Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anies Baswedan Cuci Tangan atas Risiko Penghentian Reklamasi Teluk Jakarta

28 Februari 2018   10:25 Diperbarui: 28 Februari 2018   11:57 1800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
megapolitan.kompas.com

Atas kebijakan Gubernur DKI, Anies Baswedan, menghentikan reklamasi teluk Jakarta direpon dengan gugatan oleh enam konsumen yang  merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut. Para penggugat terdiri atas Agus Sugiarto Tamin, Handy Tamin, Suradi Tamin, Stevanus Wiliyan, Endro Weliyan, dan Yudarno.

Gugatan mereka terhadap Anies telah disampaikan kepada PN Jakarta Utara pada tanggal 22 Januari 2018. Menurut berita Kompas.com, para penggugat itu telah mengeluarkan uang antara Rp 2,7 miliar hingga Rp 8,4 miliar untuk membeli unit di Golf Island atau Pulau D.

Uang sebesar itu, tentu saja bukan mainan. Itulah sebabnya mereka menggugat Gubernur DKI,  Anies Baswedan, dan PT Kapuk Naga Indah selaku pengembang. Para penggugat meminta ganti rugi senilai uang yang telah mereka bayarkan ditambah Rp 10 miliar.

Apakah Anies gentar? Jelas tidak. Sebagai orang yang sangat trampil dalam menguntai kata dan kalimat, Anies malah bilang "Loh, kenapa gugatnya ke Pemprov? Loh, itu kan transaksi antara penjual dan pembeli, ya selesaikan saja antara mereka. Justru saya mau tahu kenapa itu?" katanya kepada wartawan di Menara 165, Simatupang, Jakarta Selatan, Sabtu (24/2/2018) sebagaimana diwartakan Kompas.com.

Anies merasa tak habis pikir mengapa mereka menggugat pemprov DKI. "Yang berjualan anda, yang membeli anda, yang mencari untung anda, yang mencari manfaat anda terus kenapa tahu-tahu menggugat Pemprov? Justru itu jadi pertanyaan buat saya. Jadi mari kita hargai akal sehat, aturan dalam bertindak," kata Anies lagi.

Sumber : https://reklamasi-pantura.com
Sumber : https://reklamasi-pantura.com
Benarnya Anies

Apa yang dikatakan Anies ada benarnya. Persoalan jual beli antara pengembang dan konsumen sama sekali tidak ada hubungan langsung dengan Pemprov DKI. Jika pengembang tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka konsumen berhak menggugat, menunutut di depan pengadilan. Di sini berlaku hukum perjanjian seperti diatur dalam banyak pasal dalam KUH Perdata. Salah satunya ialah para pihak setuju mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313).

Di sini pihak pengembang menawarkan barang atau jasa kepada khalayak. Lantas pihak yang tertarik membeli dengan perjanjian-perjanjian tertentu kepada pengembang. Manakala mereka setuju atas apa yang diperjanjikan, dan perjanjian itu memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian itu sah. Karena sah, maka perjanjian atau persetujuan tersebut merupakan undang-undang bagi para pihak, dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan para pihak. Ini sudah diatur tegas dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

Jika salah satu mengingkari kewajibannya (wanprestasi), maka pihak lain yang dirugikan dapat menggugat atau bahkan menuntut yang bersangkutan di depan pengadilan. Dari sini jelas bahwa Anies benar. Ia tidak tersangkut apa pun soal perjanjian jual beli antara PT Kapuk Naga Indah dengan para konsumen yang menggugat Pepmrov DKI, dalam hal ini Gubernur Anies.

Keterkaitan Anies

Pertanyaannya, apakah Anies benar-benar tidak terkait dengan masalah itu? Apakah Anies bisa cuci tangan? Tidak juga. Pasalnya, pihak pengembang bukannya tidak mau memenuhi kewajibannya  atau wanprestasi kepada konsumen. PT Kapuk Naga Indah sebagai pengembang misalnya justru dipaksa tidak memenuhi kewajibannya kepada konsumen oleh kebijakan Gubernur DKI, Anies Baswedan.

Adakah Anies salah atau dapat disalahkan? Mungkin saja tidak. Sebagai Gubernur, bisa saja ia mengambil kebijakan apa pun asalkan berdasarkan ketentuan yang ada. Namun, apabila ketentuan sebelumnya dicabut dengan membuat ketentuan baru, maka resiko yang muncul daripadanya tidak dapat dibebankan kepada rakyat, dalam hal ini pengembang dan konsumen. Resiko itu merupakan tanggung jawab Gubernur DKI, Anies Baswedan. Prinsip ini sudah menjadi prinsip hukum di mana pun.

Ini artinya, pengembang tidak dapat disalahkan seperti dugaan Anies. Anies harus ingat, bahwa pengembang melaksanakan pembangunan di Pulau D dan lainnya, mereka berani mengeluarkan dana besar untuk membangun unit hunian atau apa pun, bukan seenak perut. Mereka mendasarkan diri pada ketentuan Pemrov DKI yang telah dicabut Anies.

Konsekuensinya ialah Anies bukan cuma terkait erat dengan masalah yang dialami para penggugat. Tetapi Pemprov DKI telah menceburkan diri untuk mengambil tanggung jawab atas tidak berjalannya proyek dari pengembang yang mengakibatkan kerugian kepada konsumen.

Segala kerugian pengembang dan para konsumen tidak muncul dari diri mereka sendiri, tetapi dari kebijakan Gubernur Anies. Oleh sebab itu,mau tidak mau Pemprov DKI wajib bertanggung jawab atas kerugian para pihak. Logika hukum inilah yang perlu dipahami Anies. Jika tidak, maka kepastian hukum makin diperparah. Pelaksanaan pembangunan tidak bisa diprediksi, karena tergantung pada siapa pejabat dan apa yang dia mau. Bila semua pejabat di semua level berpikir seperti itu, apakah para pengembang dapat bertahan berinvestasi dalam negeri? Bukankah model ini mendorong para pemodal melarikan dananya untuk berinvestasi di negara lain ketimbang dalam negeri sendiri?

Memang alasan Anies menghentikan reklamasi bisa dipahami. Saat kampanye tahun lalu, Anies selalu menilai bahwa yang diuntungkan pada proyek-proyek reklamasi hanyalah segolongan orang kaya. Orang miskin mustahil bisa membeli rumah atau menyewa apartemen yang dibangun di atas lahan reklamasi.

Alasan itu tentu saja aneh. Seolah-olah orang kaya tidak boleh bertempat tinggal di atas lahan reklamasi. Seolah-olah lahan tersebut hak mutlak orang miskin. Anies sepertinya anti orang kaya. Padahal ia sendiri termasuk kaya. Ia jauh lebih kaya daripada para nelayan dan tukang becak.

Anies seolah menganggap tabu membangun rumah mewah bagi yang mampu secara finansial. Ia sepertinya lupa bahwa lahan reklamasi itu bisa ditata dengan menerbitkan peraturan daerah, sehingga sebagian dialokasikan untuk perumahan orang berkantong tebal dan sebagian lainnya untuk mereka yang berkantong pas-pasan..

Tampaknya, cara berpikir Anies makin lama makin tak terkontrol. Ada kesan, bahwa apa saja yang dibuat oleh gubenur sebelumnya harus diubah asal ubah. Ia mengira bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial harus mengorbankan pemodal. Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin hanya bisa diwujudkan dengan memersempit ruang gerak rakyat yang lebih kaya. Anies lupa bahwa negara ini sendiri hidup karena orang kaya juga. Pajak para pengusaha besar yang triliunan itu justru telah dan terus dinikmati oleh rakyat miskin dalam berbagai bentuk program pemerintah.

Pertanyaannya, ada apa dengan Anies Baswedan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun