadi semakin ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi disana,aku pun mengamati situasi sekitar dan menemukanternyata banyak poster besar di dinding dan di atapmuka gedung. Poster tersebut bukanlah poster propaganda melainkan poster film India yang barusaja rilis dua hari yang lalu (14 Agustus 2015), “Brothers”. Aku terlalu terfokus terhadap kumpula manusia sampai-sampai lengah bahwa gedung tersebut adalah sebuah sinema atau bioskop, dan antrian tersebut adalah barisan orang-orang yang sedang antre membeli tiket, walau sebenarnya masih jauh dari kata layak untuk disebut sebagai antrian karena tidak jelas mana yang di depan dan mana yang dibelakang dan mana yang akan dilayani terlebih dahulu oleh sipetugas loket.

Jujur kala itu aku lupa pernah bercita-cita untuk menyaksikan film India secara langsung di sinema. Sebelum aku datang ke negeri ini aku sempat berpikir dan penasaran, apa rasanya menonton film bolywood di negara asalnya? Walau sebenarnya aku bukan penggemar film-film bolywood namun rasanya ini akan menjadi hal yang menarik untuk mewarnai perjalananku di India. Hanya beberapa film saja yang aku suka, itupun film India moderen yang sudah dikemas dengan rasa holywood dan sineas-sienas eropa seperti Three Idiots, Barfi!, Bagh Milka Bagh, Like Star On Earth dan yang terakhir PK. Rasa penasaran itu membuatku berancang-ancang untuk bisa mengenapkannya kelak. Segala hal baru dan keunikan yang ditawarkan di Kolkata terlalu membiusku untuk lebih menikmati seluk beluk kota ini sampai-sampai aku lupa dengan daftar rencana apa saja yang ingin aku lakukan selama India, salah satunya adalah menonton bioskop. Pertemuan tanpa sengaja antara aku dan bioskop ini akhirnya membuat aku mengukir kisah baru dengan Kolkata.

Akhirnya aku jalan ke seberang menuju ke sinema tersebut, aku bergabung kedalam kerumunan manusia tersebut mencoba-coba mencari tahu perihal jadwal dan film apa saja yang sedang tayang kala itu. Cukup unik bahwasannya loket penjualan tiket di Bioskop bernama Paradise ini berada di luar gedung, bukan di dalam layaknya sinema-sinema di Indonesia. Di kaca loket tersebut aku melihat kertas pengumuman bahwa hari itu hanya ada satu film yang diputar yakni Brothers dan jam tayang terdekat adalah pada pukul 15.00 waktu setempat.

Baiklah, pada artikel ini aku tidak akan bercerita dan berkomentar mengenai film yang aku tonton kala itu. Jujur apabila kala itu tujuanku masuk ke sinema ini untuk benar-benar menonton film, aku melakukan sebuah kesalahan besar, pasalnya film yang diputar adalah film India yang berbahasa India dan tidak dilengkapi dengan subtitle berbahasa Inggris maupun lainnya. Menonton film ini aku hanya melihat gambarnya saja, aku tidak bisa menangkap apalagi mengerti setiap perkataan dan percakapan yang di film ini. Disini aku ingin berbagi cerita mengenai kondisi serta suasana di dalam bioskop selama film berlangsung yang malahan menjadi pertunujukan utama bagiku.

Harga tiket di Sinema Paradise ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu kelas balkoni yang paling mahal yakni 130 rupe berlokasi di lantai atas dan berada di barisan paling depan, kelas lainnya dengan hargan 80 rupe masih berlokasi di lantai atas namun berada di barisan belakang dan yang terakhir adalah kelas reguler dengan harga tiket 50 rupe, kelas ini berokasi di lantai dasar. Untuk kelas regular sendiri bentuk kursinya agak berbeda dan tidak senyaman dua kelas yang lainya, posisi kursi pun tidak berundak sehingga sangat memungkinkan para penonton yang duduk di barisan belakang akan terhalangi pemandangannya oleh penonton yang berada di barisan depannya. Memang tak bisa dipungkiri bahwa peribahasa yang berbunyi ada uang ada rupa adalah sebuah kebenaran.

Aku memutuskan untuk membeli kelas balkoni, dan akupun ikut mengantri. Kondisi antrian disini tidak ada bedanya dengan antrian yang aku dapati kemarin malam di Howrah Station. Lima menit mengantri aku tak kunjung bergerak dari posisi semula. Awalnya aku mengira bahwa pelayanan dari petugas loket ini sangat lamban, namun ternyata mereka bergerak cepat dan tengah sibuk melayani orang yang menyusup dari kanan dan kiri tanpa berdiri di antrian. Melihat hal itu aku cukup kesal dan membuatku sedikit terpancing untuk ikut melakukannya, benar saja pancingan tersebut menyangkut kepadaku, aku ikut melakukan penerobosan antrian tersebut. Anehnya tak ada satupun yang menegur dan keberatan atas kelakuanku ini, rasa-rasanya mereka sudah kebal dengan hal serobot dan menyerobot. Ya akhirnya aku mendapatkan tiket tersebut dan langsung masuk ke dalam gedung sinema.

Masuk ke gedung ini cukup membuatku sedikit tercengang, ekspektasi awalku atas gedung sinema ini adalah gedung tua lusuh dan berbau pengap layaknya bioskop-bioskop tua yang ada di kota-kota kecil di Indonesia. Namun ternyata gedung yang aku masuki adalah sebuah bioskop moderen yang bersih, harum dan sejuk. Walau ada sedikit hal yang menggelitik pandanganku yang malah menilai tempat ini lebih terlihat seperti pub daripada bioskop karena lampu warna-warni yang menghiasi pintu masuk auditorium. Hal ini sungguh bertolak belakang dengan penampilan loket yang berada di luar gedung ini. Satu peribahasa lagi yang tak terbantah kebenarannya dari hal ini adalah “jangan menilai buku dari sampulnya”.

Aku pun diarahkan ke lantai dua oleh petugas yang berjaga dipintu masuk ruang auditorium, sesampainya diatas aku masuk ke ruang audi dan mencari letak dari tempat duduk ku, aku tidak tahu dimana tepatnya letak dar itempat dudukku, biasanya di Indonesia semua kursi yang ada di dalam audi di labeli dengan nomor dan letak kursi kita akan tercetak di tiket yang kita bayar, namun aku tidak menemukan itu disini, semua kursi tidak dilabeli nomor dan tidak juga adanya nomor yang tercetak di lembaran tiket yang aku genggam. Takut-takut salah tempat aku mengamati saja orang-orang yang baru saja masuk ke audi ini, mereka semua duduk begitu saja secara acak, bahkan ada yangsampai pindah beberapa kali. Aku jadi teringat tentang cerita orang tentang sinema-sinema di eropa dimana kita bisa duduk dimana saja asalkan mempunyai tiket, mungkin itu juga sama dengan disini. Aku pun memberanikan diri untuk jalan menuju ke barisan paing depan dan menduduki tempat duduk yang tengah berada di tengah.

Film pun dimulai, aku medengar riuh tepuk tangan dan siul yang sangat ramai, awalnya aku kira ini adalah kemeriahan sound effect semata, namun ternyata bukan. Tepuk tangan dan siul tersebut datang dari para penonton yang ada di dalam sinema, dan hal ini terjadi berulang kali terutama ketika ada adegan-adegan yang membangkitkan emosi para penonton. Bahkan tak jarang ada juga yang berteriak-teriak seakan memberi semangat kepada tokoh yang sedang berkelahi didalam adegannya, karena memang kebetulan film yang aku tonton saat itu memiliki benang merah tentang kehidupan seorang pegulat UFC. Bahkan ada yang paling menggelitik perutku sampai-sampai aku tertawa terbahak-bahak di dalam sinema ini, kala itu ada adegan sensual antara pasangan baru yang menjadi peran utama di film itu, adegan dibuat seakan-akan merekan berdua tengah melakukan hubungan badan akan tetapi adegan diputus begitu saja sampai-sampai hampir semua penonton bersorak keras untuk mengekspresikan kekecewaannya. Sungguh penonton di dalam sinema ini sangat atraktif, baru pernah aku melihat situasi seperti ini di dalam sebuah sinema. Rasanya bila hal ini terjadi di indonesiaorang yang bertepuk tangan, bersiul dan bersorak akan di geret keluar auditoriumoleh keamanan atau minimal dilempari pop corn oleh penonton lainnya.

Bukan film India rasanya apabila tidak ada adegan bernyanyi dan menari ditengah-tengah cerita yang sedang berlangsung. Tarian dan nyanyian ditengah film rasanya telah menjadi identitas khusus dari film-film bolywood tidak terkecuali pada film-film India moderen. Adegan ini juga yang mungkin paling ditunggu-tungu oleh semua penonton di sinema, ketika adegan tiba semua penonton bersorak bahkan ada yang ikut menari. Konon katanya apabila film yang diputar adalah film bolywood “asli” penonton akan lebih antusias saat mengikuti tarian yang ada di film. Hal unik lainnya yang aku temui adalah adanya jeda istirahat selama sepuluh menit ditengah-tengah berlangsungnya film, memang selain kisah romansa, arian dan nyanyian film bollywood juga sangat terkenal karena durasinya yang bisa dibilang sangat panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun