Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cakada Abal-abal dan Cakada Benaran

4 Maret 2018   12:26 Diperbarui: 4 Maret 2018   12:48 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada serentak tahun 2018, diikuti oleh 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Dari seluruh pasangan yang turut bertarung, bisa dipastikan bahwa yang akan terpilih hanya 17 pasangan gubernur dan wakil gubernur, 39 pasangan walikota dan wakil walikota, dan 115 pasangan bupati dan wakil bupati. Selebihnya, tentu tersisih. Masuk kotak.

Adakah yang mau tersisih? Tentu tidak. Oleh sebab itu, setiap pasangan pasti berjuang sekuat tenaga, menggunakan segala jalur, strategi, dan kiat agar keluar sebagai pemenang. Targetnya, bukan hanya memertahankan suara yang mungkin memilih mereka, tetapi berjuang merebut suara dari kompetitor dan suara mengambang yang belum menentukan pilihan.

Untuk itu, rakyat tak perlu heran bila semua pasangan calon selalu tampil seperti orang baik. Banyak miripnya. Semua ramah, terkesan sangat peduli rakyat, dermawan, penuh perhatian. Itu wajar. Namanya saja mencari simpati. Pasti berusaha tampil sememikat mungkin di depan para calon pemilih. Mirip ABG yang tengah melakukan pendekatan kepada pujaan hati.

Apakah semua berhasil? Tentu tidak. Untuk mendapatkan suara tentu tergantung pada beberapa faktor. Di antaranya: Pertama, motivasi mencalonkan diri. Kedua, daya dukung untuk mendapatkan suara. Ketiga, sikap anggota masyarakat setempat terhadap Pilkada. Keempat, situasi politik menjelang dan saat pemungutan suara. Agar tidak berkepanjangan, tulisan berikut hanya fokus pada poin pertama.

Membangun Daerah

Kemiripan utama semua pasangan calon kepala daerah (CAKADA) adalah klaim motivasi sekaligus tujuan menjadi CAKADA. Semua mengklaim mau membangun daerahnya. Untuk meyakinkan publik, mereka menciptakan berbagai simbol dan jargon yang dinilai memikat hati calon pemilih. Contohnya, singkatan nama pasangan yang selalu bermakna positif bagi rakyat. Dari sisi ini dapat dikatakan semua calon bagus. Simbol dan jargon yang diciptakan juga memikat hati.

Pertanyaanya, benarkan semua CAKADA hendak membangun daerah? Pasti tidak. Banyak di antaranya hanya omong doang. Mirip iklan berbagai produk. Setiap produk shampo misalnya terus membobardir calon pembeli dengan kata-kata shampo X bisa menumbuhkan rambut, membuat rambut lebat, hitam, dan tidak mudah rontok.

Nyatanya? Banyak yang menyesal setelah memakai shampo tersebut. Sudah beli mahal, tapi rambut tipisnya malahan makin menipis dan memutih. Di kepala botak tidak ada tanda-tanda kehidupan rambut, tetap saja mengkilap seperti botak saya.

Itu artinya, jangan pernah percaya iklan sebagai kebanaran. Cukup dipahami bahwa ada produk baru. Jangan lebih. Pernyataan-pernyataan para CAKADA pun begitu. Jangan percaya omongan. Sebelum memutuskan membeli shampo atau memilih CAKADA, lebih tepat telusuri informasi tentang bahan dasarnya, keaslian atau kemurniannya, serta efeknya kemudian. Sebab, penyesalan selalu terlambat, selalu tak berguna.

Membaca Gelagat

Memang di antara CAKADA ada yang memiliki motivasi asli, murni membagun daerah. Orang semacam ini kerap disebut telah selesai pada dirinya sendiri. Tapi jumlahnya relatif sedikit. Yang banyak, justru yang motivasinya membangun diri, keluarga, dan kelompoknya. Mereka ini sangat pandai berkamuflase. Mirip barang tiruan yang mulus di kemasan namun rusak atau rapuh di dalam.

Lalu bagaimana caranya mengetahui motivasi itu? Tentu saja banyak cara. Bisa dideteksi dengan membaca gelagat para calon. Dari rekam jejak, program yang ditawarkan, dan sikapnya dalam berkompetisi.

