Â
Di ruang tunggu bandara Internasional Netaji Subhash Chandra Boshe, Kolkata aku dan kenalan ku yang berasal dari Tiongkok berbincang-bincang guna mengundang kantuk datang. Mereka semua bertiga namun hanya Sophia sendiri yang aktif berdiskusi denganku, sedangkan yang lain hanya menyimak. Kami berdiskusi dan bertukar informasi tentang negara kami masing-masing, aku memperkenalkan Indonesia dan Sophia memperkenalkan Tiongkok. Tak disangka ternyata dia tahu banyak mengenai Bali, dan lebih mencengangkan lagi ketika wanita yang sedang mengejar gelar Master di Bidang Pendidikan Internasional ini tahu mengenai sejarah kelam kaum Tionghoa di Indonesia pada masa PKI berkiprah. Kami juga tak lupa berbagi pengalaman backpacking yang telah masing-masing kami lakukan. Ada yang unik dari Sophia, dia adalah seorang petualang wanita yang jam terbangnya jauh melampaui aku, bahkan berdasarkan ceritanya dia tak ragu untuk melakukan hitchickie (menumpang kendaraan pribadi secara acak) guna memangkas biaya transportasi, yang aku sendiri sebagai laki-laki masih bimbang untuk melakukannya. Sophia sendiri memiliki nama asli Lei Ting, dia sendirilah yang menjadikan nama Sophia sebagai nama panggilannya sejak beberapa tahun yang lalu. Ini ia lakukan karena nama aslinya dinilai akan sulit untuk di ingat oleh orang asing atau yang baru dikenalnya. Kami berdiskusi panjang sampai akhirnya lelap menghampiri dan membuat kami tertidur pulas.
[caption caption="Bandara Moderen dan Taksi Tua"][/caption]
Pagi pun tiba dan kami berpisah. Walau sama-sama akan singgah di Kolkata untuk beberapa hari namun arah dan tujuan traveling aku dengan Sophia dan kawan-kawan berbeda. Aku menuju ke pintu keluar bandara. Saat itu masih pukul 8 pagi waktu setempat, kios-kios masih banyak yang tutup, aktivitas bandara pun masih minim terlihat, bahkan para petugas keamanan juga terlihat masih santai duduk-duduk dengan wajah ramahnya yang penuh kantuk. Beberpa menit berjalan aku tiba di pintu keluar bandaral, beberapa langkah keluar aku sedikit kaget melihat barisan mobil tua berwarna kuning yang beroperasi sebagai taksi. Dangat indah dan klasik bagiku. Melihatnya seakan-akan aku terbawa kedalam lorong waktu, namun yang tidak sempurna karena di satu sisi aku berada di bandara moderen namun di sisi lain aku berasa di dalam film-film hitam putih tahun 70an.
Di seberang jalan (masih di area bandara) aku melihat taman dengan sebuah tea stall atau kedai teh, aku segera menghampirinya dan memesan segelas teh untuk menghangatkan tubuh yang sejak malam terus ditiup oleh pendingin ruangan yang cukup kencang. Harga teh cukup murah, hanya 5 rs atau sekitar Rp. 1250 untuk satu gelasnya. Namun aku cukup kecewa melihat ukuran gelas yang diberikan kepadaku, paling-paling hanya satu atau dua teguk saja jumlahnya, dan aku lebih heran lagi ketika melihat isinya yang tidak nampak seperti teh yang biasa aku minum, malahan terlihat identik dengan susu coklat. Aku berprasangka bahwa si penjual teh tidak mengerti apa yang aku katakan. Namun aku tidak protes, pikirku susu coklat pun tak jadi masalah sebagai pengisi perut pagi itu. Setelah mencicipi sedikit ternyata pesanan ku benar, cairan itu bukanlah susu coklat melainkan teh yang dicampur dengan susu dan beberapa jenis masala (bumbu) seperti kayu manis, kapulaga arab, safron dan bahan lainnya. Orang sini atau mungkin seluruh India memiliki kebiasaan menghidangkan teh dengan cara demikian, mereka menyebutnya Doodh Chaai.
[caption caption="Minta difoto"]
Aku pun berjalan ke taman dan duduk di tangga untuk menikmati teh dan suasana bandara yang bermandikan cahaya pagi. Aku memandang setiap arah mata angin dari arah tempatku duduk, aku melihat ada para pemuda yang sedang berfoto-foto, ada bapak-bapak yang sedang berbincang-bincang dengan rekannya, ada yang sedang minum teh, ada yang sedang mengunyah dan meludahkan sirih dari mulutnya dan juga ada banyak burung gagak yang hinggap kesana mari sambil mengeluarkan bunyinya, aku pun mulai menyeruput teh ku. Melihat aku berada disana beberapa remaja yang melihat aku membawa kamera memintaku untuk memfotonya, aku pun menurutinya. Ternyata benar kata orang-orang yang telah mengunuungi India bahwa orang lokal sangat senang di foto oleh para tamu asing. Lalu beberapa dewasa menghampiri aku, ada yang bertanya-tanya tentang asal-usulku, ada yang menawarkan jasa taksi, dan juga ada yang datang hanya untuk mengambil foto ku lalu pergi.
Kebanyakan dari mereka menyangka aku berasal dari Tiongkok dan negara asia lainnya "Chinese? Chinese? Japan? Thailand?" aku pun menjawab "No, I'm from Indonesia". Sebenarnya agak sedikit sedih juga tidak ada yang bisa menebak bahwa aku berasal dari Indonesia, mungkin hal ini di sebabkan sedikitnya orang Indonesia yang datang ke Kolkata, karena sudah paranoid dengan "kejamnya" India dalam menyambut para tamu. Nyatanya di dalam pesawat dari Kuala Lumpur menuju Kolkata hanya aku dan temanku saja yang memegang paspor hijau. Namun untungnya mereka tahu keberadaan Indonesia walau kebanyakan hanya karena bencana besar tsunami di Aceh.
[caption caption="Macetnya Kolkata"]
[caption caption="aneka pengguna jalan"]
Aku pun keluar dari bandara menggunakan Volvo (cara orang lokal menyebut bus umum dengan AC), sebuah bus moderen dan kenyamanannya bisa disandingkan dengan armada-armada transjakarta. Dari jendela bus aku memandang kearah mana saja yang bisa aku jangkau. Aku melihat banyak gedung tua, taksi kuning, bus-bus tua, auto rickshaw (bajaj), manual rickshaw (becak), orang-orang bersepada dan yang paling banyak adalah pejalan kaki. Kali ini aku merasa telah benar-benar berpindah dimensi waktu ke tahun 70an, lorong waktu telah berjalan dengan sempurna. Semua yang kulihat terasa kuno dan lusuh. Walau demikian, dari atas volvo aku merasa kota ini bersih, jauh dari ekspektasi awalku yang menerka bahwa Kolkata adalah sebuah kota besar yang sangat kumuh. Satu jam setengah sudah aku berada di dalam bus, akhirnya aku turun di perhentian bus Balygunge, tempat dimana aku bersepakat untuk bertemu kenalan ku yang berasal dari Kolkata.
Hari itu aku merasa Kolkata sedikit mirip dengan Jakarta yang macet, Â panas dan bisingnya. Namun berbeda sangat jauh dalam hal pola hidup, Jakarta terlampau jauh sangat moderen di bandingkan Kolkata yang lebih sederhana.
Artikel ini adalah sambungan dari Jejak Pertama di Kolkata (http://www.kompasiana.com/yoseapermana/jejak-pertama-di-kolkata_55e31b826e7a617211cffe31)
Â
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H