Berdasarkan survey AC Nielsen, pada tahun 2006 belanja iklan industri rokok mencapai Rp 1,6 trilyun, atau kedua terbesar setelah belanja iklan sektor telekomunikasi (Rp 1,9 trilyun). Ini membuktikan besarnya para pemasang iklan rokok yang beragam macamnya dan produsen terus mengedarkan produk-produknya secara besar-besaran ditayangan atau bacaaan anak-anak.
Dikutip dari data Komisi perlindungan anak, berdasarkan hasil Evaluasi Pengawasan Iklan Rokok tahun 2006, badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mencatat terdapat 14.249 iklan rokok yang tersebar di seluruh media elektronik, media luar ruang, dan media cetak, dengan proporsi terbesar di media elektronik yang mencapai 9.230 iklan.
Bukan hanya dengan produksi iklan rokok yang secara bebas dan besar-besaran saja, para prudeser menayangkan iklan-iklannya secara menarik dan kreatif serta mengajak melaului kalimat atau kata-kata yang up-date, sehingga remaja mudah terikut melui iklan-iklan provokatif.
Sebenarnya iklan rokok itu tak boleh memakai ajakan atau kalimat yang provokatif, seperti, “Tanya Kenapa?, talk less do more,” kalimat kritis, “Clas Mild is Today”, Think Black “ , “ May be yes, melambangkan simbol modernitas, X-mild,“Anak muda juga bisa”, simbol kemandirian,“ Engga ada lo gak rame “, simbol kesetiakawanan, “ U R U”,” Enjoy aja, Ekspresikan aksimu, wujudkan obsesimu, dreams du come true, symbol eksistensi diri.
Pesan dan symbol-simbol itu yang terkandung diiklan rokok saat ini, membuat remaja atau perokok terus terpovokasi. Tak ada iklan yang menayangkan tentang bahayanya produk ini, atau tanda hanya untuk tujuhbelas tahun keatas saja. Tapi hanya perwajahan yang menarik serta gambar-gambar mewakili zaman sekarang yang dikemas dalam iklan-iklan ini.
Di Negara-negara maju, symbol dan tema seperti, kalimat kritis, modernitas, kemandirian kesetiakawanan dan eksistensi diri tidak boleh masuk di unsur iklan rokok, karena mereka harus menjauhi pengguna rokok bagi remaja dan anak-anak. Bahkan dibelakang bungkus rokok itu ada gambar bahaya dan akibat merokok, sehingga konsumen tau apa bahaya produk itu.
Inilah yang membuat besarnya konsumen rokok dengan korbanya yaitu anak-anak dan remaja. Perlu adanya penyaringan kembali iklan-iklan yang disajikan kepada konsumen mengenai rokok. Jangan sampai seusia mereka telah diracuni dengan rokok.
Pemerintah harusnya memberikan regulasi, bagaimana iklan rokok yang boleh ditayangkan dan tidak boleh ditayangkan di media-media baik dicetak maupun elektronik atau mengatur jam-jam tertentu iklan-iklan ini boleh tampil dilayar kaca.
Indonesia seharusnya mencontoh Australia, mengatur ketat perderan rokok bahkan iklannya. Mereka mengharuskan ada gambar atau tanda peringatan bahaya rokok dibuat sangat mencolok, mengambil porsi 75 persen dari kemasan. Alasan mereka : biaya kesehatan bagi pecandu rokok jauh lebih besar dibanding duit yang dikeruk pemerintah dari cukai tembakau.
Iklan-iklan rokok tak moleh terlalu menarik atau provakatif yang telah dibahas tadi. Dan orang tua selalu menjaga dan mengawasi pergaulan lingkungan anak-anaknya serta berpikir kritis. Seperti Amerika seorang anak menelpon Direktur Phillip Morris dan berkata “Why do you sell product that kills your customers,” katanya. Philip Morris, pemilik saham terbesar rokok Sampoerna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H