Yang mudah dikenal adalah rekam jejak. Jika ia pejabat, maka orientasi hidupnya, karakter, bisa diketahui oleh rekan kerja maupun bawahannya di kantor. Ia tak segan-segan menjatuhkan rekan di depan atasan, menghukum bawahan yang bersalah atas nama aturan, kendati kesalahan tidak disengaha atau karena kebelumtahuan, dan suka menang sendiri dalam berbagai kegiatan bersama di kantor.

Kalau ia pengusaha, hal tersebut dapat diketahui dari sikapnya dalam mendapatkan proyek, mengolah bahan, menjual produk, maupun sikap terhadap karyawan.

Orang semacam ini bisanya ambisius dan egois. Suka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Misalnya, mengurangi bahan dasar produk, suka tampil sebagai dermawan, tetapi sangat pelit menaikkan gaji karyawan. Ini terbawa dalam Pilkada. Ia tidak segan-segan menggelontorkan dana bantuan bagi masyarakat menjelang atau masa-masa kampanye. Juga mengatur strategi membeli suara dari pihak kompetitor maupun suara mengambang atas nama bantuan sosial atau dengan cara yang terkesan legal.

Orang-orang semacam itu, pasti menggaet pengusaha untuk membiayai kampanye dan biaya lainnya dengan deal-deal tertentu apabila ia menang. Golongan inilah yang banyak masuk bui setelah menjadi kepala daerah..

Dua Model Nyata

Bagaimana dengan program? Biasanya selalu mengusung program yang disukai rakyat bawah disertai janji indah seolah rakyat segera makmur sejahtera setelah ia terpilih. Contonhnya adalah program rumah terapung, tidak menggusur tapi menggeser rakyat yang ada di  pinggir kali, rumah dengan DP nol persen, dan lainnya yang sangat populer pada Pilkada DKI tahun lalu.

Dalam berkampanye, orang seperti itu tidak fokus pada programnya. Kalau pun disinggung, jangan harap ia memberi penjelasan detail agar dipahami oleh rakyat. Ia banyak berputar-putar pada tataran slogan bak angin surga yang bisa menidurkan rakyat. Yang lebih banyak dilakukan ialah menjatuhkan kompetitor dengan berbagai cara. Melalui tim sukses ia menciptakan dan mengampanyekan citra buruk kompetitor, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Cara seperti itu, jarang dilakukan oleh CAKADA yang tulus hendak membangun daerah. Mereka malah lebih banyak membeberkan keberhasilan kerja sebelumnya di bidang apa saja serta program kerja yang menurut mereka menjawab persoalan daerah yang belum tertangani pada masa kepemimpinan sebelumnya.

Contoh bagus untuk ini adalah Jokowi dan Ahok pada masa Pilkada. Kendati mereka dihantam dari segala penjuru, mereka ogah merespon dengan cara-cara yang sama. Sama sekali tidak mau menghabiskan waktu untuk menciptakan dan mengampanyekan citra buruk bagi komptitor. Yang mereka lakukan ialah menjelaskan apa-apa yang sudah dicapai, masalah yang dihadapi sebelumnya serta perbaikannya, dan rencana selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Mau contoh lain? Lihat rekam jejak Tri Rismaharini di Surabaya dan Nurdin Abdullan di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kedua tokoh ini memenangkan Pilkada karena mativasi dan programnya membangun daerah sudah diketahui secara kasat mata oleh rakyat. Itulah sebabnya saat kampanye, Tri Risma dan Nurdin Abdullan sama sekali tidak sesibuk kompetitor mereka. Rakyat sendiri berkampanye untuk mereka secara sukarela.

Sekarang, anda tinggal pilih. Mau yang hebat beriklan tapi abal-abal atau yang asli mau membangun daerah? Saran saya, jangan hanya gara-gara dibayar seratus ribu rupiah atau lebih lalu anda memilih CAKADA yang motivasinya untuk menggerogoti hak-hak anda sebagai rakyat. ***

Tulisan lain:

Demi PKL, Anies-Sandi Berani mencampakkan UUL dan UUJ

Anies Baswedan Cuci Tangan atas Risiko Penghentian Reklamasi Teluk Jakarta

DPR Merusak Kehormatannya Sendiri

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun