Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjaga Kehormatan

16 Maret 2018   15:14 Diperbarui: 16 Maret 2018   15:27 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjaga kehormatan memang perlu, terutama bagi mereka yang merasa kehormatannya sering digerogoti orang lain. Tapi bagi yang kehormatannya digerogoti sendiri tentu tak perlu. Bagaimana mungkin dijaga, kalau kehormatannya sudah keropos karena digerogoti sendiri? Mustahil, bukan?

Pada dasarnya semua manusia itu memiliki kehormatan. Kamus Bahasa Indonesia online menyebutnya sebagai pernyataan hormat; penghargaan terhadap diri manusia.

Derajat kehormatan juga sama. Semua dan setiap orang yang memiliki kehormatan (terhormat) cenderung melakukan apa yang patut dalam posisinya sebagai manusia. Misalnya, yang patut bagi manusia adalah hanya boleh memakan hasil keringatnya sendiri berupa gaji atau penghasilan dari usahanya. Tidak patut memakan hasil keringat orang lain dengan mencuri atau korupsi.

Bila melanggar kepatutan itu, misalnya sekali atau berkali-kali korupsi, menjarah hak-hak rakyat, maka tindakan yang bersangkutan identik dengan menggerogoti kehormatannya. Sebab, kehormatan itu muncul dari dalam diri dengan melakukan tindakan-tindakan yang patut. Bila yang dilakukan sebaliknya, maka sama artinya ia telah keluar dari harkat kemanusiaannya, kemudian menurunkan diri setara dengan tikus yang tabiatnya menggerogoti.

Kehormatan tikus memang terletak di situ. Secara alamiah, tabiatnya memang mencuri, menggerogoti hal yang bukan miliknya. Makin cekatan ia mencuri, menggerogoti, maka kehormatannya sebagai tikus makin tinggi. Bahwa orang yang bersangkutan masih atau selalu menganggap dirinya lebih terhormat dari pada tikus, tentu saja boleh. Namun, itu tak berdasar. Itu hanya anggapan. Fisiknya memang manusia, tapi jiwa dan mental kemanusiaannya telah hilang. Yang ada di dalamnya adalah jiwa dan mental tikus.

Pertanyaannya, apakah salah bila orang semacam itu diingatkan, dikritik, dinasehati, disarankan, diberi pencerahan agar kembali menjadi manusia? Tentu tidak. Bagi yang peduli terhadap sesama seharusnya begitu. Tidak membiarkan sesamanya kehilangan harkat kemanusiaannya.

Bagi  yang diingatkan, dikritik, dinasehati, semestinya juga bersykur karena masih ada yang mau menolongnya agar tidak berketerusan menjadi tikus.

Namun, orang semacam ini biasanya keras kepala. Alergi kalau diingatkan. Kendati otak, jiwa, dan mentalnya sudah sama dengan tikus, ia tetap ngotot agar orang lain tetap mengakuinya sebagai manusia. Ia malah membuat aturan agar semua orang tetap menghormatinya sebagai manusia walaupun otak, jiwa, dan mentalnya terus menikus. Anehnya, dengan aturan buatannya, ia malah makin melanggengkan kehormatannya tikus yang ada dalam dirinya.

Datang dari dalam

Orang terhormat sungguhan tidak begitu. Ia malah tidak terlalu mikir apa itu kehormatan. Contohnya adalah seorang suami bagi istri dan ayah bagi anak-anaknya. Dia hanya menjalankan kehidupan secara wajar, normal, tanpa neko-neko. Ia bekerja sekuat tenaga sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang melekat pada dirinya.

Di rumah ia melaksanakan tugas sebagai suami dan sebagai ayah bagi anak-anaknya. Ia tidak meminta, apalagi mengemis-ngemis untuk dihormati. Tetapi, dalam kenyataannya istri dan anak-anaknya selalu menaruh hormat kepadanya sebagai suami dan ayah.

Mengapa? Karena kelakuannya sebagai suami dan ayah dia jaga baik-baik. Itu pun bukan dengan kata-kata. Ia selalu berbuat hal-hal yang patut. Ia tidak selingkuh, tidak mencuri. Ia memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara-cara yang wajar sebagai suami dan ayah. Ia bekerja keras tanpa menanamkan dalam dirinya ambisi menjadi kaya raya, apalagi menumpuk harta untuk diwariskan kepada anak-cucunya.

Ia sadar bahwa dengan ambisi semacam itu, ia bisa jatuh. Ia bisa menghalalkan segala cara seperti yang kerap dilakukan pada kepala daerah yang dibui gara-gara korupsi. Namun, ada hal penting yang selalu dijaganya. Ia tidak mau merendahkan harkat kemanusiaan anak-cucunya dengan mengondisikan mereka menggantungkan hidup pada warisan.

Ia sangat paham bahwa anak-cucunya sama dengan dirinya. Manusia! Mereka telah diperlengkapi oleh Yang Maha Kuasa segala perlengkapan manusiawi agar bisa hidup. Telah diberi sejumlah potensi untuk melanggengkan kehidupan dengan cara-cara yang patut sebagai manusia, bukan seperti tikus.

Itulah yang membuat dia sangat dihormati. Kehormatannya tidak dijaga tersendiri, apalagi oleh orang lain. Tapi dijaga oleh kelakuannya sendiri. Dengan cara-cara itu, bukan cuma anggota keluarga yang menaruh hormat kepadanya, tetapi juga tetangga dan semua orang yang mengenal dirinya. Mereka malah kerap menjadikannya panutan, dijadikan contoh oleh para tetangga untuk mendidik anak-anak mereka.

Dari sini jelas bahwa kehormatan tak perlu dicari, tak perlu diminta. Juga tak perlu meminta atau menyuruh orang lain menjaganya. Sebab, kehormatan yang datang dari dalam diri itu, pasti memancar keluar. Pancarannya bisa tampil dalam berbagai bentuk dan wujud yang menggambarkan kepatutan hidup sebagai manusia. Pancarannya itulah yang menjaga kehormatan.

Oleh sebab itu, membuat aturan agar orang lain menjaga kehormatan diri sendiri seperti yang dilakukan DPR dalam pasal-pasal revisi UU MD3 itu jelas keliru. Mirip tindakan menyuruh orang lain untuk mengekang nafsunya untuk berselingkuh dan mencuri. Mustahil, bukan? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun