Atas postingan mereka mengicaukan (me-retweet) berita hoax, Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang kerap disebut duo F di DPR RI itu dilaporkan ke polisi oleh Muhammad Rizki dengan nomor LP/1336/III/2016/PMJ/Dit.Reskrimsus (Kompas.com). Mereka dilaporkan karena mengicaukan ulang berita hoax yang menyebut ketua Muslim Cyber Army (MCA) adalah salah seorang pendukung Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Apakah hal itu disengaja? Mungkin saja bukan. Kendati mereka kerap memelintir makna kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tentu tidak tepat kalau mereka langsung divonis. Mungkin saja mereka benar-benar tidak tahu, tapi keburu bersemangat membagikan ke publik.
Pasalnya, duo F itu bukan orang sembarangan. Pendidikan mereka tak bisa dianggap sepele. Yang satu doktor dan satunya sarjana ekonomi. Sebagai sarjana sudah pasti mereka memiliki etika akademis yang tinggi. Mereka juga sudah sangat terbiasa berpikir metodologis. Mereka sangat paham bahwa suatu informasi selalu memiliki banyak sisi. Bisa fakta, khayal, gosip, atau hoax. Mereka bisa memilah mana yang layak dipublikasi dan yang tidak.
Alasan lainnya, keduanya adalah politisi yang sudah malang melintang hutan rimba politik. Mereka sangat paham apa yang memiliki nilai strategis untuk mendapatkan dukungan dan mana yang menjatuhkan. Apa yang bisa menjadi bahan pergunjingan di warung kopi dan yang layak dibahas serius di gedung DPR, mereka sangat paham.
Itu artinya, kalau mereka menyuguhkan hoax, yang bisa menyesatkan, bahkan memancing kemarahan di kalangan orang-orang yang tak senang dengan Ahok, boleh jadi sekedar kelalaian karena semangatnya yang amat tinggi membagi informasi. Jika benar demikian, maka mereka layak dimaafkan dan tidak mengulanginya lagi.
Tapi apa boleh begitu? Secara pribadi tentu saja boleh. Cuma, karena sudah terlanjur masuk ranah publik, tentu ukurannya bukan lagi boleh tidaknya secara pribadi. Yang berlaku di ranah publik, tentu saja hukum publik. Tampaknya, inilah yang mendasari pemikiran Muhammad Rizki sehingga merasa perlu melaporkan mereka ke polisi.
Sekarang, "bola" sudah di kawasan polisi. Biarlah polisi memainkan bola itu menurut ketentuan, melakukan menyelidikan dan penyidikan untk menentukan layak-tidaknya mereka dijadikan tersangka.
Rupa-rupa Respon
Atas pelaporan kedua duo F itu, rupa-rupa respon di kalangan masyarakat bermunculan. Banyak yang senang dan banyak juga yang sebalinya. Ada yang bilang Fadli dan Fahri kena batunya. Itulah risiko kalau terlalu rajin bicara dan malas mendengar. Yang lain lagi bilang itulah konsekuensi orang yang selalu menyuburkan sikap kebencian dalam hati.
Intinya, ada yang merasa bersyukur kalau kali ini si Duo F akan berurusan dengan polisi. Kalau perlu ditahan selama beberapa hari supaya mereka berkesempatan menghitung kancing bajunya yang sudah lama tak diperhatikan.
Respon sebaliknya tentu bisa dilihat dari pengikut si duo F. Sudah pasti mereka menilai bahwa si duo F tidak salah. Yang salah adalah Jawa Pos sebagai pemuplikasi pertama berita itu. Fadli dan Fahri hanya meneruskan karena kelalaian.
Bisa juga menyalahkan pembaca, termasuk Rizki. Mereka bisa bilang, Rizki justru yang salah. Ia yang memberitahukan kepada polisi dan publik tentang berita hoax dari Fadli dan Fahri. Kalau bukan gara-gara Rizki, mana mungkin kicauan itu dimasalahkan.
Ribuan pembaca diam, bahkan ada yang setuju. Tapi, Rizki justru yang bikin gara-gara. Jangan-jangan ada sentimen pribadi antara Rizki dengan Fadli dan Fahri. Ini namanya mengganggu anggota DPR yang terhormat, mencemarkan nama baik, melakukan perbuatan tak menyenangkan. Ini keterlaluan. Rizki perlu segera dilaporkan ke polisi.
Tak Perlu Ditahan
Pertanyaannya, apakah Fadli dan Fahri perlu diproses dan ditahan oleh polisi? Secara hukum, tentu saja mereka perlu diproses. Namun, untuk sampai pada penahanan, polisi tentu punya perhitungan sendiri berdasarkan asas-asas hukum. Antara lain asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum. Kita percaya, hal tersebut akan digodok matang oleh polisi sebelum mengambil keputusan. Pasalnya, jika sampai ditahan sudah tentu tugas-tugas mereka di DPR yang kerap diabaikan justru makin terbengkalai.
Bagi mereka mungkin bukan masalah. Mereka malah bisa berkicau lebih banyak di tahanan atau melakukan hal-hal yang mereka senangi. Tapi, bagaimana dengan rakyat? Dari sisi rakyat, tampaknya merupakan masalah besar. Rakyat rugi. Rakyat sudah membayar gaji mereka dengan pajak, tapi mereka malah buang-buang waktu, makan tidur di tahanan.
Saya malah menaruh rasa kasihan kepada Fadli dan Fahri. Sebab selama ini, kedua lulusan universitas ternama di Indonesia itu diketahui publik sebagai orang-orang yang sangat kritis. Mereka tidak mudah menerima satu gagasan tanpa melakukan pembedahan sampai detail.
Contohnya, begitu mendengar ungkapan "rakyat rugi" seperti tertulis di atas, maka mereka pasti bertanya, "rakyat yang mana?" Mereka tak bakalan menerima sebuah istilah abstrak, abu-abu, atau yang mengundang banyak interpretasi, atau yang tak terukur. Mereka selalu menginginkan semua hal perlu dikonkretkan.
Hanya saja sikap tersebut tidak selalu konsisten. Apabila ada kaitannya dengan Ahok, daya nalar dan sikap kritis mereka bisa sekonyong-konyong loyo. Yang segera muncul adalah semangat, emosi meledak-ledak yang terkesan liar tak terkendali.
Terhadap kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga begitu. Begitu mereka membaca berita apa saja yang terkait dengan Jokowi, nalar Fadli dan Fahri tak berkutik.
Lihat saja komentar Fadli ketika Presiden Jokowi menikahkan dua anaknya tahun lalu. Fadli sangat bersemangat mengatakan itu tidak benar. Seorang presiden menikahkan dua anaknya dalam satu tahun, baru terjadi pada masa Presiden Jokowi.
Membaca atau mendengarkan komentar itu, orang waras tentu saja tertawa. Orang akan bilang mengapa Fadli sakit perut? Dana pernikahan dari saku Jokowi. Bukan dari uang negara, bukan pula dari saku Fadli. Dari sisi undang-undang juga tidak ada larangan menikahkan dua anak atau lebih dalam setahun.
Kalau begitu, acuan berpikir Fadli dan Fahri ini apa? Etika dan kebenaran akademik? Kebenaran hukum? Ataukah sebatas naluri dan semangat mengeluarkan bunyi? ***
Direkomendasikan untuk anda baca:
Sri Bintang Pamungkas Memimpikan Indonesia Tanpa Jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H