Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ide "Kreatif" Zaadit dan Kematian Logika Para Tokoh

9 Februari 2018   10:00 Diperbarui: 9 Februari 2018   10:01 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Respon terhadap tindakan Zaadit Taqwa setelah mengartukuningkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai menyampaikan pidato pada Acara Dies Natalies UI ke 68, di Balairung, Depok, tanggal 2 Februari 2018, terus berseliweran.

Ada yang mengeritik dan ada juga yang memuji. Ada yang bilang cari polularitas seperti kerap dilakukan artis. Yang lain bilang itu simbol kegalauan, tindakan tidak sopan, tidak menghargai Presiden, dan seterusnya. Namun, ada juga yang menilainya sebagai wujud kreatifativitas dalam menyampaikan ide guna menerobos kebuntuan, wujud kepedulian terhadap bangsa dan negara sekaligus mengeritik Presiden Jokowi.

Respons yang beginian, jelas bukan hal baru. Kerap, bahkan pasti terjadi kepada siapa saja. Perhatikan respon terhadap kebijakan Presiden Jokowi atau Susi Pujiastuti, terhadap sikap Fadli Zon dan "kembarannya" Fahri Hamzah, Ahmad Dhani, Habib Rizieq, SBY, maupun pernyataan-ernyataan Prabowo, dan siapa pun dalam tindakan-tindakan mereka. Pasti ada yang bilang bagus dan sebaliknya.

Nilai Tindakan

Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai sebuah tindakan tidak terletak pada dirinya sendiri. Tetapi pada diri orang yang merespon. Tindakan apa pun, baru memiliki nilai setelah ia bersentuhan dengan penilaian orang lain. Presikat bagus atau buruk itu, dengan demikian, merupakan ekspresi diri dari penilai.

Ketika tindakan, sikap, atau kebijakan sesuai dengan apa yang dikehendaki, kemudian si pemberi respon memiliki cukup wawasan terhadapnya dari berbagai sisi, aspek tanpa apriori, maka responnya mungkin lebih objektif. Disebut lebih objektif karena pandangan objektif murni hampir tak pernah bisa dicapai.

Sebaliknya, manakala hal itu tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki, terlebih bila belum memiliki wawasan cukup terhadapnya, sehingga hanya mampu melihat satu sisi atau aspek tertentu, kemudian didahului sikap prejudice, maka responnya pasti negatif dan sangat mungkin jauh dari objektif.

Inilah yang dilakukan Zaadit terhadap kinerja Jokowi. Ini pulalah yang dilakukan banyak pihak atas tindakan Zaadit terhadap Jokowi. Zaadit mengira ia sudah paham sepenuhnya kebijakan Jokowi sehingga ia memosisikan diri seperti wasit. Padahal, jangankan kebijakan Jokowi, kebijakan Rektor UI pun belum tentu ia paham sampai 10 persen. Tetapi dengan menggebunya semangat mudanya, ia menjadi lupa diri sehingga nekat melakukan tindakan yang sudah pasti tidak mewakili sikap mahasiswa UI apalagi UI sebagai lembaga. Ia tak sempat berpikir bahwa Presiden Jokowi itu tamu kehormatan yang diundang secara terhormat oleh UI sehingga sepatutnya diperlakukan sebagaimana layaknya tamu.

Kalau hendak menyampaikan kritik tentu saja boleh. Tapi jangan ngawur. Jangan memermalukan pimpinan UI sendiri yang mengundang Presiden. Lagi pula, kalau benar sudah diagendakan pertemuan antara Preisden dengan BEM UI, mengapa Zaadit terburu-buru? Bukankah tindakan ini menutup kesempatan teman-temannya sendiri untuk berdialog dengan Presiden Jokowi dengan mencari popularitas sendiri?

Tapi bagi Fadli Zon dan konco-konconya yang suka ngawur, apa yang dilakukan Zaadit dianggap sudah tepat. Pasalnya, kelakuan Zaadit cocok di hati orang-orang ngawur (ngawures), mewakili sikap mereka yang sudah lama terpendam terhadap Jokowi.

Dalam puisinya umpamanya, Fadli menyebut tindakan Zaadit sebagai tindakan pemecah keheningan gerakan mahasiswa di tengah ketidak pedulian pemerintah atas kemelaratan rakyat. Bagi dia, pemerintahan Jokowi terus membiarkan rakyat menderita.

Atas pandangannya itu, maka apa pun yang dikerjakan Jokowi selalu dinilai tidak tepat, buruk, jelek oleh para ngawures, utamanya Fadli. Tak ada satu pun yang baik. Bahkan disebut sebagai dagelan. Di sisi lain, mulut para mahasiswa sebagai pengegerak seperti tersumbat kain. Tak ada suara, tak ada kata terdengar, apalagi pidato berkobar, tulisnya. Itulah sebabnya ia memuja setinggi langit tindakan Zaadit.

Dagelan Kematian Logika?

Pertanyaannya, apakah sebagian besar rakyat Indonesia memiliki penilaian yang sama dengan Fadli dan para ngawures? Apakah terbangunnya infrastruktur antara Manokwari -- Papua Barat yang dipresentasikan Jokowi pada Dies Natalis UI buruk bagi rakyat Papua? Apakah jalan toll yang sebenatar lagi menghubungkan Jakarta-Surabaya, Balikpapan-Samarinda di Kalimantan, lampung-Aceh, dan seterusnya juga buruk bagi rakyat Jawa, Kalimantan dan Sumatera?

Apakah memberian 2.405 sertifikat tanah kepada rakyat NTT dan 3.500 bagi rakyat Bali, atau 57.356 sertifikat yang diberikan kepada warga Bengkulu disebut kebijakan buruk? Bagaimana dengan KIP dan KIS? Bagaiamana pemberantasan korupsi yang makin maju? Apakah itu semua disebut dagelan dan kematian logika? Logika siapa yang mati dan jadi dagelan?

Berdasarkan fakta-fakta itu, makin jelas kepada publik bahwa kebijakan dan tindakan-tindakan Jokowi yang oleh Fadli disebut dagelan dan dikartukuningkan oleh Zaadit jelas tidak keliru. Banyak benarnya, banyak manfaatnya kepada publik guna mewujudkan keadilan dalam pembangunan nasional. Hanya saja karena mata, pikiran, dan sikap mereka sudah mereka rusak sendiri, maka logika mereka jadi rusak dan mati. Logika Fadli yang mati itulah sesungguhnya yang menjadi dagelan.

Zaadir dan para ngawures seperti Fadli Zon setali tiga uang. Sama-sama tidak tahu di tidak tahunya. Tidak sadar di tidak sadarnya. Jika hal ini terjadi di kalangan rakyat yang tak sekolah tentu bisa dipahami. Tapi Zaadit dan Fadli bukan rayat sembarangan. Yang satu, ketua BEM UI dan lainnya Wakil Ketua DPR RI!

Parah 'kan? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun