Mohon tunggu...
Layosibana Akhirun
Layosibana Akhirun Mohon Tunggu... -

Sedang menyerap ilmu di padepokan Alam Semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengakuan Do(s)a

7 April 2014   23:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mulai jarang berdoa. mendoakanmu dalam keheningan serta khusyuk yang lamat perlahan-lahan. sebaiknya kutulis sebagai memoar sebelum rasa purba ini melipir entah kemana.

kita pernah bicara dahulu tentang do’a. bahkan pernah kuakui mendoakanmu diam-diam. saya tahu ini tak menjadi misteri lagi buatmu. diujung lain,dalam diammu kutafsir adalah kegembiraan atas pengakuan dosa itu. karena telah mendoakanmu diam-diam. sekali lagi ini tak lagi jadi misteri.

olehnya ini kutulis saat engkau sedang terlelap. saya salah duga ternyata,sekarang engkau barusan berdo’a karena ini subuh. tetes-tetes air masih membekas di alis kananmu (semoga alismu asli bukan alis sulam) perlahan jatuh dipipimu yang berakhir menggenangi bibir bawah bagian kanan.

akhirnya,kita akan menjadi asing satu sama lain. lalu saling mengingat pun adalah kadang menjadi percobaan yang gagal. beruntunglah kita punya catatan, memoar, atau petisi yang lebih heroik dan revolusioner.

tentang ide revolusioner ini mungkin tidak pernah terpikirkan olehmu. sebuah pengakuan atau testimoni punya implikasi beragam. salah satunya adalah ingatan. saya mengingat 5 mei sebagai momen revolusi, bukan sebagai kelahiran Marx yang agung tapi tentang sebuah pengakuan revolusi antara kita. cukup kita berdua yang tahu. jangan beritahu siapa-siapa. kembali pada 5 mei,kelahiran karl marx itu. harusnya bukan 1 mei sebagai hari buruh tapi 5 mei. biarkan saja,toh kita tidak sefanatik itu dalam membela atau mengagungkan marx. saya hanya mencuri momen itu untuk mengingat. sebab saban hari dalam tahun itu, orang-orang sibuk dalam menyeleksi momen untuk monumen ingatan,katanya.

sebelum ini menjadi jauh. sebelum ini menjadi terlupa. dan sebelum ini menjadi ngawur biarkan saya untuk mengakhiri tulisan ini. toh, kamu tidak akan pernah membacanya. anggap saja ini memoar mubazir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun