Mohon tunggu...
Yosea Permana
Yosea Permana Mohon Tunggu... Seniman - pegawai swasta

Gemar melukis, menggambar dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jejak Pertama di Kolkata (3) #IndiaTravelJournal Part 3

6 September 2015   19:49 Diperbarui: 29 Maret 2016   22:20 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kira-kira waktu itu pukul 9.30 ketika aku berdiri di bawah jembatan penyebrangan berwarna merah di pagi yang cukup terik. Sedari pagi aku belum melahap makanan apapun kecuali segelas kecil teh yang aku beli di halaman bandara. Sambil mengamati jembatan dan kondisi sekitar aku memutuskan untuk mencari sarapan terlebih dahulu sebelum menghampiri rumah temanku yang berada di Kolkata. Aku menaiki tangga jembatan penyebrangan untuk menuju ke sisi lain jalan berharap ada yang menjual makanan di dekat-dekat sana. Dari atas aku bisa mengamati carut marut lalu lintas di sekitar stasiun Balygungge, Kolkata.

Disana hanya ada aku seorang dengan ransel 80 liter yang sedang ku gendong, tak ada satu orang lokal pun yang menggunakan layanan publik ini. Mereka semua menyebrang berlalu lalang di jalan raya beradu gesit dengan mobil, motor, tuk-tuk dan sahabat penyebrang lainnya. Pantas saja sebelumnya pada saat aku dalam perjalanan menggunakan volvo (bus AC) menuju Ballygungge, aku melihat papan iklan yang berisikan gambar seekor kuda zebra yang sedang berdiri di atas zebra cross dengan sematan tulisan "i'm here too".

Ini mungkin adalah sarkas dari pemerintah setempat atas kebiasaan para masyarakatnya yang tak pernah mau menyebrang di tempat yang telah disediakan, yang pasti adalah berupa sindiran dan juga ajakan agar masyarakat setempat mau menyebrang jalan dengan tertib di tempatnya yakni zebra cross dan jembatan sebrang. Jembatan yang sedang aku naiki ini cukup moderen dan ramah untuk lansia karena dilengkapi dengan eskalator dan elevator. Namun ada yang menghentakku, aku melihat sebuah label di sisi kanan elevator yang berisi tulisan "hanya untuk kelas atas, orang tua, kaum difable dan ibu hamil".

Ternyata tak semua orang bisa menggunakan kedua layanan ekstra yang ada di jembatan sebrang tersebut. Aku jadi tersadar bahwa masih ada sistem kasta yang berlaku di negara dengan populasi manusia terbanyak ke dua di dunia ini. Betapa terasanya ternyata efek dari sistem ini terhadap masyarakat India sampai-sampai hal yang aku anggap sangat remeh ini pun melibatkan perkastaan.

Aku sudah berada di sisi lain jalan, kepala ku menoleh kesana kemari berharap sang mata menemukan sebuah kedai yang menjual apapun yang bisa aku makan karena aku sudah lapar sekali. Namun sayang tak ada satupun toko yang buka kala itu, yang ada hanyalah para bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang mengobrol dan mengamati aku dari atas lapak kaki limanya yang tidak dioperasikan. Aku mencoba menerka-nerka apa yang sedang terjadi sampai-sampai tidak ada toko yang buka, apakah hari libur, demonstrasi atau upacara keagamaan. Aku tak tahu. Aku memutuskan mencoba menelusuri trotoar menuju ke arah keramaian.

Setengah jam sudah aku berjalan tanpa hasil, bajuku sudah sepenuhnya basah di hantam keringat yang bercucuran akibat udara panas dan beban ransel yang kubawa. Kaki lima mulai menggelar dagangannya, toko-toko pun mulai membuka rolling doornya, ternyata tak terjadi apapun yang ganjil, ternyata masyarakat di sini baru membuka tokonya pada pukul 10, cukup kesiangan bagi aku yang sudah hidup selama 23 tahun di Indonesia. Aku memutuskan untuk bertanya kepada orang-orang yang aku lewati.

"Dimana aku bisa menemukan penjual makanan?" tanyaku kepada setiap orang yang aku lewati, rata-rata orang yang aku tanya menjawab dengan menggelengkan kepala lalu menunjukkan arah kepadaku. Awal-awal aku bingung melihat gelengan kepala mereka, seakan mereka tidak tahu atau mengerti dan tunjukan arah itu adalah arahan agar aku bertanya kepada orang lain. Aku bertanya dan terus bertanya sampai akhirnya aku mendapat jawaban dari seorang bapak penjual jasa ketik di trotoar jalan barulah aku paham, dia berkata "aca" sambil menggelengkan kepala " di depan sana ada yang jual".

Akhirnya aku mengerti arti dari gelengan kepala itu yakni "aca" yang berarti "ya", gelengan kepala adalah bahasa tubuh masyarakat India untuk menyatakan ya, setuju atau mengerti. Ini sangat berbeda jauh dengan apa yang ada di habitat asalku sampai-sampai membuat aku bingung, gelengan kepala di Indonesia memiliki arti tidak atau juga penolakan, sedangkan ya biasanya dinyatakan dengan bahasa tubuh anggukan kepala. Orang-orang mulai sibuk membereskan lapaknya yang berjejer panjang di seluruh sisi trotoar, mengangkut karung-karung diatas kepalanya, mendorong gerobak dagangannya dan aku sendiri sedang jalan di antara kesibukan mereka. Aku excited melihat apa yang sedang terjadi di sekitarku, semuanya terasa istimewa walau sebenarnya hal tersebut juga biasa terjadi di pasar-pasar sekitar rumahku. Namun kali ini aku di Kolkata, aku berada di negeri orang, di tempat yang satu patah kata pun tak bisa ku mengerti itulah yang membuatnya sedikit sentimental.

Aku berjalan semakin jauh dari pasar, entah dimana kala itu aku berada namun aku ingat kala itu aku melintasi gedung-gedung tua yang terlihat sudah sangat lelah menjaga tuannya, rumah susun pemerintah yang catnya masih menyala dan sekolah-sekolah mungil yang bertingkat. Satu jam sudah aku berjalan akhirnya aku menemukan penjual makanan. Aku bertanya kepada bapak penjual makanan sambil melihat apa saja yang dia jual, "puri, sabji, samosa, omelet" jawabnya.

Aku ragu untuk mengenyam makanan dari kedai kaki lima ini karena melihat betapa kumuh dan berantakannya lapak itu. Aku memutuskan untuk mencari kedai lainnya, berharap menemukan kedai yang lebih bersih. Satu, dua dan tiga kedai sudah aku lewati begitu saja, semuanya sama saja, jorok. Aku belum berani untuk memasukan makanan yang mereka hidangkan ke dalam perut ku untuk memuaskan cacing-cacing yang sudah mulai menggila. Aku memiliki pencernaan yang cukup lemah, aku tak mau makanan di awal perjalanku inip menjadi tiket pulang lebih awal ke tanah air.

Banyak yang mengatakan bahwa India adalah sarang dari penyakit hepatitis dan diare, datang ke India seakan mengikhlaskan diri untuk menyambut dengan ramah kedua penyakit tersebut. Sebenarnya aku bukanlah orang yang resik dalam memilih makanan, aku sangat senang makanan-makanan kaki lima yang enak, murah dan walau tempatnya kumuh. Namun segala opini dan fakta yang aku lihat disini membuatku paranoid. Seluruh indra dan organ yang ada di tubuhku bergejolak dengan hebat. Semuanya berkelahi.

Otak dan mataku berkomplotan melawan okomplotan lainnya untuk menolak memilih tempat yang ini dan itu, dinding lambung sudah mulai menggedor-gedor dengan anarkis meminta asupan makanan, urat di kepala pun sudah mulai muncul dan kepala mulai pening, keringat dingin sudah mulai bercucuran mengalir dari dahi ke leher dan pundakku.

Namun kakiku lah yang paling bijaksana, dia berhenti dan tak mau bergerak ke arah lain di depan sebuah kedai yang tidak berbeda kotornya dengan kedai-kedai yang sudah aku lihat sebelumnya, aku akhirnya duduk di sebuah kursi panjang, melepaskan ransel dari punggungku dan memesan makanan. Puri, sabji dan omelet. Itulah makanan yang pertama sekaligus terlezat yang pernah aku makan selama berada di India, terkhusus omeletnya. Rasa yang luar biasa, sungguh nikmat surgawi, sepertinya saat itu sang pencipta semesta turun ke bumi khusus untuk memasakkanku omelet tersebut. Taburan bawang ang menghiasi permukaan omelete menjadi sempurnakan rasa telur yang sangat halus. Sampai saat ini aku belum merasakan kenikmatan hidangan lainnya yang bisa menandingi omelet pertamaku di India.

Puas menikmati omelet dari surga aku kembali berjalan menyususri pasar, kali ini tujuanku adalah mencari sim card untuk ponselku. Aku tidak bisa menghubungi temanku yang berada di sekitar ballygungge karena roaming di ponselku tidak bisa aktif. Tak lama aku melihat kios provider simcard dan aku pun masuk kedalamnya. Aku membeli satu simcard. Namun bukanlah sederhana untuk bisa mendapatkan benda kecil tersebut. Mereka meminta paspor, foto dan kontak serta alamat tempat aku tinggal di India untuk registrasi data. Dan yang makin membuat pusing adalah kartu tidak bisa aktif saat itu juga. Butuh verifikasi data dengan cara menelepon operator, dan proses verifikasi tersebut baru bisa dilakukan seteleh jam 8 malam. Artinya aku baru bisa menghubungi temanku setelah jam 8 malam. Lalu dimana aku harus menunggu selama 9 jam dengan ransel besar ini? Sungguh luar biasa panjang dan ribet regulasi pembelian simcard disini, di Indonesia aku bisa membeli simcard layaknya membeli sebuah permen.

Aku sempat memaksa kepada mereka untuk bisa mengaktifkan simcardku saat itu juga, karena aku harus segera menghubungi temanku. Namun mereka menjawab tidak bisa. Berbagai alasan aku beritahukan kepada mereka betapa butuhnya aku simcard aktif saat itu juga. Ternyata memang tidak bisa.

Aku mencari jalan lain untuk bisa bertemu dengan temanku. Aku tunjukan alamat rumah dari temanku kepada mereka para karyawan kios provider dan berencana untuk jalan kaki mendatangi alamat tersebut. "Cornfield road?" tanya seorang karyawan laki-laki berubuh besar, dengan wajah bingung dia berkata tidak tahu alamat tersebut. "Apakah kalian punya internet? kalian bisa bantu aku dengan melihat di map" namun mereka menjawab tidak punya, disini aku sangat kesal. Aku melihat dia sedang membuka laman facebook di laptopnya saat dia mengatakan tidak punya koneksi internet.

"Hei kau sedang buka facebook, bukan kah itu menggunakan internet? Mohon tolong saya!" aku mengatakannya dengan nada cukup tinggi. Namun dalam bahas inggris yang kacau dengan campuran bahasa india dan bengali yang sebagian besar aku tidak mengerti apa artinya dia menuturkan berbagai alasan yang intinya menyatakan bahwa dia tidak mau mencarikan alamat yang aku tunjukan di internet.

Sungguh kala itu aku merasakan tensi darahku naik. Ingin sekali rasanya merebut laptopnya dan mengetikkan kata "cornfield road" di map online yang bisa dibuka dengan internet. Namun mencari ribut bukanlah jalan yang bemar, lantas aku memilih untuk berdiam di depan meja staff tersebut sambil melemparkan teror lewat lirilan sinis mataku. Setelah beberapa menit, entah dapat pencerahan dari mana tiba-tiba aku berkata "bisakah kau mengubungi temanku dengan ponselmu? Aku butuh bicara dengannya". Salah satu dari mereka mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memberikannya kepadaku. Mengapa tak terpikrkan sejak awal cara ini olehku? Bila saja ini terpikir di awal tak perlu aku bersinis ria kepada mereka.

"Halo Jojo, ini aku. Aku sedang berada di kios provider dekat di Ballygungge bus stop, bisa kah kau arahkan aku ke tempatmu?". Temanku yang memilik nama panggilan Jojo (Arjun) menanyakan alamat lengkap dari tempat dimana aku berada. Aku kebingungan karena tidak tahu dimana aku berada. Aku memberikan ponsel tersebut kepada pemiliknya dan meminta tolong kepadanya untuk memberitahukan alamat lengkap kios ini kepada Jojo.

Setelah beberapa waktu berbincang via ponsel sang pemilik ponsel memutuskan komunikasi dengan Jojo dan berkata kepadaku "tunggu disini, temanmu akan menjemputmu disini". "Oke terimakasih atas bantuannya" jawabku sambil tersenyum lebar. Ribetnya regulasi pembelian simcard di India ternyata bukan tanpa alasan.

Hal ini dilakukan karena dulu pada saat simcard bisa didapatkan dengan sangat mudah, banyak sekali tindakan terorisme yang dilakukan via ponsel. Dan regulasi ini dilakukan untuk mencegah tindakan tersebut terulang kembali di negeri dengan penduduk 1,2 miliyar ini. Setelah menunggu beberapa waktu akhirnya seseorang dengan kulit coklat gelap, berkumis tebal dan perawakan kecil datang menghampiriku dan berkata, "tamu Jojo?". "Ya" jawabku dengan sumringah. "Ayo ikut aku" katanya sambil melambaikan tangan dan menggelengkan kepalanya.

Aku pun berjalan mengikuti Sanjit, orang yang dikirim Jojo untuk menjemputku. Kami melalui jalan yang sama dengan yang jalan pernah aku lalui sebelumnya pada saat menuju kios provider. Setelah berjalan kurang lebih 10 menit akhirnya aku sampai di kantor Jojo, tempat dimana aku akan tinggal selama 4 hari kedepan.

Ternyata lokasinya hanya terpaut 3 menit dengan berjalan kaki dari tempat aku turun dari bus pagi itu. Aku pun menyimpan tas, membersihkan diri dari keringat dan debu yang sudah menempel di tubuh sejak pagi lalu merebahkan diri di kasur yang telah di siapkan oleh Jojo untuk tamu-tamunya. Sungguh hari itu sangat panjang, menarik, membingungkan, mengesalkan dan melelahkan. Hari pertamaku di Kolkata yang seperti gado-gado ini di tutup dengan sebuah hidangan lezat kachuri dan sabji pada sore hari sebelum akhirnya aku tertidur sampai keesokan paginya.

-----

Tentang simcard yang telah aku beli, kartu tersebut baru bisa aktif 3 hari setelah aku membelinya. Alasan tidak dapat aktif pada hari pertama adalah hal yang sangat konyol, sang petugas kebingungan untuk menentukan mana nama depanku, maka beliau menunggu aku datang kembali ke kiosnya pada keesokan harinya untuk memberitahukan nama depanku. Pada hari kedua kartu ku masih belum bisa aktif karena kendala bahasa pada saat proses verifikasi via telepon. Sang operator tidak bisa berbicara bahasa inggris. Dan pada hari ketiga kartu ku akhirnya aktif setelah aku memonta tolong temanku yang asli dari India (Jojo) untuk bicara kepada operator pada saat proses verifikasi.

Artikel ini adalah krlanjutan dari artikel "Jejak Pertama di Kolkata (1) dan (2)

http://www.kompasiana.com/yoseapermana/jejak-pertama-di-kolkata_55e31b826e7a617211cffe31

http://www.kompasiana.com/yoseapermana/jejak-pertama-di-kolkata-2_55e4add8d39273a2129d72f1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun